Antara Prabowo, Anggaran Bocor, dan Tax Ratio

tahir saleh, CNBC Indonesia
09 February 2019 18:42
Pernyataan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto soal anggaran negara yang bocor 25% memantik perdebatan.
Foto: Prabowo Subianto, Jumat, 8 Februari 2019.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pernyataan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto soal anggaran negara yang bocor 25% memantik perdebatan sengit antara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno dan Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Apa pasalnya? Substansi yang diucapkan Prabowo ialah tentang anggaran bocor 25% yang didasari hitung-hitungan
 tax ratio atau perbandingan antara penerimaan negara dari sektor perpajakan dengan Produk Domestik Bruto (PDB).

Bukan kali ini saja, November 2018, Prabowo juga mengkritik pemerintahan Jokowi, dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani, dengan menyebut tax ratio di Indonesia terlampau rendah.

Tax ratio yang stagnan pada kisaran 10% hingga 12%, dianggap membuat Indonesia kehilangan pendapatan negara setara US$ 60 miliar karena pemerintah salah dalam mengelola perekonomian. "Misalnya Zambia, [tax ratio] 16% saat ini. Kita perlu pergi ke sana dan belajar kepada pemerintah di sana, bagaimana mereka bisa melakukan manajemen yang baik seperti mereka," kata Prabowo saat itu.

Serangan ini langsung direspons Sri Mulyani. Ketika berbicara di acara Indonesia Forum Economic di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu (21/11/2018), Menkeu menegaskan tax ratio tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara Afrika. "Ada yang bilang kalau tax ratio kita itu rendah. Makanya kita perbaiki, tanpa menimbulkan kekhawatiran bagi perekonomian," katanya.

Terkait dengan polemik tax ratio ini, Kementerian Keuangan lagi-lagi buka. Kali ini Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti dalam catatannya di Facebook mengunggah artikel berjudul Tax Ratio Bukan Alat Ukur Kebocoran Negara. Tulisan itu diunggah pada Sabtu, 9 Februari 2019, dengan mendapat 200 likes dan 13 komentar hingga sore pukul 17.00 WIB, dan kemungkinan terus bertambah.

"Pernyataan adanya bukti kebocoran anggaran negara dengan menunjuk pada penurunan tax ratio adalah keliru. Tax ratio bukan alat ukur untuk menghitung kebocoran anggaran," jelas Nufransa.

Tax ratio adalah rasio atau perbandingan antara penerimaan negara dari sektor perpajakan dengan PDB. Rasio ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kebijakan perpajakan termasuk tarif pajak, dan efektivitas pemungutan pajak.

Selain itu, faktor lain yakni berbagai insentif dan pengecualian pajak yang diberikan kepada pelaku ekonomi dan masyarakat, dan kemungkinan terjadinya pidana pajak seperti penghindaran dan penggelapan pajak (tax evasions and avoidances).

"Rasio pajak juga menggambarkan mengenai tingkat kepatuhan pajak yang dipengaruhi oleh pendidikan dan pemahaman pajak dari masyarakat serta budaya kepatuhan pajak termasuk sistem penegakan hukum."

Angka tax ratio dapat naik atau turun seiring dengan kegiatan ekonomi yang diukur dengan PDB. Dalam kondisi ekonomi lesu dan mengalami tekanan, seperti penurunan harga komoditas atau resesi ekonomi global, pemerintah suatu negara dapat memberikan stimulus ekonomi (counter cyclical) dengan menurunkan tarif pajak atau memberikan insentif pengecualian pajak (tax holiday, tax allowance, atau pajak ditanggung pemerintah).

Dengan demikian, katanya, ekonomi dapat pulih dan bergairah kembali pertumbuhannya. Dalam situasi tersebut tax rasio justru dibuat menurun. 
Demikian juga dalam kondisi ekonomi mengalami pemanasan (overheating) atau cenderung menggelembung tidak sehat (bubble).

Maka pajak, kata dia, dapat ditingkatkan dan diefektifkan untuk mengerem dan memperlambat perekonomian. 
Jadi naik turunnya tax ratio adalah mencerminkan berbagai hal baik sebagai alat kebijakan fiskal maupun masalah struktural atau fundamental suatu perekonomian dan negara.

"Menyatakan bahwa tax rasio menurun sebagai bentuk kebocoran anggaran jelas keliru, terlalu menyederhanakan masalah dan dapat menyesatkan masyarakat."

Sebagai perbandingan, dia mengungkapkan di 
berbagai negara bahwa tax ratio mengalami perubahan setiap periode, misalnya Amerika Serikat yang tax ratio pada tahun 2000 sebesar 28,2 (ekonomi relatif menguat sebelum krisis keuangan) dan tahun 2017 turun menjadi 27,1 (sebagai upaya stimulus mengembalikan pertumbuhan ekonominya).

Pada tahun 2016, 26 negara mengalami kenaikan tax ratio bila dibanding tahun 2015, sementara itu 10 negara OECD lain mengalami penurunan.

Menurut dia, i
stilah kebocoran uang negara juga dapat diartikan secara luas dan multi dimensi. Kebocoran uang negara bisa disebabkan oleh kejahatan korupsi di semua cabang pemerintahan baik Eksekutif (kementerian/lembaga dan pemerintah daerah), Legislatif dan Yudikatif.

"Jenis kebocoran ini bila masyarakat mengetahui harus dilaporkan kepada aparat penegak hukum termasuk KPK, karena negara Indonesia adalah negara hukum," kata alumnus Niigata University tahun 2009 ini.

Adapun 
kebocoran anggaran lain adalah inefisiensi maupun kelemahan perencanaan. Ini bentuk penggunaan anggaran yang tidak optimal atau bahkan sia-sia. "Kelemahan jenis ini merupakan persoalan kapasitas dan kualitas birokrasi yang fundamental. Obatnya adalah reformasi birokrasi, membangun budaya transparansi dan akuntabilitas, dan membangun kompetensi birokrasi," kata mantan Kepala Seksi Perancangan Sistem dan Prosedur Perpajakan ini.

Sebagai informasi, pada 2014, tax ratio Indonesia berada pada level 13,7%. Namun, tax ratio kemudian menurun setahun berselang menjadi 11,6%. Kemudian turun lagi menjadi 10,8% pada 2016 dan makin menciut sampai 10,7% pada 2017. Pada 2018 pemerintah ketika itu menargetkan bisa meningkatkan tax ratio hingga 11,6% dan tahun 2019 di level 12,1%.

Antara Prabowo, Anggaran Bocor, dan Tax RatioFoto: Infografis/Target Pajak yang Tak Pernah Tembus/Arie Pratama

(tas) Next Article Prabowo Kritik Keras Jokowi, dari Pajak Hingga Utang

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular