
Gubernur BI: 2019 Tak Sengeri 2018, Rupiah Stabil Menguat
Wahyu Daniel, CNBC Indonesia
08 January 2019 07:44

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketidakpastian ekonomi dunia masih akan berlanjut di 2019, namun kadarnya tidak akan sebesar di 2018. Bank Indonesia (BI) percaya diri, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akan bergerak stabil dan cenderung menguat di tahun politik ini.
"Ketidakpastian ekonomi global masih berlanjut di 2019 tapi kadarnya tidak sengeri 2018," kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam pertemuan dengan pemimpin redaksi media massa di Gedung BI, Jakarta, Senin malam (7/1/2019).
Maksudnya tidak sengeri 2018, lanjut Perry, di tahun ini bank sentral AS yaitu Federal Reseve (The Fed) kemungkinan hanya akan menaikkan suku bunga acuannya sebanyak dua kali, dari prediksi sebelumnya sebanyak tiga kali. Bahkan menurut Perry, sebagian besar pelaku pasar keuangan dunia memprediksi The Fed hanya akan menaikkan suku bunga acuannya sebanyak satu kali.
"Sementara tahun lalu, Fed Funds Rate (suku bunga acuan The Fed) naik empat kali. Tahun lalu dollar is the king, sementara tahun ini ada saingannya. Penguatan dolar AS tidak akan sekuat tahun lalu. Jadi, tahun ini dollar is not only the king. Aliran modal asing akan kembali masuk," papar Perry.
Nilai tukar rupiah hari Senin kemarin bergerak menguat. US$1 dihargai Rp 14.085 kala penutupan pasar spot. Rupiah menguat 1,26% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Perry mengatakan rupiah masih di bawah nilai wajar (undervalued).
"Rupiah masih undervalued. Tapi kenaikan suku bunga acuan yang telah kami lakukan membuat imbal hasil instrumen keuangan dalam negeri menarik. Kami memprediksi rupiah cenderung bergerak stabil dan menguat di tahun ini," papar Perry.
Meski begitu, masih ada potensi ketidakpastian ekonomi dunia yang perlu diwaspadai tahun ini. Perry memaparkan, pertumbuhan ekonomi global akan melandai di kisaran 3,7% di tahun ini, sama dengan 2018.
Ini karena pertumbuhan ekonomi di AS akan turun dari 3% di 2018 menjadi 2,5% di 2019. Bahkan di 2020, ekonomi AS juga akan menurun. Sementara pertumbuhan ekonomi Eropa dan jepang belum kuat pemulihannya.
Pertumbuhan ekonomi Eropa diperkirakan turun ke 1,9% di 2019 dari 2% di 2018. Sementara Jepang pertumbuhan ekonominya turun menjadi 0,9% di 2019 dari 1% di 2018.
Demikian juga dengan China yang pertumbuhan ekonominya diprediksi menurun menjadi 6,5% di 2019 dari 6,6% di 2018. Hanya India yang ekonominya di 2019 diperkirakan tumbuh 7,6% dari 7,5% di 2018 lalu.
Risiko ketidakpastian lain adalah harga komoditas, Perry memaparkan, harga komoditas kemungkinan masih akan menurun. Indeks Harga Komoditas Ekspor Indonesia (IHKEI), lanjut Perry, akan berada di angka minus 0,7% di 2019. Lebih baik dari 2018 yang angkanya minus 1,5%.
Untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri, BI memprediksi di tahun 2018 ekonomi Indonesia akan tumbuh sekitar 5,1%, lalu di 2019 sekitar 5-5,4%. Untuk bisa mengangkat pertumbuhan ekonomi ini, Perry menyoroti masih tingginya angka impor yang tumbuh di atas 10%. BI ingin ke depan ekspor ditingkatkan dan impor diturunkan.
"Untuk mendorong ekspor perlu extra effort. Apalagi kalau mengandalkan komoditas. Kita harus dorong industri, pariwisata dan meningkatkan basis industri ekspor dalam negeri, serta mencari pasar-pasar baru ekspor," ujar Perry.
BERLANJUT KE HALAMAN DUA
"Ketidakpastian ekonomi global masih berlanjut di 2019 tapi kadarnya tidak sengeri 2018," kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam pertemuan dengan pemimpin redaksi media massa di Gedung BI, Jakarta, Senin malam (7/1/2019).
Maksudnya tidak sengeri 2018, lanjut Perry, di tahun ini bank sentral AS yaitu Federal Reseve (The Fed) kemungkinan hanya akan menaikkan suku bunga acuannya sebanyak dua kali, dari prediksi sebelumnya sebanyak tiga kali. Bahkan menurut Perry, sebagian besar pelaku pasar keuangan dunia memprediksi The Fed hanya akan menaikkan suku bunga acuannya sebanyak satu kali.
Nilai tukar rupiah hari Senin kemarin bergerak menguat. US$1 dihargai Rp 14.085 kala penutupan pasar spot. Rupiah menguat 1,26% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
![]() |
Perry mengatakan rupiah masih di bawah nilai wajar (undervalued).
"Rupiah masih undervalued. Tapi kenaikan suku bunga acuan yang telah kami lakukan membuat imbal hasil instrumen keuangan dalam negeri menarik. Kami memprediksi rupiah cenderung bergerak stabil dan menguat di tahun ini," papar Perry.
Meski begitu, masih ada potensi ketidakpastian ekonomi dunia yang perlu diwaspadai tahun ini. Perry memaparkan, pertumbuhan ekonomi global akan melandai di kisaran 3,7% di tahun ini, sama dengan 2018.
Ini karena pertumbuhan ekonomi di AS akan turun dari 3% di 2018 menjadi 2,5% di 2019. Bahkan di 2020, ekonomi AS juga akan menurun. Sementara pertumbuhan ekonomi Eropa dan jepang belum kuat pemulihannya.
Pertumbuhan ekonomi Eropa diperkirakan turun ke 1,9% di 2019 dari 2% di 2018. Sementara Jepang pertumbuhan ekonominya turun menjadi 0,9% di 2019 dari 1% di 2018.
Demikian juga dengan China yang pertumbuhan ekonominya diprediksi menurun menjadi 6,5% di 2019 dari 6,6% di 2018. Hanya India yang ekonominya di 2019 diperkirakan tumbuh 7,6% dari 7,5% di 2018 lalu.
Risiko ketidakpastian lain adalah harga komoditas, Perry memaparkan, harga komoditas kemungkinan masih akan menurun. Indeks Harga Komoditas Ekspor Indonesia (IHKEI), lanjut Perry, akan berada di angka minus 0,7% di 2019. Lebih baik dari 2018 yang angkanya minus 1,5%.
Untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri, BI memprediksi di tahun 2018 ekonomi Indonesia akan tumbuh sekitar 5,1%, lalu di 2019 sekitar 5-5,4%. Untuk bisa mengangkat pertumbuhan ekonomi ini, Perry menyoroti masih tingginya angka impor yang tumbuh di atas 10%. BI ingin ke depan ekspor ditingkatkan dan impor diturunkan.
"Untuk mendorong ekspor perlu extra effort. Apalagi kalau mengandalkan komoditas. Kita harus dorong industri, pariwisata dan meningkatkan basis industri ekspor dalam negeri, serta mencari pasar-pasar baru ekspor," ujar Perry.
BERLANJUT KE HALAMAN DUA
Next Page
PR Defisit Transaksi Berjalan
Pages
Most Popular