Newsletter

Damai Dagang AS-China Sudah di Depan Mata?

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
22 February 2019 06:06
Damai Dagang AS-China Sudah di Depan Mata?
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat, sementara nilai tukar rupiah dan harga obligasi pemerintah terkoreksi. 

Kemarin, IHSG berhasil finis di zona hijau dengan penguatan 0,38%. Gerak IHSG cenderung labil, sempat merasakan pelemahan. 


Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan pelemahan 0,16% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Berbeda dengan IHSG, rupiah seharian istiqamah di zona merah alias selalu melemah. 


Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 2,3 basis poin. Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena sepi peminat atau malah ada aksi jual. 


Sentimen yang mewarnai perdagangan kemarin memang agak campur aduk. Pertama, pasar dibuat bingung oleh notulensi rapat (minutes of meeting) The Federal Reserves/The Fed edisi Januari 2019. Jerome 'Jay' Powell seakan berada di persimpangan.
 

Dalam notulensi tersebut, The Fed memang kembali mengutarakan kata 'sabar' dalam hal kenaikan suku bunga acuan. The Fed masih ingin melihat dampak dari kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan tahun lalu. 

Namun di sisi lain, The Fed juga masih membuka peluang kenaikan suku bunga jika ada tekanan inflasi dan perbaikan pertumbuhan ekonomi. The Fed juga kemungkinan bisa mengubah posisi (stance) kembali ke hawkish. 


Sikap The Fed yang mendua ini membuat dolar AS masih mendapat angin. Peluang kenaikan suku bunga acuan tidak tertutup, sehingga berinvestasi di dolar AS masih tetap menarik. Akibatnya, pasar keuangan Asia menjadi kurang diminati. 

Lalu ada sentimen kedua yang berhasil meningkatkan optimisme pelaku pasar. Tersiar kabar bahwa AS-China sudah menyepakati nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) untuk menuju damai dagang. 

Mengutip Reuters, beberapa orang sumber mengungkapkan MoU tersebut setidaknya mencakup enam poin yaitu perlindungan terhadap kekayaan intelektual, perluasan investasi sektor jasa, transfer teknologi, pertanian, nilai tukar, dan halangan non-tarif (non-tariff barrier) di bidang perdagangan. China juga disebut sepakat untuk semakin mengurangi surplus perdagangan dengan AS. Oleh karena itu, China akan membuat daftar 10 barang yang bisa membuat ketimpangan itu semakin sempit.


Sentimen yang mixed ini ikut membuat pasar keuangan Indonesia bergerak mixed. Bahkan asa damai dagang pun tidak cukup kuat untuk membuat pasar keuangan Indonesia kompak menghijau.                      


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup di jalur merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,4%, S&P 500 melemah 0,35%, dan Nasdaq Composite minus 0,39%. 

Sejumlah rilis data yang kurang memuaskan menjadi pemberat langkah bursa saham New York. Pertama adalah data penjualan barang modal buatan AS, yang turun 0,7% pada Desember 2018 secara month-to-month (MtM). Realisasi ini tidak sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan ada kenaikan 0,2%. 

Kedua adalah penjualan rumah bukan baru (existing) yang turun 1,2% menjadi 4,94 juta unit. Jumlah itu merupakan yang terendah sejak November 2015. 

Ketiga, The Fed Philadelphia melaporkan aktivitas bisnis di wilayah Mid-Atlantik boleh dibilang anjlok. Pada Februari, pembacaan awal untuk indeks aktivitas bisnis menunjukkan angka -4,1. Turun jauh dibandingkan Januari yaitu 17. Ini menjadi koreksi terparah sejak Agustus 2011. 

Rangkaian data yang kurang oke ini menjadi alasan bagi pasar untuk merealisasikan keuntungan. Maklum, DJIA sudah melesat 3,4% sejak awal Februari. Dalam periode yang sama, S&P 500 melesat 2,62% dan Nasdaq melejit 2,85%. 

