
Happy Weekend! Rupiah Kembali Jadi Juara di Asia
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
07 December 2018 17:39

Sebenarnya dolar AS sedang menemukan kembali kekuatannya selepas siang ini. Hingga pukul 16.00 WIB hari ini, Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia, tercatat menguat 0,03%.
Dolar AS memang sedang diterpa sentimen negatif sejak kemarin. Sebagai catatan, pada penutupan perdagangan hari Kamis (6/12/2018), Dollar Index tercatat turun hingga 0,27%. Sentimen negatif itu berasal dari The Federal Reserve/The Fed yang terlihat kian dovish.
Wall Street Journal melaporkan bahwa The Fed sedang mempertimbangkan untuk memberikan sinyal wait-and-see terkait kenaikan suku bunga acuan pada pertemuannya bulan ini, seperti dikutip dari CNBC International.
Laporan tersebut menyebut bahwa The Fed tidak tahu apa langkah mereka selanjutnya setelah pertemuan bulan ini.
Lantas, hal ini semacam memberikan konfirmasi bahwa stance dari The Fed sudah mengarah ke dovish. Sebelumnya, pernyataan yang mengindikasikan hal tersebut sempat dilontarkan oleh sang gubernur, Jerome Powell, serta wakilnya, Richard Clarida.
Apalagi, data-data ekonomi di AS juga mengonfirmasi bahwa tekanan sedang menerpa perekonomian AS. Dari sejumlah data ekonomi AS yang dirilis kemarin, nyaris semuanya meleset dari ekspektasi pasar.
Penciptaan lapangan kerja non-pertanian di AS versi ADP diumumkan hanya sebanyak 179.000 pada bulan November, jauh di bawah konsensus Reuters yang sebanyak 195.000. Jumlah itu juga jatuh dari capaian bulan sebelumnya sebesar 225.000.
Masih dari data tenaga kerja, jumlah warga AS yang mengajukan klaim tunjangan pengangguran turun 4.000 orang menjadi 231.000 orang di sepanjang pekan lalu. Meski mencatat penurunan, tapi jumlahnya masih lebih rendah dibandingkan konsensus Reuters yang meramalkan penurunan ke angka 225.000 orang.
Dari data lainnya, jumlah barang modal yang dipesan sektor industri di AS juga mengalami kontraksi 2,1% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada Oktober, lebih besar dari kontraksi 1,9% yang diekspektasikan pasar. Angka itu juga melambat drastis dari capaian bulan September yang masih membukukan pertumbuhan 0,2%.
Namun, selepas siang ini, pergerakan dolar AS berbalik arah ke zona hijau. Sebagian investor nampaknya masih khawatir terhadap risiko resesi perekonomian di Amerika Serikat (AS).
Sejak Senin, yield untuk bond AS bertenor tiga tahun naik melebihi surat utang berjangka waktu lima tahun. Ini menggambarkan perkiraan investor bahwa akan ada risiko yang lebih tinggi terhadap perekonomian dalam jangka pendek dibandingkan jangka panjang.
Data Refinitiv menunjukkan inverted yield kali pertama terjadi pada perdagangan tanggal 4 Desember 2018. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun hanya sebesar 2 bps.
Pada perdagangan hari Jumat (7/12/2018), spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun kembali menjadi 2 bps setelah kemarin sempat melebar menjadi 3 bps.
Sementara itu, spread yield obligasi 3 bulan dan 10 tahun yang dianggap pasar lebih tepat meramalkan resesi belum mengalami inversi namun telah menipis menjadi 47 bps hari Jumat dari 82 bps di awal November, menurut data Refinitiv.
Tiga resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), menunjukkan selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun rata-rata 26,3 bulan jelang perlambatan ekonomi itu benar-benar terjadi, dilansir dari CNBC International yang mengutip Bespoke.
Terlebih, risiko dari perang dagang juga masih menghantui benak investor. Prospek damai dagang AS-China ternyata masih belum memberikan kabar gembira. Yang ada, hubungan kedua negara malah semakin tegang.
Kanada dikabarkan telah menahan Chief Financial Officer (CFO) Huawei global Meng Wanzhou di Vancouver. Dirinya kini menghadapi kemungkinan ekstradisi ke AS atas dugaan melanggar sanksi AS terhadap Iran.
Sebagai informasi, pemerintah Negeri Paman Sam telah menuntut Huawei paling tidak sejak 2016 atas dugaan mengirim produk asal AS ke Iran dan negara-negara lain. AS mengklaim hal itu merupakan pelangaran terhadap sanksi ekspor yang telah ditetapkan negaranya.
Tak pelak, hal ini memicu kecaman dari pihak China. Kemarin, kedutaan China di Kanada mengecam Kanada dan AS perihal penangkapan Wanzhou. Mereka menuntut agar petinggi Huawei itu segera dibebaskan.
"China telah membuat pernyataan ke AS dan Kanada, menuntut mereka segera memperbaiki perilaku salah mereka dan mengembalikan kebebasan Meng Wanzhou," tambah kedutaan.
Kini risiko terjadinya deadlock pada negosiasi dagang AS-China justru semakin besar. Oleh karena itu, investor belum bisa meninggalkan dolar AS yang berstatus sebagai safe haven.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3) (RHG/dru)
Dolar AS memang sedang diterpa sentimen negatif sejak kemarin. Sebagai catatan, pada penutupan perdagangan hari Kamis (6/12/2018), Dollar Index tercatat turun hingga 0,27%. Sentimen negatif itu berasal dari The Federal Reserve/The Fed yang terlihat kian dovish.
Wall Street Journal melaporkan bahwa The Fed sedang mempertimbangkan untuk memberikan sinyal wait-and-see terkait kenaikan suku bunga acuan pada pertemuannya bulan ini, seperti dikutip dari CNBC International.
Lantas, hal ini semacam memberikan konfirmasi bahwa stance dari The Fed sudah mengarah ke dovish. Sebelumnya, pernyataan yang mengindikasikan hal tersebut sempat dilontarkan oleh sang gubernur, Jerome Powell, serta wakilnya, Richard Clarida.
Apalagi, data-data ekonomi di AS juga mengonfirmasi bahwa tekanan sedang menerpa perekonomian AS. Dari sejumlah data ekonomi AS yang dirilis kemarin, nyaris semuanya meleset dari ekspektasi pasar.
Penciptaan lapangan kerja non-pertanian di AS versi ADP diumumkan hanya sebanyak 179.000 pada bulan November, jauh di bawah konsensus Reuters yang sebanyak 195.000. Jumlah itu juga jatuh dari capaian bulan sebelumnya sebesar 225.000.
Masih dari data tenaga kerja, jumlah warga AS yang mengajukan klaim tunjangan pengangguran turun 4.000 orang menjadi 231.000 orang di sepanjang pekan lalu. Meski mencatat penurunan, tapi jumlahnya masih lebih rendah dibandingkan konsensus Reuters yang meramalkan penurunan ke angka 225.000 orang.
Dari data lainnya, jumlah barang modal yang dipesan sektor industri di AS juga mengalami kontraksi 2,1% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada Oktober, lebih besar dari kontraksi 1,9% yang diekspektasikan pasar. Angka itu juga melambat drastis dari capaian bulan September yang masih membukukan pertumbuhan 0,2%.
Namun, selepas siang ini, pergerakan dolar AS berbalik arah ke zona hijau. Sebagian investor nampaknya masih khawatir terhadap risiko resesi perekonomian di Amerika Serikat (AS).
Sejak Senin, yield untuk bond AS bertenor tiga tahun naik melebihi surat utang berjangka waktu lima tahun. Ini menggambarkan perkiraan investor bahwa akan ada risiko yang lebih tinggi terhadap perekonomian dalam jangka pendek dibandingkan jangka panjang.
Data Refinitiv menunjukkan inverted yield kali pertama terjadi pada perdagangan tanggal 4 Desember 2018. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun hanya sebesar 2 bps.
Pada perdagangan hari Jumat (7/12/2018), spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun kembali menjadi 2 bps setelah kemarin sempat melebar menjadi 3 bps.
Sementara itu, spread yield obligasi 3 bulan dan 10 tahun yang dianggap pasar lebih tepat meramalkan resesi belum mengalami inversi namun telah menipis menjadi 47 bps hari Jumat dari 82 bps di awal November, menurut data Refinitiv.
Tiga resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), menunjukkan selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun rata-rata 26,3 bulan jelang perlambatan ekonomi itu benar-benar terjadi, dilansir dari CNBC International yang mengutip Bespoke.
Terlebih, risiko dari perang dagang juga masih menghantui benak investor. Prospek damai dagang AS-China ternyata masih belum memberikan kabar gembira. Yang ada, hubungan kedua negara malah semakin tegang.
Kanada dikabarkan telah menahan Chief Financial Officer (CFO) Huawei global Meng Wanzhou di Vancouver. Dirinya kini menghadapi kemungkinan ekstradisi ke AS atas dugaan melanggar sanksi AS terhadap Iran.
Sebagai informasi, pemerintah Negeri Paman Sam telah menuntut Huawei paling tidak sejak 2016 atas dugaan mengirim produk asal AS ke Iran dan negara-negara lain. AS mengklaim hal itu merupakan pelangaran terhadap sanksi ekspor yang telah ditetapkan negaranya.
Tak pelak, hal ini memicu kecaman dari pihak China. Kemarin, kedutaan China di Kanada mengecam Kanada dan AS perihal penangkapan Wanzhou. Mereka menuntut agar petinggi Huawei itu segera dibebaskan.
"China telah membuat pernyataan ke AS dan Kanada, menuntut mereka segera memperbaiki perilaku salah mereka dan mengembalikan kebebasan Meng Wanzhou," tambah kedutaan.
Kini risiko terjadinya deadlock pada negosiasi dagang AS-China justru semakin besar. Oleh karena itu, investor belum bisa meninggalkan dolar AS yang berstatus sebagai safe haven.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3) (RHG/dru)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular