Simak Arah Kebijakan Bank Indonesia di Tahun Ini

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
03 January 2019 09:05
Bank Indonesia (BI) blak-blakan bicara mengenai kondisi perekonomian Indonesia, serta tekanan yang dihadapi
Foto: Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (REUTERS/Willy Kurniawan)
 Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) blak-blakan bicara mengenai kondisi perekonomian Indonesia, tekanan yang dihadapi, serta langkah-langkah apa saja yang dilakukan untuk menghadapi tantangan tersebut.

BI memprediksi kinerja ekonomi domestik pada tahun ini tumbuh positif disertai dengan stabilitas yang tetap terjaga. Pertumbuhan ekonomi tahun ini diproyeksikan tumbuh 5,2%. "Secara keseluruhan lebih tinggi atau lebih baik dari estimasi 2018. Perkiraan kami 5,1%," tegas Perry Warjiyo, Gubernur BI.

Namun, Perry tak memungkiri, Indonesia akan tetap menghadapi masalah dari sisi kinerja ekspor dan impor yang diprediksi masih negatif. Hal ini, akan berdampak pada neraca transaksi berjalan. Tahun ini, defisit transaksi berjalan diperkirakan sekitar 3% dari produk domestik bruto (PDB). Namun di tahun depan, bank sentral memperkirakan defisit transaksi berjalan turun menjadi 2,5% dari PDB. Adapun angka inflasi diprediksi tetap stabil di kisaran 3,5% plus minus 1%, dengan titik tengah 3,5%. Hal ini sejalan dengan terjaganya inflasi sepanjang tahun ini yang di bawah target.

"Pertumbuhan kredit di kisaran 10-12%, sementara pertumbuhan dana pihak ketiga 8-10%. Kami akan pastikan likuiditas perbankan cukup," tegasnya. Mantan Deputi Gubernur BI itu cukup optimistis, pergerakan nilai tukar pada tahun ini akan jauh lebih stabil terhadap dolar AS, meskipun tetap dihantui sejumlah tantangan. Menurut Perry, tekanan terhadap nilai tukar tidak akan sebesar tahun lalu. "Kami masih melihat rupiah tahun ini stabil dan cenderung menguat. Untuk saat ini rupiah masih undervalued," jelasnya.

BI Tetap Pro Stability dan Pro Growth

Selain bicara mengenai prospek kinerja ekonomi Indonesia, Perry ikut buka suara mengenai dampak dari tutupnya pemerintahan AS, terutama imbas terhadap Indonesia. "Dampaknya ada dua hal. Tidak adanya stimulus fiskal ini akan menyebabkan juga geliat ekonomi AS tidak setinggi sebelumnya. Diperkirakan 2019 ekonomi AS akan turun dari 2,5% menjadi 2%," jelasnya. "Kedua, akan menurunkan confidence pasar terhadap kinerja ekonomi AS ke depan. Makanya terjadi koreksi di harga saham, yang kemudian berdampak," katanya.

BI juga masih mencermati kabar terkini dari perundingan perang dagang antara AS dan China. Pasalnya, ketegangan kedua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu dalam beberapa bulan terakhir menjadi sentimen negatif."Tapi berita positifnya ada tanda-tanda perundingan perdagangan. Semoga itu tidak memperburuk situasi dan keuangan global."

Maka dari itu, katanya, arah kebijakan moneter BI tahun ini akan tetap mengedepankan stabilitas. BI tetap akan tetap mendorong pertumbuhan ekonomi melalui berbagai instrumen. "Arah kebijakan BI, kami akan prioritaskan kebijakan moneter yang pro stability dengan inflasi yang terkendali dan rupiah yang stabil, dengan kebijakan pre emptive [antisipasi] dan ahead the curve [mendahului pasar] kata Perry.

Perry mengakui, Indonesia masih membutuhkan stabilitas di tengah dinamika ekonomi global. Namun, bank sentral masih memiliki berbagai instrumen untuk membantu meningkatkan perekonomian.

"Dari sisi makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar keuangan, dan ekonomi dan keuangan syariah, kami akan tempuh kebijakan akomodatif untuk mendorong ekonomi," kata Perry. "Moneter tetap pro stability, makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar keuangan, serta ekonomi dan keuangan syariah pro growth," tegas dia.
(tas) Next Article BI Keluarkan Aturan Baru Soal Utang Luar Negeri Bank, Ini Dia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular