
Sambut Weekend, Rupiah Berakhir Stagnan
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
28 December 2018 17:03

Sejatinya, dolar AS masih dilego investor, seiring dengan rilis data ekonomi yang mengecewakan plus meredanya risiko dari eksternal. Hingga pukul 16.00 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia) melemah hingga 0,14%.
Dari data ekonomi, kemarin Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) AS versi The Conference Board periode Desember diumumkan di level 128,1 turun 8,3 poin dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan Ini merupakan yang terdalam sejak Juli 2015. IKK periode Desember juga jauh di bawah konsensus yang sebesar 133,7, seperti dilansir dari Forex Factory.
Rilis data tersebut berpotensi memukul perekonomian AS dengan signifikan. Pasalnya, lebih dari 50% perekonomian AS dibentuk oleh konsumsi rumah tangga. Ketika optimisme konsumen memudar, konsumsi berpotensi berkurang dan menekan laju perekonomian Negeri Paman Sam.
Pada akhirnya, terdapat keraguan bahwa The Federal Reserve/The Fed masih akan mengeksekusi rencanannya untuk mengerek suku bunga acuan sebanyak 2 kali pada tahun depan.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 27 Desember 2018 siang ini, terdapat 60,4% kemungkinan bahwa The Fed tak akan menaikkan suku bunga acuan sama sekali pada tahun depan, naik dari posisi sehari sebelumnya yang sebesar 55,6%.
Munculnya potensi bahwa suku bunga acuan AS tidak akan naik di tahun depan, membuat dolar AS jadi tidak punya energi untuk bisa menguat. Seperti diketahui, di sepanjang tahun ini Dollar Index mampu menguat hingga 4,65% ditopang Federal Funds Rate yang naik hingga 100 basis poin (bps).
Situasi dolar AS yang sedang tertekan pun dimanfaatkan oleh sebagaian mata uang Asia untuk bergerak menguat. Meski demikian, sejatinya kepercayaan diri investor masih berada di level yang tidak tinggi-tinggi amat. Pasalnya, masih ada risiko besar yang menghantui ekonomi dunia.
Risiko itu datang dari suramnya prospek damai dagang AS-China. 3 orang sumber mengatakan kepada Reuters bahwa Presiden AS Donald Trump berencana untuk menggunakan kebijakan eksekutif yang dimilikinya guna mendeklarasikan situasi darurat nasional, yang pada akhirnya akan melarang perusahaan-perusahaan asal AS untuk menggunakan perangkat telekomunikasi buatan Huawei dan ZTE, seperti dilansir dari CNBC International.
Kebijakan eksekutif yang sudah berada dalam proses perencanaan sejak lebih dari 8 bulan tersebut bisa diterbitkan secepatnya pada bulan Januari dan akan memberikan perintah kepada Kementerian Perdagangan AS untuk memblokir perusahaan-perusahaan AS dalam membeli peralatan dari perusahaan telekomunikasi asing yang membawa risiko signifikan bagi keamanan negara, kata sumber-sumber dari industri telekomunikasi dan pemerintahan AS.
Jika kebijakan tersebut jadi diluncurkan nantinya, damai dagang AS-China secara permanen akan kian sulit untuk dicapai. Sejauh ini, perang dagang yang terjadi antara AS dengan China terlihat benar-benar menyakiti perekonomian masing-masing.
Dari data ekonomi, kemarin Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) AS versi The Conference Board periode Desember diumumkan di level 128,1 turun 8,3 poin dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan Ini merupakan yang terdalam sejak Juli 2015. IKK periode Desember juga jauh di bawah konsensus yang sebesar 133,7, seperti dilansir dari Forex Factory.
Rilis data tersebut berpotensi memukul perekonomian AS dengan signifikan. Pasalnya, lebih dari 50% perekonomian AS dibentuk oleh konsumsi rumah tangga. Ketika optimisme konsumen memudar, konsumsi berpotensi berkurang dan menekan laju perekonomian Negeri Paman Sam.
Pada akhirnya, terdapat keraguan bahwa The Federal Reserve/The Fed masih akan mengeksekusi rencanannya untuk mengerek suku bunga acuan sebanyak 2 kali pada tahun depan.
Munculnya potensi bahwa suku bunga acuan AS tidak akan naik di tahun depan, membuat dolar AS jadi tidak punya energi untuk bisa menguat. Seperti diketahui, di sepanjang tahun ini Dollar Index mampu menguat hingga 4,65% ditopang Federal Funds Rate yang naik hingga 100 basis poin (bps).
Situasi dolar AS yang sedang tertekan pun dimanfaatkan oleh sebagaian mata uang Asia untuk bergerak menguat. Meski demikian, sejatinya kepercayaan diri investor masih berada di level yang tidak tinggi-tinggi amat. Pasalnya, masih ada risiko besar yang menghantui ekonomi dunia.
Risiko itu datang dari suramnya prospek damai dagang AS-China. 3 orang sumber mengatakan kepada Reuters bahwa Presiden AS Donald Trump berencana untuk menggunakan kebijakan eksekutif yang dimilikinya guna mendeklarasikan situasi darurat nasional, yang pada akhirnya akan melarang perusahaan-perusahaan asal AS untuk menggunakan perangkat telekomunikasi buatan Huawei dan ZTE, seperti dilansir dari CNBC International.
Kebijakan eksekutif yang sudah berada dalam proses perencanaan sejak lebih dari 8 bulan tersebut bisa diterbitkan secepatnya pada bulan Januari dan akan memberikan perintah kepada Kementerian Perdagangan AS untuk memblokir perusahaan-perusahaan AS dalam membeli peralatan dari perusahaan telekomunikasi asing yang membawa risiko signifikan bagi keamanan negara, kata sumber-sumber dari industri telekomunikasi dan pemerintahan AS.
Jika kebijakan tersebut jadi diluncurkan nantinya, damai dagang AS-China secara permanen akan kian sulit untuk dicapai. Sejauh ini, perang dagang yang terjadi antara AS dengan China terlihat benar-benar menyakiti perekonomian masing-masing.
Selain buruknya data IKK di Negeri Paman Sam, China pun baru-baru ini mengumumkan data ekonomi yang kurang memuaskan. Laba bersih dari perusahaan-perusahaan industri di Negeri Panda diumumkan turun 1,8% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan November menjadi 594,8 miliar yuan (Rp 1.254 triliun). Mengutip Reuters, ini menandai penurunan pertama sejak Desember 2015.
Akibat adanya risiko ini, pelaku pasar pun belum benar-benar memasang posisi risk-off. Malahan, sebenarnya posisi investor lebih condong ke risk-on. Hal ini dibuktikan dengan naiknya sejumlah instrumen safe haven. Selain yen Jepang, Franc Swiss menguat sebesar 0,25%.
Dorongan investor untuk memeluk safe haven ini akhirnya membatasi penguatan beberapa mata uang Asia, termasuk rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(RHG/RHG)
Akibat adanya risiko ini, pelaku pasar pun belum benar-benar memasang posisi risk-off. Malahan, sebenarnya posisi investor lebih condong ke risk-on. Hal ini dibuktikan dengan naiknya sejumlah instrumen safe haven. Selain yen Jepang, Franc Swiss menguat sebesar 0,25%.
Dorongan investor untuk memeluk safe haven ini akhirnya membatasi penguatan beberapa mata uang Asia, termasuk rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Pages
Most Popular