"Laju pasar sudah begitu luar biasa. Kemudian ada pengumuman beberapa data yang mengecewakan dan ini menjadi pemicu untuk ambil untung," kata Paul Nolte, Portfolio Manager di Kingsview Aset Management yang berbasis di Chicago, mengutip Reuters. 

Data-data tersebut semakin memberi konfirmasi bahwa perlambatan ekonomi di Negeri Paman Sam adalah sesuatu yang nyata, bukan sekadar legenda. The Fed Atlanta kembali merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2018. Secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized), perkiraan pertumbuhan ekonomi Oktober-Desember 2018 diubah menjadi 1,4% dari perkiraan sebelumnya 1,5% yang dibuat pada 14 Februari. 

Berbagai 'cobaan' itu membuat investor di Wall Street gundah-gulana. Jurang koreksi pun tidak bisa dihindari lagi. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu kinerja Wall Street yang kurang oke. Dikhawatirkan apa yang terjadi di Wall Street mempengaruhi mood pelaku pasar di Asia. Semoga tidak terjadi. 

Sentimen kedua adalah investor patut mencermati perkembangan dari arena dialog dagang AS-China di Washington. Perundingan akan berakhir pada Jumat waktu setempat dan sudah ada bocoran seputar hasilnya. 

"Saya bisa katakan bahwa kami sedang memasuki fase sprint terakhir. Kedua pihak sedang bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan sebelum tenggat waktu," tutur seorang anggota delegasi China kepada Reuters. 

Tenggat waktu 1 Maret yang menjadi batas waktu 'gencatan senjata' 90 semakin dekat. Tanpa ada kesepakatan (atau perpanjangan waktu), maka AS akan menaikkan tarif bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. 

"Mereka (China) tentu berusaha untuk menyelesaikan (perundingan) dengan cepat agar kenaikan bea masuk tidak terjadi," kata Presiden AS Donald Trump kepada wartawan di Oval Office, dikutip dari Reuters. 

Kini investor tinggal menunggu pengesahan MoU yang kabarnya sudah disepakati antara Washington dan Beijing. MoU tersebut adalah pintu masuk menuju damai dagang, sesuatu yang menjadi dambaan seluruh dunia. 

Sentimen ketiga, investor perlu mewaspadai dolar AS yang masih lumayan kuat. Pada pukul 05:26 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,16%. 

Dolar AS masih menyimpan energi untuk menguat karena The Fed tidak sepenuhnya dovish. Masih ada kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate sehingga dolar AS punya dorongan untuk menguat. 

Bila penguatan dolar AS terus berlangsung, maka akan menjadi alamat buruk buat rupiah. Oleh karena itu, investor perlu tetap waspada. 

Sentimen keempat adalah harga minyak dunia yang bergerak turun. Pada pukul 05:41 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet terkoreksi masing-masing 0,25% dan 0,12%. 

Harga si emas hitam turun setelah US Energy Information Administration melaporkan cadangan minyak AS pada pekan yang berakhir 15 Februari naik 3,7 juta barel menjadi 454,5 juta barel. Ini menjadi angka tertinggi sejak Oktober 2017. 

Penurunan harga minyak bisa menjadi berkah bagi rupiah. Ketika harga minyak turun, maka biaya impor komoditas ini akan berkurang. Tentu menjadi berita gembira bagi negara net importir migas seperti Indonesia. 

Saat biaya impor minyak berkurang, maka tekanan di transaksi berjalan (current account) akan berkurang. Artinya, fondasi penopang rupiah menjadi lebih kuat sehingga mata uang Tanah Air tidak rentan 'digoyang'. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data inflasi Jepang periode Januari (06:30 WIB).
  • Rilis data inflasi Zona Euro periode Januari (17:00 WIB).
  • Rilis data Indeks Iklim Usaha Ifo Jerman (16:00 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Malacca Trust Wuwungan Insurance Tbk (MTWI)RUPSLB10:00 WIB
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Januari 2019 YoY)2,82%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Januari 2019)US$ 120,07 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular