Happy Weekend! Rupiah Kembali Jadi Juara di Asia

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
07 December 2018 17:39
Happy Weekend! Rupiah Kembali Jadi Juara di Asia
Foto: Warga melakukan transaksi penukaran mata uang asing di salah satu pusat penukaran mata uang di Jakarta.
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat di perdagangan pasat spot hari ini. Meski sempat melemah tipis di awal perdagangan, tetapi rupiah mampu membalikkan keadaan hingga menjadi yang terkuat di Asia.

Pada Jumat (7/11/2018), US$ 1 ditutup Rp 14.465 di perdagangan pasar spot. Rupiah menguat 0,34% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Sempat bergerak ke zona merah pada awal perdagangan, mata uang tanah air berbalik menguat hingga menyentuh level Rp 14.450/US$ (menguat 0,45%) di pertengahan hari. Penguatannya kemudian agak mengendur, hingga rupiah akhirnya finish di level Rp 14.465/US$ (menguat 0,34%).

Happy Weekend! Rupiah Kembali Jadi Juara di AsiaFoto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:



Meski penguatannya mengendur jelang akhir perdagangan, rupiah mampu menjadi salah satu dari 3 mata uang Asia yang mampu mencatatkan penguatan pada hari ini. Sisanya, harus menelan pil pahit melemah di hadapan dolar AS.

Mata uang yang bernasib baik sama seperti rupiah adalah rupee India dan baht Thailand. Akan tetapi, di antara 3 besar mata uang terbaik hari ini, penguatan rupiah menjadi yang paling besar. Alhasil, rupiah pun dinobatkan menjadi juara di Asia pada perdagangan hari ini.

Dengan begitu, rupiah memutus status mata uang paling lemah di Asia selama 3 hari beruntun sebelumnya.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16.14 WIB:



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Sebenarnya dolar AS sedang menemukan kembali kekuatannya selepas siang ini. Hingga pukul 16.00 WIB hari ini, Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia, tercatat menguat 0,03%.

Dolar AS memang sedang diterpa sentimen negatif sejak kemarin. Sebagai catatan, pada penutupan perdagangan hari Kamis (6/12/2018), Dollar Index tercatat turun hingga 0,27%. Sentimen negatif itu berasal dari The Federal Reserve/The Fed yang terlihat kian dovish.

Wall Street Journal melaporkan bahwa The Fed sedang mempertimbangkan untuk memberikan sinyal wait-and-see terkait kenaikan suku bunga acuan pada pertemuannya bulan ini, seperti dikutip dari CNBC International.

Laporan tersebut menyebut bahwa The Fed tidak tahu apa langkah mereka selanjutnya setelah pertemuan bulan ini.

Lantas, hal ini semacam memberikan konfirmasi bahwa stance dari The Fed sudah mengarah ke dovish. Sebelumnya, pernyataan yang mengindikasikan hal tersebut sempat dilontarkan oleh sang gubernur, Jerome Powell, serta wakilnya, Richard Clarida.

Apalagi, data-data ekonomi di AS juga mengonfirmasi bahwa tekanan sedang menerpa perekonomian AS. Dari sejumlah data ekonomi AS yang dirilis kemarin, nyaris semuanya meleset dari ekspektasi pasar.

Penciptaan lapangan kerja non-pertanian di AS versi ADP diumumkan hanya sebanyak 179.000 pada bulan November, jauh di bawah konsensus Reuters yang sebanyak 195.000. Jumlah itu juga jatuh dari capaian bulan sebelumnya sebesar 225.000.

Masih dari data tenaga kerja, jumlah warga AS yang mengajukan klaim tunjangan pengangguran turun 4.000 orang menjadi 231.000 orang di sepanjang pekan lalu. Meski mencatat penurunan, tapi jumlahnya masih lebih rendah dibandingkan konsensus Reuters yang meramalkan penurunan ke angka 225.000 orang.

Dari data lainnya, jumlah barang modal yang dipesan sektor industri di AS juga mengalami kontraksi 2,1% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada Oktober, lebih besar dari kontraksi 1,9% yang diekspektasikan pasar. Angka itu juga melambat drastis dari capaian bulan September yang masih membukukan pertumbuhan 0,2%.

Namun, selepas siang ini, pergerakan dolar AS berbalik arah ke zona hijau. Sebagian investor nampaknya masih khawatir terhadap risiko resesi perekonomian di Amerika Serikat (AS).  

Sejak Senin, yield untuk bond AS bertenor tiga tahun naik melebihi surat utang berjangka waktu lima tahun. Ini menggambarkan perkiraan investor bahwa akan ada risiko yang lebih tinggi terhadap perekonomian dalam jangka pendek dibandingkan jangka panjang.

Data Refinitiv menunjukkan inverted yield kali pertama terjadi pada perdagangan tanggal 4 Desember 2018. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun hanya sebesar 2 bps.

Pada perdagangan hari Jumat (7/12/2018), spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun kembali menjadi 2 bps setelah kemarin sempat melebar menjadi 3 bps.


Sementara itu, spread yield obligasi 3 bulan dan 10 tahun yang dianggap pasar lebih tepat meramalkan resesi belum mengalami inversi namun telah menipis menjadi 47 bps hari Jumat dari 82 bps di awal November, menurut data Refinitiv.

Tiga resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), menunjukkan selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun rata-rata 26,3 bulan jelang perlambatan ekonomi itu benar-benar terjadi, dilansir dari CNBC International yang mengutip Bespoke.

Terlebih, risiko dari perang dagang juga masih menghantui benak investor. Prospek damai dagang AS-China ternyata masih belum memberikan kabar gembira. Yang ada, hubungan kedua negara malah semakin tegang.

Kanada dikabarkan telah menahan Chief Financial Officer (CFO) Huawei global Meng Wanzhou di Vancouver. Dirinya kini menghadapi kemungkinan ekstradisi ke AS atas dugaan melanggar sanksi AS terhadap Iran.
Sebagai informasi, pemerintah Negeri Paman Sam telah menuntut Huawei paling tidak sejak 2016 atas dugaan mengirim produk asal AS ke Iran dan negara-negara lain. AS mengklaim hal itu merupakan pelangaran terhadap sanksi ekspor yang telah ditetapkan negaranya.

Tak pelak, hal ini memicu kecaman dari pihak China. Kemarin, kedutaan China di Kanada mengecam Kanada dan AS perihal penangkapan Wanzhou. Mereka menuntut agar petinggi Huawei itu segera dibebaskan.

"China telah membuat pernyataan ke AS dan Kanada, menuntut mereka segera memperbaiki perilaku salah mereka dan mengembalikan kebebasan Meng Wanzhou," tambah kedutaan.

Kini risiko terjadinya deadlock pada negosiasi dagang AS-China justru semakin besar. Oleh karena itu, investor belum bisa meninggalkan dolar AS yang berstatus sebagai safe haven.

(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Karena dolar AS balik menguat, sejumlah mata uang Asia pun tak kuasa terseret ke zona merah selepas siang ini. Tekanan yang sama juga terjadi pada rupiah, hingga penguatan mata uang tanah air sempat mengendur.

Meski tergerus, penguatan rupiah nyatanya tetap stabil di level yang tinggi, hingga mampu menjadi juara Asia hari ini. Setidaknya ada 2 alasan dari dalam negeri yang menopang penguatan rupiah. PertamaBank Indonesia (BI) merilis posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir November 2018. Cadangan devisa tercatat US$ 117,2 miliar naik US$ 2 miliar dibandingkan dengan bulan sebelumnya atau di Oktober yang "hanya" US$ 115,2 miliar.

Sudah dua bulan berturut-turut cadangan devisa RI mengalami kenaikan, setelah dalam periode Januari-September 2018 selalu mengalami penurunan.



"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," jelas BI dalam keterangannya seperti dikutip Jumat (7/12/2018).

Posisi cadangan devisa yang kuat mengindikasikan bahwa rupiah bisa lebih tahan terhadap gejolak eksternal yang terjadi. Hal ini lantas menjadi pijakan bagi rupiah untuk bisa bergerak menguat.

Kedua, keberhasilan rupiah untuk menjadi mata uang terbaik di kawasan Asia tak lepas dari peran Bank Indonesia (BI).

Mengakui melakukan intervensi, BI mengatakan tak melakukan intervensi menyeluruh di pasar Surat Berharga Negara (SBN), pasar spot, maupun Domestik Non-Delivery Forward (DNDF) sekaligus. Keberhasilan membawa rupiah kembali ke kisaran Rp 14.400/dolar AS dilakukan hanya dengan menggunakan satu intervensi.

"BI hanya intervensi di pasar DNDF. Ini mempengaruhi pasar spot dan offshore NDF," kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Nanang Hendarsah kepada CNBC Indonesia, Jumat (7/12/2018).
"Jadi BI memang intervensi di pasar DNDF saja untuk pushing down NDF yang offshore (di luar negeri) nah ini berpengaruh ke spot," tambah Nanang.

Sebagai tambahan, rupiah juga mendapatkan kekuatan turunnya harga minyak mentah dunia. Harga minyak mentah jenis brent kontrak Februari 2019 turun sebesar 0,65% ke level US$ 59,67/barel, hingga pukul 11.05 WIB hari ini. Di waktu yang sama, harga minyak mentah light sweet kontrak Januari 2019 juga terkoreksi 0,48% ke level US$ 51,24/barel.

BACA: Nantikan Keputusan OPEC, Harga Minyak Lanjutkan Pelemahan

Pelaku pasar cenderung masih bermain aman setelah Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memutuskan untuk menunda keputusan akhir pemangkasan produksi hingga hari ini. Investor pun cenderung merespon negatif rencana volume pemangkasan yang lebih sedikit dari ekspektasi sebelumnya.

Harga minyak mentah yang rendah akan memunculkan harapan bahwa defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) akan menipis pada kuartal-IV 2018. Sebelumnya pada kuartal-II dan III, CAD membengkak di atas 3% dari PDB, seiring dengan besarnya defisit dagang di pos minyak dan gas.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular