
Siapa di Balik Wilton Resources? Pengendali Baru Renuka
tahir saleh, CNBC Indonesia
11 February 2019 15:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Wilton Resources Holding Pte resmi mengambilalih 96,95% saham PT Renuka Coalindo Tbk (SQMI) setelah menjadi pembeli siaga dalam rights issue atau Penawaran Umum Terbatas I Dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) yang dieksekusi pada 8 Februari lalu.
Wilton menyerap saham Renuka di harga Rp 250/saham. Dengan jumlah kepemilikan 15.064.000.000 atau 15,06 miliar saham baru, maka dana yang disuntik Wilton kepada Renuka ini mencapai Rp 3,77 triliun.
"Dengan pelaksanaan tersebut, telah terjadi perubahan pengendalian dari Renuka Energy Resources Holdings ke Wilton Resources menjadi pengendali dengan kepemilikan sebesar 96,95% setelah pelaksanaan HMETD," tulis manajemen Renuka, dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Senin (11/2/2019).
Dengan demikian ini, Renuka praktis langsung akan berganti bisnis dari batu bara menjadi pertambangan emas. Wilton Resources Holding (WRH) adalah perusahaan terbatas yang didirikan pada 21 Oktober 2011 di Singapura..
Tujuan dari pengendalian ini adalah untuk memperluas kegiatan usaha WRH di Indonesia. Bisnis WRH beragam, tapi saat ini mereka fokus pada industri pertambangan emas di regional Asia.
"Pengendalian ini akan menjadikan Grup Wilton menjadi suatu perusahaan yang lebih besar yang memiliki kegiatan usaha yang beragam," tulis manajemen Renuka.
WRH menegaskan perusahaan ini bukan afiliasi dengan pemegang saham Renuka. Adapun pemegang saham utama WRH ialah Wijaya Lawrence 23,91% yang merupakan pendiri dari perusahaan ini. Sisa saham WRH dipegang oleh Ngiam Mia Je Patrick 14,94%, Seah Cheong Leng dan Ng Suk Kian 8,43%, Winstet Chong Thim Phem 8,06%, dan Law Hui Kun 7,77%.
Dalam situs resmi Wilton disebutkan bahwa Wijaya Lawrence adalah pebisnis dan warga negara Indonesia yang kini menjadi chairman dan President Grup Wilton. Pada 2000, Wijaya Lawrence terlibat dalam berbagai bisnis perdagangan umum, seperti produk pencahayaan, elektronik dan mendirikan PT Wilton Wahana Indonesia yang fokus pada produk-produk pencahayaan dan elektronik.
Pada 2010, Lawrence membawa Wilton Wahana masuk ke bisnis pertambangan, khususnya emas. Eksekutif lainnya di Wilton di antaranya Ngiam Mia Je Patrick, warga negara Singapura yang juga chairman dan co-founder Essex Group (listing di Hong Kong melalui Essex Bio-Technology Limited). Dia juga chairman dan CEO IPC Corporation Limited (listing di Bursa Singapura).
Eksekutif berikutnya yakni Seah Seow Kang Steven, juga warga negara Singapura. Selama 30 tahun lebih dia malang melintang di dunia pengacara dan kini menjabat independent non-executive director di Wilton.
Dengan kepemilikan Wilton ini, itu artinya dalam rights issue Renuka, opsi pertama yang diambil. Opsi pertama yakni, jika seluruh pemegang saham tak melaksanakan haknya, maka Wilton Resources akan melakukan transaksi inbreng (melaksanakan dalam bentuk non-tunai) menggunakan saham PT Wilton Investment. Sisa saham akan diserap oleh pembeli siaga lain. Dana hasil rights issue ini akan digunakan perusahaan untuk modal kerja.
Struktur pemegang saham untuk skema pertama di Renuka adalah 98,04% milik Wilton Resources, sementara publik hanya 0,39% dan Renuka Energy Resource Holdings (RERH) 1,56%.
Opsi skema kedua yakni jika seluruh pemegang saham melaksanakan haknya, maka dana sebesar 80% akan digunakan untuk mengambilalih saham Wilton Investment dari Wilton Resources senilai Rp 3,76 triliun. Sisanya akan digunakan perusahaan untuk modal kerja. Struktur pemegang saham di skema kedua yakni Wilton Resources memegang 78,74%, sementara publik 20%, dan RERH 1,26%.
Dalam laporannya, per Juni 2018, manajemen Wilton mengungkapkan bahwa produksi emas mereka di Ciomas, Jawa Barat, Indonesia, berhasil mencatatkan penjualan perdana setelah rampungnya tiga kolam pencucian dengan kapasitas masing-masing 1.000 ton.
"Kami sekarang sedang berupaya untuk memulai produksi 500 ton per hari (tpd) flotasi dan pabrik pemrosesan mineral Carbon-In-Leach (pabrik CIL 500 tpd)," kata Lawrence, dalam situsnya.
Hanya saja, laporan keuangan mencatat, kinerja WRH belum bisa dibilang memuaskan. Pada Agustus 2018, ekuitas WRH negatif Rp 203,51 miliar. Selama dua tahun berturut-turut sejak 2017 perusahaan ini tak membukukan pendapatan dan laba kotor. Sementara, rugi bersih tercatat senilai Rp 5,80 miliar.
