Sambut Weekend, Rupiah Berakhir Stagnan

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
28 December 2018 17:03
Sambut Weekend, Rupiah Berakhir Stagnan
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah akhirnya ditutup stagnan pada perdagangan akhir pekan ini. Penguatan rupiah di pagi hari ini terus menipis hingga akhirnya berakhir flat.

Pada Jumat (28/12/2018) pukul 16:00 WIB, US$ 1 berada di Rp 14.555 di perdagangan pasar spot. Rupiah tidak mengalami perubahan dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Dibuka stagnan di level Rp 14.555/US$, mata uang tanah air kemudian sempat menguat hingga 0,17% ke Rp 14.530/US$. Sayangnya, selepas siang hari ini tenaga rupiah berkurang, hingga penguatannya terus menipis.

Beberapa saat sebelum perdagangan ditutup, rupiah malah sempat mencicipi zona merah. Beruntung, di ujung perdagangan rupiah akhirnya masih bisa ditutup flat.

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah di sepanjang hari ini:



Mata uang Asia cenderung bergerak bervariatif terhadap dolar AS pada hari ini. Padahal, hingga siang hari ini, hampir seluruh mata uang Benua Kuning mampu perkasa terhadap greenback.

Keperkasaaan itu kemudian agak memudar, hingga penguatan beberapa mata uang cenderung memudar (termasuk rupiah). Rupiah masih perlu bersyukur karena hanya ditutup stagnan. Mata uang seperti yuan China dan baht Thailand malah berbalik terperosok ke zona merah, masing-masing terdepresiasi sebesar 0,06% dan 0,12%.

Di sisi lain, mata uang yang mampu menjadi juara Asia pada hari ini adalah yen Jepang, dengan penguatan mencapai 0,5%. Capaian itu disusul oleh rupee India yang terapresiasi hingga 0,45%.

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 16:16 WIB:



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sejatinya, dolar AS masih dilego investor, seiring dengan rilis data ekonomi yang mengecewakan plus meredanya risiko dari eksternal. Hingga pukul 16.00 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia) melemah hingga 0,14%. 

Dari data ekonomi, kemarin Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) AS versi The Conference Board periode Desember diumumkan di level 128,1 turun 8,3 poin dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan Ini merupakan yang terdalam sejak Juli 2015. 
IKK periode Desember juga jauh di bawah konsensus yang sebesar 133,7, seperti dilansir dari Forex Factory.

Rilis data tersebut berpotensi memukul perekonomian AS dengan signifikan. Pasalnya, lebih dari 50% perekonomian AS dibentuk oleh konsumsi rumah tangga. Ketika optimisme konsumen memudar, konsumsi berpotensi berkurang dan menekan laju perekonomian Negeri Paman Sam.

Pada akhirnya, terdapat keraguan bahwa The Federal Reserve/The Fed masih akan mengeksekusi rencanannya untuk mengerek suku bunga acuan sebanyak 2 kali pada tahun depan.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 27 Desember 2018 siang ini, terdapat 60,4% kemungkinan bahwa The Fed tak akan menaikkan suku bunga acuan sama sekali pada tahun depan, naik dari posisi sehari sebelumnya yang sebesar 55,6%.

Munculnya potensi bahwa suku bunga acuan AS tidak akan naik di tahun depan, membuat dolar AS jadi tidak punya energi untuk bisa menguat. Seperti diketahui, di sepanjang tahun ini Dollar Index mampu menguat hingga 4,65% ditopang Federal Funds Rate yang naik hingga 100 basis poin (bps).

Situasi dolar AS yang sedang tertekan pun dimanfaatkan oleh sebagaian mata uang Asia untuk bergerak menguat. Meski demikian, sejatinya kepercayaan diri investor masih berada di level yang tidak tinggi-tinggi amat. Pasalnya, masih ada risiko besar yang menghantui ekonomi dunia.

Risiko itu datang dari suramnya prospek damai dagang AS-China. 3 orang sumber mengatakan kepada Reuters bahwa Presiden AS Donald Trump berencana untuk menggunakan kebijakan eksekutif yang dimilikinya guna mendeklarasikan situasi darurat nasional, yang pada akhirnya akan melarang perusahaan-perusahaan asal AS untuk menggunakan perangkat telekomunikasi buatan Huawei dan ZTE, seperti dilansir dari CNBC International.

Kebijakan eksekutif yang sudah berada dalam proses perencanaan sejak lebih dari 8 bulan tersebut bisa diterbitkan secepatnya pada bulan Januari dan akan memberikan perintah kepada Kementerian Perdagangan AS untuk memblokir perusahaan-perusahaan AS dalam membeli peralatan dari perusahaan telekomunikasi asing yang membawa risiko signifikan bagi keamanan negara, kata sumber-sumber dari industri telekomunikasi dan pemerintahan AS.

Jika kebijakan tersebut jadi diluncurkan nantinya, damai dagang AS-China secara permanen akan kian sulit untuk dicapai. 
Sejauh ini, perang dagang yang terjadi antara AS dengan China terlihat benar-benar menyakiti perekonomian masing-masing.

Selain buruknya data IKK di Negeri Paman Sam, China pun baru-baru ini mengumumkan data ekonomi yang kurang memuaskan. Laba bersih dari perusahaan-perusahaan industri di Negeri Panda diumumkan turun 1,8% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan November menjadi 594,8 miliar yuan (Rp 1.254 triliun). Mengutip Reuters, ini menandai penurunan pertama sejak Desember 2015.

Akibat adanya risiko ini, pelaku pasar pun belum benar-benar memasang posisi risk-off. Malahan, sebenarnya posisi investor lebih condong ke risk-on. Hal ini dibuktikan dengan naiknya sejumlah instrumen safe haven. Selain yen Jepang, Franc Swiss menguat sebesar 0,25%.

Dorongan investor untuk memeluk safe haven ini akhirnya membatasi penguatan beberapa mata uang Asia, termasuk rupiah. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Pada sore ini, harga minyak mentah ternyata berbalik perkasa. Hingga pukul 16.44 WIB , harga minyak WTI kontrak pengiriman Februari 2019 melejit 2,67% ke level US$ 45,80/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 menguat 2,07% ke level US$ 53,24/barel. Padahal, kemarin harga si emas hitam melemah di kisaran 4%-an.

Melesatnya harga minyak mentah tentu menjadi kabar buruk bagi rupiah, lantaran bisa memperparah defisit perdagangan minyak dan gas (migas) yang pada akhirnya akan membuat defisit neraca berjalan (Current Account Deficit/CAD) kian lebar.

Sebagai informasi, pada kuartal-III 2018 CAD mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2014, seiring dengan besarnya defisit perdagangan minyak dan gas (migas).

Terlebih, hari ini Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengonfirmasi bahwa CAD triwulan IV masih di level 3%-an, meski Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) akan mengalami surplus.

"Neraca pembayaran kuartal IV-2018 surplus sekitar US$ 4 miliar, meskipun CAD masih tinggi sekitar 3% dari PDB di triwulan IV," ungkap Perry.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular