- Tahun 2018 merupakan tahun yang buruk bagi dua komoditas perkebunan andalan ekspor RI, minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan karet. Betapa tidak, sepanjang tahun ini harga kedua komoditas tersebut anjlok di pasar internasional.
Harga CPO di Bursa Derivatif Malaysia hingga 24 Desember 2018 tercatat melemah 15% (year-to-date/ytd) ke level MYR 2.128/ton. Nasib karet pun tidak jauh berbeda. Hingga Hari Raya Natal yang diperingati umat Kristiani pada 25 Desember 2018, harganya tercatat anjlok 16,75% ytd di Tokyo Commodity Exchange (TOCOM) menjadi JPY 171/kg.
"Harga komoditas ekspor Indonesia menurun terutama didorong oleh berlanjutnya penurunan harga komoditas logam dan pertanian pada triwulan IV-2018, antara lain CPO, karet, dan nikel," tulis Bank Indonesia dalam Laporan Pasar Komoditas Global terbaru seperti dilansir Rabu (26/12/2018).
Banyak faktor yang menyebabkan harga kedua komoditas tersebut jatuh terpuruk di tahun ini. CNBC Indonesia akan merangkumnya satu per satu.
Sejak awal tahun, berbagai sentimen negatif memang menghantam harga CPO secara bertubi-tubi.
Pertama, per 1 Maret 2018, India menaikkan tarif impor CPO dari 30% menjadi 44%. Tidak hanya itu, tarif impor produk turunan minyak sawit juga dikerek naik dari 40% menjadi 54%.
Sebulan setelah kebijakan itu diberlakukan, ekspor minyak kelapa sawit Malaysia ke India tercatat turun 25% secara bulanan (MtM). Catatan pada Mei 2018 malah lebih parah lagi. Ekspor Malaysia anjlok nyaris 75% secara MtM, atau 72,5% secara tahunan (year-on-year/ YoY).
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Mengutip siaran pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), sepanjang semester I-2018 ekspor minyak sawit ke India tercatat turun hingga 34% YoY, paling parah dibandingkan dengan tujuan lainnya.
Kedua, Eropa tak ingin menghitung CPO sebagai biofuel. Mulai 2021, Parlemen Uni Eropa menyetujui agar kontribusi biofuel yang dihasilkan dari sawit menjadi nihil (0%) dalam perhitungan konsumsi energi bruto sumber energi terbarukan di negara-negara anggota. Keputusan itu diambil setelah dilakukan pemungutan suara di parlemen pada 17 Januari 2018.
Melalui rilis resminya, mereka menyebutkan kebijakan itu diambil berdasarkan bukti kuat bahwa biofuel konvensional tidak memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca, karena peralihan fungsi lahan secara tidak langsung (indirect land use change/ILUC).
Parlemen Eropa meyakini permintaan tambahan CPO untuk biofuel akan mendongkrak perluasan lahan dengan mengorbankan hutan, lahan basah, dan lahan gambut. Akibatnya, emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan bisa meniadakan efek penurunan emisi biofuel.
Memang berkat lobi-lobi intensif pemerintah Indonesia plus kecaman dari negara produsen lainnya, pada 14 Juni 2018 Uni Eropa akhirnya memutuskan untuk tidak melarang penggunaan biofuel berbasis sawit, minimal hingga 2030.
Namun, kabar positif ini tidak banyak membantu pemulihan harga CPO. Pasalnya, sejumlah sentimen negatif lainnya datang menyerang di paruh kedua tahun 2018.
 Foto: Seorang anggota staf berjalan melewati bendera AS dan China yang ditempatkan untuk konferensi pers bersama oleh A.S. REUTERS/Jason Lee/File Photo |
Ketiga, berkecamuknya perang dagang AS-China. Konflik ini sebagian besar didorong oleh penerapan bea masuk oleh AS, yang kemudian dibalas China dengan kebijakan sejenis.
Per Oktober 2018, total nilai produk made in China yang terkena bea masuk AS mencapai US$ 250 miliar. Kebanyakan menyasar komponen setengah jadi (intermediate), utamanya sektor elektronik dan sejenis mesin.
Sebagai balasan, China menjadikan produk otomotif dan pertanian Negeri Paman Sam sebagai target utama bea masuk-nya, yang mana merupakan barang-barang yang memang paling banyak diimpor oleh Beijing. Total nilai produk made in USA yang menjadi korban adalah US$ 110 miliar.
Produk pertanian AS yang paling terdampak dari tarif balasan Negeri Panda adalah minyak kedelai. Komoditas ini mendapatkan bea impor ekstra dari China sebesar 25%, berlaku pada akhir Agustus 2018.
Minyak kedelai adalah produk utama dari petani di Arkansas, dengan volume produksi mencapai 178 juta bushel pada 2017. Sekitar 40% dari hasil panen tersebut diekspor ke China. Dengan bertambah mahalnya biaya impor kedelai, Beijing pun dipastikan akan menurunkan permintaannya, dan akhirnya menekan harga minyak kedelai.
Departemen Pertanian AS (USDA) sebelumnya juga memproyeksi stok kedelai AS pada akhir musim 2018/2019 akan menyentuh rekor tertinggi 955 juta bushel, naik dua kali lipat dari tahun lalu.
Seperti diketahui, harga CPO dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya, seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga minyak kedelai turun, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut melemah.
 Foto: Pengerajin memilih kedelai untuk diolah menjadi tempe di kawasan Sunter, Jakarta Utara. (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto) |
Keempat, kejatuhan harga minyak mentah dunia (crude oil). Harga minyak jenis Brent dan light sweet (WTI) kompak jatuh hingga 6% pada perdagangan sebelum libur Natal (Senin, 24 Desember 2018). Dengan pergerakan ini, harga minyak Brent jatuh ke level terendah sejak Agustus 2017, sementara WTI tenggelam ke titik terendahnya sejak Juni 2017.
Penurunan harga minyak dunia memang cenderung menekan harga CPO yang merupakan bahan baku biofuel. Biofuel sendiri merupakan salah satu substitusi utama bagi bahan bakar minyak (BBM). Saat harga minyak dunia anjlok, produksi biofuel menjadi kurang ekonomis. Hal ini lantas menjadi sentimen menurunnya permintaan CPO.
Kelima, faktor terakhir datang dari faktor fundamental. Stok CPO Malaysia dan Indonesia, dua produsen utama CPO dunia, terus mengalami peningkatan pada tahun ini.
Malaysian Palm Oil Association mengumumkan produksi CPO di periode 1-20 Desember meningkat 5,6% secara MtM. Hal ini cukup mengejutkan pasar. Pasalnya, sebelumnya produksi CPO di Negeri Jiran justru diperkirakan akan menurun di bulan terakhir tahun ini, pasca dua bulan sebelumnya memang mencapai puncaknya secara musiman.
[Gambas:Video CNBC] Lain CPO, lain juga karet. Berbicara kepada CNBC Indonesia, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo, mengungkapkan, di bulan November harga karet berfluktuasi di kisaran US$ 1.250-1.300/ton. Sejatinya, harga yang ideal ada di level US$ 1.800/ton.
Menurut Moenardji, kejatuhan harga ini disebabkan beberapa faktor.
Pertama, kondisi perekonomian global saat ini yang turut mencerminkan konsumsi bahan baku industri yang melemah, termasuk industri ban sebagai pengguna karet alam.
 Foto: Sebuah tanda berdiri di atas fasilitas Ban Goodyear di Somerville, Massachusetts, AS, 25 Juli 2017. REUTERS / Brian Snyder / File Photo |
Kedua, faktor cuaca di negara-negara produsen utama, yakni Thailand, Indonesia, Vietnam dan Malaysia yang total menyuplai 74% dari produksi karet global.
Ketiga adalah gambaran fundamental suplai and permintaan di pasar global. Seringkali terjadi ketidakakuratan dalam hal ini yang akhirnya menciptakan kesan seolah-olah suplai karet di tingkat global berlebihan/oversupply.
Tata cara perdagangan (trading syle) komoditas karet di tingkat internasional menurut Moenardji cenderung seringkali tidak mencerminkan harga yang sebenarnya.
"Ini debatable dan tidak selalu reasonable dan akhirnya menciptakan faktor keempat, yakni spekulan. Harga menjadi tertekan," ujarnya.
Pernyataan senada dikeluarkan oleh Dewan Karet Tripartit Internasional (International Tripartite Rubber Council/ITRC) yang beranggotakan Thailand, Indonesia, dan Malaysia.
Menurut ITRC, harga karet di berbagai pasar komoditas internasional saat ini tidak mencerminkan fundamental pasar yang ada.
"Ketiga negara menyatakan kekhawatirannya bahwa pasar karet dunia telah dipengaruhi persepsi yang didasarkan pada data yang tidak akurat. Padahal, neraca suplai dan permintaan karet alam saat ini masih menunjukkan keseimbangan yang sehat," tulis siaran pers resmi ITRC, Kamis (13/12/2018).
Data Asosiasi Negara Produsen Karet Alam (Association of Natural Rubber Producing Countries/ ANRPC) mengestimasi produksi masing-masing negara anggota ITRC sepanjang tahun ini sebesar 4,81 juta ton (Thailand), 3,77 juta ton (Indonesia) dan 600 ribu ton (Malaysia).
Secara bersama-sama, ketiga negara menguasai sekitar 66% dari produksi karet global 2018 yang diproyeksi mencapai 13,89 juta ton.
Adapun produksi karet alam Vietnam tahun ini diproyeksi mencapai 1,1 juta ton.
 Foto: REUTERS/Kham |