Kinerja Renuka juga belum pulih. Hingga akhir Desember 2018, laba perusahaan hanya tercatat US$ 52.157 atau sekitar Rp730 juta, anjlok 45% dibandingkan dengan 2017 sebesar US$ 95.110. Mengacu laporan keuangan di BEI, penurunan laba seiring dengan pendapatan perusahaan yang juga turun menjadi US$ 199.625 dari sebelumnya US$ 246.658.
(tas/hps) Next Article Renuka Coalindo Targetkan Rights Issue Rampung Februari 2019
Wilton menyerap saham Renuka di harga Rp 250/saham. Dengan jumlah kepemilikan 15.064.000.000 atau 15,06 miliar saham baru, maka dana yang disuntik Wilton kepada Renuka ini mencapai Rp 3,77 triliun.
"Dengan pelaksanaan tersebut, telah terjadi perubahan pengendalian dari Renuka Energy Resources Holdings ke Wilton Resources menjadi pengendali dengan kepemilikan sebesar 96,95% setelah pelaksanaan HMETD," tulis manajemen Renuka, dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Senin (11/2/2019).
Tujuan dari pengendalian ini adalah untuk memperluas kegiatan usaha WRH di Indonesia. Bisnis WRH beragam, tapi saat ini mereka fokus pada industri pertambangan emas di regional Asia.
"Pengendalian ini akan menjadikan Grup Wilton menjadi suatu perusahaan yang lebih besar yang memiliki kegiatan usaha yang beragam," tulis manajemen Renuka.
WRH menegaskan perusahaan ini bukan afiliasi dengan pemegang saham Renuka. Adapun pemegang saham utama WRH ialah Wijaya Lawrence 23,91% yang merupakan pendiri dari perusahaan ini. Sisa saham WRH dipegang oleh Ngiam Mia Je Patrick 14,94%, Seah Cheong Leng dan Ng Suk Kian 8,43%, Winstet Chong Thim Phem 8,06%, dan Law Hui Kun 7,77%.
Dalam situs resmi Wilton disebutkan bahwa Wijaya Lawrence adalah pebisnis dan warga negara Indonesia yang kini menjadi chairman dan President Grup Wilton. Pada 2000, Wijaya Lawrence terlibat dalam berbagai bisnis perdagangan umum, seperti produk pencahayaan, elektronik dan mendirikan PT Wilton Wahana Indonesia yang fokus pada produk-produk pencahayaan dan elektronik.
Pada 2010, Lawrence membawa Wilton Wahana masuk ke bisnis pertambangan, khususnya emas. Eksekutif lainnya di Wilton di antaranya Ngiam Mia Je Patrick, warga negara Singapura yang juga chairman dan co-founder Essex Group (listing di Hong Kong melalui Essex Bio-Technology Limited). Dia juga chairman dan CEO IPC Corporation Limited (listing di Bursa Singapura).
Eksekutif berikutnya yakni Seah Seow Kang Steven, juga warga negara Singapura. Selama 30 tahun lebih dia malang melintang di dunia pengacara dan kini menjabat independent non-executive director di Wilton.
Dengan kepemilikan Wilton ini, itu artinya dalam rights issue Renuka, opsi pertama yang diambil. Opsi pertama yakni, jika seluruh pemegang saham tak melaksanakan haknya, maka Wilton Resources akan melakukan transaksi inbreng (melaksanakan dalam bentuk non-tunai) menggunakan saham PT Wilton Investment. Sisa saham akan diserap oleh pembeli siaga lain. Dana hasil rights issue ini akan digunakan perusahaan untuk modal kerja.
Struktur pemegang saham untuk skema pertama di Renuka adalah 98,04% milik Wilton Resources, sementara publik hanya 0,39% dan Renuka Energy Resource Holdings (RERH) 1,56%.
Opsi skema kedua yakni jika seluruh pemegang saham melaksanakan haknya, maka dana sebesar 80% akan digunakan untuk mengambilalih saham Wilton Investment dari Wilton Resources senilai Rp 3,76 triliun. Sisanya akan digunakan perusahaan untuk modal kerja. Struktur pemegang saham di skema kedua yakni Wilton Resources memegang 78,74%, sementara publik 20%, dan RERH 1,26%.
Dalam laporannya, per Juni 2018, manajemen Wilton mengungkapkan bahwa produksi emas mereka di Ciomas, Jawa Barat, Indonesia, berhasil mencatatkan penjualan perdana setelah rampungnya tiga kolam pencucian dengan kapasitas masing-masing 1.000 ton.
"Kami sekarang sedang berupaya untuk memulai produksi 500 ton per hari (tpd) flotasi dan pabrik pemrosesan mineral Carbon-In-Leach (pabrik CIL 500 tpd)," kata Lawrence, dalam situsnya.
Hanya saja, laporan keuangan mencatat, kinerja WRH belum bisa dibilang memuaskan. Pada Agustus 2018, ekuitas WRH negatif Rp 203,51 miliar. Selama dua tahun berturut-turut sejak 2017 perusahaan ini tak membukukan pendapatan dan laba kotor. Sementara, rugi bersih tercatat senilai Rp 5,80 miliar.
Kinerja Renuka juga belum pulih. Hingga akhir Desember 2018, laba perusahaan hanya tercatat US$ 52.157 atau sekitar Rp730 juta, anjlok 45% dibandingkan dengan 2017 sebesar US$ 95.110. Mengacu laporan keuangan di BEI, penurunan laba seiring dengan pendapatan perusahaan yang juga turun menjadi US$ 199.625 dari sebelumnya US$ 246.658.
(tas/hps) Next Article Renuka Coalindo Targetkan Rights Issue Rampung Februari 2019
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular