Bad News 2018
Kehancuran Harga Komoditas Ekspor Andalan RI CPO & Karet
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
30 December 2018 08:45

Sejak awal tahun, berbagai sentimen negatif memang menghantam harga CPO secara bertubi-tubi.
Pertama, per 1 Maret 2018, India menaikkan tarif impor CPO dari 30% menjadi 44%. Tidak hanya itu, tarif impor produk turunan minyak sawit juga dikerek naik dari 40% menjadi 54%.
Sebulan setelah kebijakan itu diberlakukan, ekspor minyak kelapa sawit Malaysia ke India tercatat turun 25% secara bulanan (MtM). Catatan pada Mei 2018 malah lebih parah lagi. Ekspor Malaysia anjlok nyaris 75% secara MtM, atau 72,5% secara tahunan (year-on-year/ YoY).
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Mengutip siaran pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), sepanjang semester I-2018 ekspor minyak sawit ke India tercatat turun hingga 34% YoY, paling parah dibandingkan dengan tujuan lainnya.
Kedua, Eropa tak ingin menghitung CPO sebagai biofuel. Mulai 2021, Parlemen Uni Eropa menyetujui agar kontribusi biofuel yang dihasilkan dari sawit menjadi nihil (0%) dalam perhitungan konsumsi energi bruto sumber energi terbarukan di negara-negara anggota. Keputusan itu diambil setelah dilakukan pemungutan suara di parlemen pada 17 Januari 2018.
Melalui rilis resminya, mereka menyebutkan kebijakan itu diambil berdasarkan bukti kuat bahwa biofuel konvensional tidak memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca, karena peralihan fungsi lahan secara tidak langsung (indirect land use change/ILUC).
Parlemen Eropa meyakini permintaan tambahan CPO untuk biofuel akan mendongkrak perluasan lahan dengan mengorbankan hutan, lahan basah, dan lahan gambut. Akibatnya, emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan bisa meniadakan efek penurunan emisi biofuel.
Memang berkat lobi-lobi intensif pemerintah Indonesia plus kecaman dari negara produsen lainnya, pada 14 Juni 2018 Uni Eropa akhirnya memutuskan untuk tidak melarang penggunaan biofuel berbasis sawit, minimal hingga 2030.
Namun, kabar positif ini tidak banyak membantu pemulihan harga CPO. Pasalnya, sejumlah sentimen negatif lainnya datang menyerang di paruh kedua tahun 2018.
Ketiga, berkecamuknya perang dagang AS-China. Konflik ini sebagian besar didorong oleh penerapan bea masuk oleh AS, yang kemudian dibalas China dengan kebijakan sejenis.
Per Oktober 2018, total nilai produk made in China yang terkena bea masuk AS mencapai US$ 250 miliar. Kebanyakan menyasar komponen setengah jadi (intermediate), utamanya sektor elektronik dan sejenis mesin.
Sebagai balasan, China menjadikan produk otomotif dan pertanian Negeri Paman Sam sebagai target utama bea masuk-nya, yang mana merupakan barang-barang yang memang paling banyak diimpor oleh Beijing. Total nilai produk made in USA yang menjadi korban adalah US$ 110 miliar.
Produk pertanian AS yang paling terdampak dari tarif balasan Negeri Panda adalah minyak kedelai. Komoditas ini mendapatkan bea impor ekstra dari China sebesar 25%, berlaku pada akhir Agustus 2018.
Minyak kedelai adalah produk utama dari petani di Arkansas, dengan volume produksi mencapai 178 juta bushel pada 2017. Sekitar 40% dari hasil panen tersebut diekspor ke China. Dengan bertambah mahalnya biaya impor kedelai, Beijing pun dipastikan akan menurunkan permintaannya, dan akhirnya menekan harga minyak kedelai.
Departemen Pertanian AS (USDA) sebelumnya juga memproyeksi stok kedelai AS pada akhir musim 2018/2019 akan menyentuh rekor tertinggi 955 juta bushel, naik dua kali lipat dari tahun lalu.
Seperti diketahui, harga CPO dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya, seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga minyak kedelai turun, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut melemah.
Keempat, kejatuhan harga minyak mentah dunia (crude oil). Harga minyak jenis Brent dan light sweet (WTI) kompak jatuh hingga 6% pada perdagangan sebelum libur Natal (Senin, 24 Desember 2018). Dengan pergerakan ini, harga minyak Brent jatuh ke level terendah sejak Agustus 2017, sementara WTI tenggelam ke titik terendahnya sejak Juni 2017.
Penurunan harga minyak dunia memang cenderung menekan harga CPO yang merupakan bahan baku biofuel. Biofuel sendiri merupakan salah satu substitusi utama bagi bahan bakar minyak (BBM). Saat harga minyak dunia anjlok, produksi biofuel menjadi kurang ekonomis. Hal ini lantas menjadi sentimen menurunnya permintaan CPO.
Kelima, faktor terakhir datang dari faktor fundamental. Stok CPO Malaysia dan Indonesia, dua produsen utama CPO dunia, terus mengalami peningkatan pada tahun ini.
Malaysian Palm Oil Association mengumumkan produksi CPO di periode 1-20 Desember meningkat 5,6% secara MtM. Hal ini cukup mengejutkan pasar. Pasalnya, sebelumnya produksi CPO di Negeri Jiran justru diperkirakan akan menurun di bulan terakhir tahun ini, pasca dua bulan sebelumnya memang mencapai puncaknya secara musiman.
[Gambas:Video CNBC] (miq/miq)
Pertama, per 1 Maret 2018, India menaikkan tarif impor CPO dari 30% menjadi 44%. Tidak hanya itu, tarif impor produk turunan minyak sawit juga dikerek naik dari 40% menjadi 54%.
Sebulan setelah kebijakan itu diberlakukan, ekspor minyak kelapa sawit Malaysia ke India tercatat turun 25% secara bulanan (MtM). Catatan pada Mei 2018 malah lebih parah lagi. Ekspor Malaysia anjlok nyaris 75% secara MtM, atau 72,5% secara tahunan (year-on-year/ YoY).
Kedua, Eropa tak ingin menghitung CPO sebagai biofuel. Mulai 2021, Parlemen Uni Eropa menyetujui agar kontribusi biofuel yang dihasilkan dari sawit menjadi nihil (0%) dalam perhitungan konsumsi energi bruto sumber energi terbarukan di negara-negara anggota. Keputusan itu diambil setelah dilakukan pemungutan suara di parlemen pada 17 Januari 2018.
Melalui rilis resminya, mereka menyebutkan kebijakan itu diambil berdasarkan bukti kuat bahwa biofuel konvensional tidak memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca, karena peralihan fungsi lahan secara tidak langsung (indirect land use change/ILUC).
Parlemen Eropa meyakini permintaan tambahan CPO untuk biofuel akan mendongkrak perluasan lahan dengan mengorbankan hutan, lahan basah, dan lahan gambut. Akibatnya, emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan bisa meniadakan efek penurunan emisi biofuel.
Memang berkat lobi-lobi intensif pemerintah Indonesia plus kecaman dari negara produsen lainnya, pada 14 Juni 2018 Uni Eropa akhirnya memutuskan untuk tidak melarang penggunaan biofuel berbasis sawit, minimal hingga 2030.
Namun, kabar positif ini tidak banyak membantu pemulihan harga CPO. Pasalnya, sejumlah sentimen negatif lainnya datang menyerang di paruh kedua tahun 2018.
![]() |
Ketiga, berkecamuknya perang dagang AS-China. Konflik ini sebagian besar didorong oleh penerapan bea masuk oleh AS, yang kemudian dibalas China dengan kebijakan sejenis.
Per Oktober 2018, total nilai produk made in China yang terkena bea masuk AS mencapai US$ 250 miliar. Kebanyakan menyasar komponen setengah jadi (intermediate), utamanya sektor elektronik dan sejenis mesin.
Sebagai balasan, China menjadikan produk otomotif dan pertanian Negeri Paman Sam sebagai target utama bea masuk-nya, yang mana merupakan barang-barang yang memang paling banyak diimpor oleh Beijing. Total nilai produk made in USA yang menjadi korban adalah US$ 110 miliar.
Produk pertanian AS yang paling terdampak dari tarif balasan Negeri Panda adalah minyak kedelai. Komoditas ini mendapatkan bea impor ekstra dari China sebesar 25%, berlaku pada akhir Agustus 2018.
Minyak kedelai adalah produk utama dari petani di Arkansas, dengan volume produksi mencapai 178 juta bushel pada 2017. Sekitar 40% dari hasil panen tersebut diekspor ke China. Dengan bertambah mahalnya biaya impor kedelai, Beijing pun dipastikan akan menurunkan permintaannya, dan akhirnya menekan harga minyak kedelai.
Departemen Pertanian AS (USDA) sebelumnya juga memproyeksi stok kedelai AS pada akhir musim 2018/2019 akan menyentuh rekor tertinggi 955 juta bushel, naik dua kali lipat dari tahun lalu.
Seperti diketahui, harga CPO dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya, seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga minyak kedelai turun, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut melemah.
![]() |
Keempat, kejatuhan harga minyak mentah dunia (crude oil). Harga minyak jenis Brent dan light sweet (WTI) kompak jatuh hingga 6% pada perdagangan sebelum libur Natal (Senin, 24 Desember 2018). Dengan pergerakan ini, harga minyak Brent jatuh ke level terendah sejak Agustus 2017, sementara WTI tenggelam ke titik terendahnya sejak Juni 2017.
Penurunan harga minyak dunia memang cenderung menekan harga CPO yang merupakan bahan baku biofuel. Biofuel sendiri merupakan salah satu substitusi utama bagi bahan bakar minyak (BBM). Saat harga minyak dunia anjlok, produksi biofuel menjadi kurang ekonomis. Hal ini lantas menjadi sentimen menurunnya permintaan CPO.
Kelima, faktor terakhir datang dari faktor fundamental. Stok CPO Malaysia dan Indonesia, dua produsen utama CPO dunia, terus mengalami peningkatan pada tahun ini.
Malaysian Palm Oil Association mengumumkan produksi CPO di periode 1-20 Desember meningkat 5,6% secara MtM. Hal ini cukup mengejutkan pasar. Pasalnya, sebelumnya produksi CPO di Negeri Jiran justru diperkirakan akan menurun di bulan terakhir tahun ini, pasca dua bulan sebelumnya memang mencapai puncaknya secara musiman.
[Gambas:Video CNBC] (miq/miq)
Next Page
Spekulan hancurkan harga karet global?
Pages
Most Popular