Rupiah Terlemah di Asia Selama 2 Hari Beruntun!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 December 2018 16:36
Rupiah Terlemah di Asia Selama 2 Hari Beruntun!
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan pasat spot hari ini. Meski pelemahan rupiah menipis jelang penutupan pasar, tetapi rupiah masih menjadi mata uang terlemah di Asia. 

Pada Rabu (5/11/2018), US$ 1 ditutup Rp 14.390 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,74% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Pelemahan rupiah yang lumayan dalam ini sudah bisa diperkirakan sebelum permbukaan pasar spot. Pasalnya, tanda-tanda depresiasi rupiah sudah terlihat di pasar Non-Deliverable Market (NDF).  


Benar saja, rupiah melemah 0,46% saat pasar spot dibuka. Setelah itu, rupiah terus melemah dan bahkan sempat hampir mencapai 1%. 


Namun jelang penutupan, rupiah berangsur-angsur menipiskan depresiasi. Akhirnya, rupiah finis dengan koreksi 0,74%. 

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini: 



Rupiah dan mata uang Asia memang terseret arus penguatan dolar AS yang terjadi secara global. Dolar AS menguat terhadap hampir seluruh mata uang Asia, hanya menyisakan rupee India dan baht Thailand sebagai penyintas. 

Meski mayoritas mata uang Asia melemah di hadapan greenback, tetapi rupiah menjadi yang terlemah. Dengan begitu, rupiah sudah menjadi mata uang paling lemah di Asia selama 2 hari beruntun. 


Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16:08 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Seperti yang sudah disinggung, dolar AS memang sedang menguat secara global. Pada pukul 16:11 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,06%. Indeks ini terus menguat sepanjang hari, belum pernah merasakan koreksi. 


Namun penguatan Dollar Index aga menipis, begitu pula pelemahan mata uang Asia termasuk rupiah. Awalnya investor mencemaskan prospek damai dagang AS-China yang agak memudar karena cuitan Presiden AS Donald Trump di Twitter.

Trump mengingatkan bahwa Washington dan Beijing hanya punya waktu 90 hari untuk menyelesaikan segara perbedaan di antara mereka. Jika sampai batas itu tidak tercapai kesepahaman, maka AS siap menaikkan bea masuk untuk impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. 

"Kami akan mencoba menyelesaikan (negosiaasi). Namun jika tidak, ingat bahwa saya adalah manusia bea masuk (Tariff Man)!," cuit Trump di Twitter. 


Ketidakjelasan nasib damai dagang AS-China menghantui benak pelaku pasar hampir seharian ini. Namun pada sore hari muncul harapan bahwa kesepakatan AS-China dapat tercapai dalam 90 hari. 

"Kami bekerja secara aktif dalam bernegosiasi dalam 90 hari sesuai dengan rencana. Kami meyakini ini (kesepakatan) bisa terwujud karena pembicaraan bilateral berjalan dengan sangat sukses," sebut keterangan tertulis Kementerian Perdagangan China, mengutip Reuters.

Kabar ini sedikit meredakan amukan dolar AS dan mengobati luka rupiah cs di Asia. Namun ada sentimen lain yang membuat greenback masih menjadi favorit pelaku pasar. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)

Sepertinya investor mulai mengendus aroma gejolak dan perlambatan ekonomi di AS. Hal ini terlihat dari pasar obligasi AS. 

Pada pukul 16:23 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun tercatat 2,7987% sementara tenor 3 tahun di 2,8079%. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yaitu 2,7905%. 

Yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang sering disebut inverted. Inverted yield merupakan indikator bahwa akan ada tekanan yang besar di pasar keuangan, sebab investor meminta 'jaminan' lebih tinggi untuk memegang obligasi jangka pendek. Artinya risiko dalam jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang. 

Selisih (spread) yield jangka pendek dan jangka panjang juga semakin menyempit. Ini terjadi karena yield obligasi tenor jangka pendek cenderung naik sementara yang jangka panjang malah turun. Jadi ke depan sepertinya tekanan inflasi akan semakin mereda, pertanda ada kelesuan aktivitas ekonomi.

 
Oleh karena itu, dolar AS memang sedang menjadi primadona pelaku pasar. Dalam situasi yang tidak pasti, memang paling baik adalah memegang aset aman (safe haven) seperti dolar AS. Apalagi dolar AS juga mendapat suntikan energi dari pernyataan Presiden The Federal Reserve/The Fed New York John Williams. 

"Saat saya berkaca ke belakang dan melihat ekonomi dalam kondisi yang kuat dan memiliki banyak momentum (pertumbuhan), maka kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut pada tahun depan masih masuk akal. Waktu untuk menentukan kapan harus menyesuaikan kebijakan tentu akan kami diskusikan," jelas Williams, dikutip dari Reuters. 

"Kami memperhatikan dengan seksama sisi-sisi yang mengalami perlambatan atau tanda-tanda munculnya risiko. Namun perkiraan saya adalah tetap positif," tambah Williams. 

Pernyataan ini menghapus pandangan bahwa The Fed mulai dovish. Williams seakan menegaskan bahwa posisi (stance) The Fed masih cenderung hawkish, setidaknya sampai tahun depan. Suku bunga acuan masih akan naik secara gradual, dan itu mendukung penguatan dolar AS.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular