
Duh, Harga Batu Bara Turun 3% Lebih Sepanjang November
Raditya Hanung & Prima Wirayani, CNBC Indonesia
01 December 2018 15:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada penutupan perdagangan hari Jumat (30/11/2018), harga batu bara Newcastle kontrak acuan mampu naik tipis 0,15% ke level US$ 101,7/Metrik Ton (MT).
Meski demikian, harga si batu hitam masih dekat dengan level terendahnya nyaris dalam tujuh bulan terakhir (di level US$ 101,4/MT), yang dicapai pada awal pekan ini.
Adapun di sepanjang bulan November 2018, harga batu bara membukukan penurunan 3,33% secara point-to-point.
Sejumlah sentimen negatif memang menghantui pergerakan harga batu bara di bulan ini. Dari mulai tingginya tingkat stok batu bara di China, data-data ekonomi China yang mengecewakan, hingga pembatasan impor di Negeri Tirai Bambu.
Tim Riset CNBC Indonesia akan mengelaborasikan sejumlah sentimen negatif tersebut dalam tulisan ini.
Pertama, menurut data China Coal Resource, stok batu bara pada enam pembangkit listrik utama China meningkat dalam tujuh pekan secara berturut-turut, ke level tertingginya sejak Januari 2015. Teranyar, stoknya meningkat 0,51% secara mingguan (week-to-week/WtW) ke level 17,51 juta ton, dalam sepekan hingga tanggal 23 November 2018.
Hal ini terjadi karena produsen listrik di Negeri Panda memang sudah menumpuk stok sejak jauh-jauh hari, dalam rangka menghadapi musim dingin yang tiba pada akhir tahun ini.
Berita buruknya, membuncahnya stok batu hitam di China itu dikhawatirkan akan bertahan lama. Penyebabnya, konsumsi batu bara di musim dingin diekspektasikan lesu.
Lemahnya konsumsi tidak lepas dari China's National Climate Center yang memroyeksikan bahwa musim dingin yang melanda dataran China akan lebih hangat dari biasanya.
Saat musim dingin ternyata tidak seekstrem yang diperkirakan, kebutuhan listrik untuk pemanas ruangan pun akan lemah. Alhasil, konsumsi batu bara di pembangkit listrik pun tidak akan sekencang yang diperkirakan sebelumnya.
Kedua, rilis data ekonomi di Negeri Panda yang mengecewakan.
Di awal bulan ini, angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur China periode Oktober tercatat 50,2, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,8. Angka di atas 50 menandakan pelaku usaha masih optimistis, tetapi optimisme itu memudar.
Kemudian, inflasi tingkat produsen di China pada Oktober 2018 tercatat 3,3% secara tahunan (year-on-year/YoY), melambat dibandingkan pencapaian bulan sebelumnya yaitu 3,6%.
Masih di awal bulan ini, penjualan mobil di China pada Oktober 2018 diumumkan turun 11,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini terjadi dalam empat bulan berturut-turut. Bahkan penurunan Oktober 2018 menjadi yang terdalam sejak Januari 2012.
Hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian China memang sedang tertekan akibat eskalasi perang dagang AS-China.
Beberapa waktu lalu, bank AS Morgan Stanley bahkan menyatakan bahwa "kondisi ekonomi China memburuk secara material" pada kuartal III-2018.
Perlambatan ekonomi jelas akan mengurangi permintaan energi China, termasuk untuk komoditas batu bara.
Ketiga, pemerintah China yang memutuskan untuk membatasi impor batu bara di sepanjang tahun 2018. Mengutip laporan dari Shanghai Securities News, seperti dilansir dari Reuters, impor batu bara di tahun ini ditetapkan tidak boleh melebihi volume impor pada tahun 2017.
Mengutip Bloomberg News, komisi perencanaan pembangunan China (National Development and Reform Comission/NDRC) telah memerintahkan sejumlah pelabuhan utama untuk menghentikan izin impor batu bara, mengutip sumber yang familiar dengan isu ini.
Hanya pembangkit listrik yang amat membutuhkan batu bara (untuk memastikan pasokan listrik di musim dingin), yang dapat mengajukan keringanan ke NDRC.
Kebijakan ini dilakukan pemerintah China dalam rangka menjaga harga batu bara domestik tetap tinggi hingga akhir tahun ini. Selain itu, kondisi stok yang berlebih di China juga menjadi alasan pemerintah untuk membatasi impor batu bara.
Dengan pembatasan itu, volume impor batu bara China di November-Desember 2018 diramal turun 25 juta-35 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya, mengutip Reuters. Padahal, pada periode Januari-Oktober 2018, volume impor China masih tercatat naik 11% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Sebagai catatan, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 MT pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global. Penurunan permintaan dari China akan sangat memengaruhi pergerakan harga batu bara dunia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Berita baiknya, pelemahan harga batu bara di sepanjang November 2018 sejatinya masih lebih ringan dibandingkan bulan sebelumnya. Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, harga batu bara melemah 7,6% di sepanjang bulan Oktober 2018.
Setidaknya dalam dua pekan terakhir, tekanan bagi harga batu bara memang agak mereda. Ada dua faktor yang mendukung kekuatan harga batu bara. Pertama, di pertengahan bulan ini, Investasi Aset Tetap China periode Januari-Oktober 2018 diumumkan tumbuh sebesar 5,7% YoY, mengalahkan konsensus yang sebesar 5,5%.
Sedangkan, produksi industri periode Oktober 2018 juga diumumkan tumbuh sebesar 5,9% YoY, melampaui konsensus yang sebesar 5,7%.
Terakhir, di sepanjang Oktober 2018, ekspor China tumbuh sebesar 15,6% YoY, mengalahkan konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebesar 11% YoY. Sementara itu, impor tumbuh sebesar 21,4% YoY, juga mengalahkan konsensus yang sebesar 14% YoY.
Rilis ketiga data tersebut agak membuat pelaku pasar lega. Perekonomian China ternyata belum hancur separah yang diperkirakan. Akhirnya muncul harapan bahwa permintaan batu bara Beijing masih dapat pulih ke depannya.
Kedua, kejatuhan harga batu bara tertahan oleh optimisme pelaku pasar pada hasil pertemuan G20 di Buenos Aires pada 30 November dan 1 Desember. Pada pertemuan tersebut, Washington dan Beijing diharapkan akan membicarakan konflik dagang yang terjadi di antara mereka.
Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow menyatakan bahwa optimisme merebak jelang pertemuan Trump-Xi di Argentina. Ada kemungkinan Washington dan Beijing akan mencapai kesepakatan yang signifikan.
"Ada kemungkinan yang cukup besar kami akan mencapai kesepakatan. Beliau (Trump) terbuka untuk itu," kata Kudlow, mengutip Reuters.
Gayung bersambut, pernyataan Kudlow seakan diapresiasi oleh kubu China. Presiden Xi menyatakan bahwa China siap untuk lebih membuka diri terhadap perekonomian global, sesuatu yang selama ini menjadi tuntutan Trump.
"China akan terus berupaya untuk membuka diri, bahkan lebih dari apa yang dilakukan sekarang. China akan membuka akses kepada pasar, investasi, dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual," tegas Xi di depan parlemen Negeri Tirai Bambu, dikutip dari Reuters.
Perkembangan tersebut lantas melegakan pelaku pasar. Masih ada harapan kedua pihak akan melunak, dan mengakhiri perang dagang. Hal ini menjadi sentimen positif bahwa ekonomi China akan membaik ke depannya, sehingga permintaan batu bara pun kembali sehat.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Meski demikian, harga si batu hitam masih dekat dengan level terendahnya nyaris dalam tujuh bulan terakhir (di level US$ 101,4/MT), yang dicapai pada awal pekan ini.
Adapun di sepanjang bulan November 2018, harga batu bara membukukan penurunan 3,33% secara point-to-point.
Tim Riset CNBC Indonesia akan mengelaborasikan sejumlah sentimen negatif tersebut dalam tulisan ini.
Pertama, menurut data China Coal Resource, stok batu bara pada enam pembangkit listrik utama China meningkat dalam tujuh pekan secara berturut-turut, ke level tertingginya sejak Januari 2015. Teranyar, stoknya meningkat 0,51% secara mingguan (week-to-week/WtW) ke level 17,51 juta ton, dalam sepekan hingga tanggal 23 November 2018.
Hal ini terjadi karena produsen listrik di Negeri Panda memang sudah menumpuk stok sejak jauh-jauh hari, dalam rangka menghadapi musim dingin yang tiba pada akhir tahun ini.
Berita buruknya, membuncahnya stok batu hitam di China itu dikhawatirkan akan bertahan lama. Penyebabnya, konsumsi batu bara di musim dingin diekspektasikan lesu.
Lemahnya konsumsi tidak lepas dari China's National Climate Center yang memroyeksikan bahwa musim dingin yang melanda dataran China akan lebih hangat dari biasanya.
Saat musim dingin ternyata tidak seekstrem yang diperkirakan, kebutuhan listrik untuk pemanas ruangan pun akan lemah. Alhasil, konsumsi batu bara di pembangkit listrik pun tidak akan sekencang yang diperkirakan sebelumnya.
Kedua, rilis data ekonomi di Negeri Panda yang mengecewakan.
Di awal bulan ini, angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur China periode Oktober tercatat 50,2, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,8. Angka di atas 50 menandakan pelaku usaha masih optimistis, tetapi optimisme itu memudar.
Kemudian, inflasi tingkat produsen di China pada Oktober 2018 tercatat 3,3% secara tahunan (year-on-year/YoY), melambat dibandingkan pencapaian bulan sebelumnya yaitu 3,6%.
Masih di awal bulan ini, penjualan mobil di China pada Oktober 2018 diumumkan turun 11,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini terjadi dalam empat bulan berturut-turut. Bahkan penurunan Oktober 2018 menjadi yang terdalam sejak Januari 2012.
Hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian China memang sedang tertekan akibat eskalasi perang dagang AS-China.
Beberapa waktu lalu, bank AS Morgan Stanley bahkan menyatakan bahwa "kondisi ekonomi China memburuk secara material" pada kuartal III-2018.
Perlambatan ekonomi jelas akan mengurangi permintaan energi China, termasuk untuk komoditas batu bara.
Ketiga, pemerintah China yang memutuskan untuk membatasi impor batu bara di sepanjang tahun 2018. Mengutip laporan dari Shanghai Securities News, seperti dilansir dari Reuters, impor batu bara di tahun ini ditetapkan tidak boleh melebihi volume impor pada tahun 2017.
Mengutip Bloomberg News, komisi perencanaan pembangunan China (National Development and Reform Comission/NDRC) telah memerintahkan sejumlah pelabuhan utama untuk menghentikan izin impor batu bara, mengutip sumber yang familiar dengan isu ini.
Hanya pembangkit listrik yang amat membutuhkan batu bara (untuk memastikan pasokan listrik di musim dingin), yang dapat mengajukan keringanan ke NDRC.
Kebijakan ini dilakukan pemerintah China dalam rangka menjaga harga batu bara domestik tetap tinggi hingga akhir tahun ini. Selain itu, kondisi stok yang berlebih di China juga menjadi alasan pemerintah untuk membatasi impor batu bara.
Dengan pembatasan itu, volume impor batu bara China di November-Desember 2018 diramal turun 25 juta-35 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya, mengutip Reuters. Padahal, pada periode Januari-Oktober 2018, volume impor China masih tercatat naik 11% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Sebagai catatan, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 MT pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global. Penurunan permintaan dari China akan sangat memengaruhi pergerakan harga batu bara dunia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Berita baiknya, pelemahan harga batu bara di sepanjang November 2018 sejatinya masih lebih ringan dibandingkan bulan sebelumnya. Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, harga batu bara melemah 7,6% di sepanjang bulan Oktober 2018.
Setidaknya dalam dua pekan terakhir, tekanan bagi harga batu bara memang agak mereda. Ada dua faktor yang mendukung kekuatan harga batu bara. Pertama, di pertengahan bulan ini, Investasi Aset Tetap China periode Januari-Oktober 2018 diumumkan tumbuh sebesar 5,7% YoY, mengalahkan konsensus yang sebesar 5,5%.
Sedangkan, produksi industri periode Oktober 2018 juga diumumkan tumbuh sebesar 5,9% YoY, melampaui konsensus yang sebesar 5,7%.
Terakhir, di sepanjang Oktober 2018, ekspor China tumbuh sebesar 15,6% YoY, mengalahkan konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebesar 11% YoY. Sementara itu, impor tumbuh sebesar 21,4% YoY, juga mengalahkan konsensus yang sebesar 14% YoY.
Rilis ketiga data tersebut agak membuat pelaku pasar lega. Perekonomian China ternyata belum hancur separah yang diperkirakan. Akhirnya muncul harapan bahwa permintaan batu bara Beijing masih dapat pulih ke depannya.
Kedua, kejatuhan harga batu bara tertahan oleh optimisme pelaku pasar pada hasil pertemuan G20 di Buenos Aires pada 30 November dan 1 Desember. Pada pertemuan tersebut, Washington dan Beijing diharapkan akan membicarakan konflik dagang yang terjadi di antara mereka.
Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow menyatakan bahwa optimisme merebak jelang pertemuan Trump-Xi di Argentina. Ada kemungkinan Washington dan Beijing akan mencapai kesepakatan yang signifikan.
"Ada kemungkinan yang cukup besar kami akan mencapai kesepakatan. Beliau (Trump) terbuka untuk itu," kata Kudlow, mengutip Reuters.
Gayung bersambut, pernyataan Kudlow seakan diapresiasi oleh kubu China. Presiden Xi menyatakan bahwa China siap untuk lebih membuka diri terhadap perekonomian global, sesuatu yang selama ini menjadi tuntutan Trump.
"China akan terus berupaya untuk membuka diri, bahkan lebih dari apa yang dilakukan sekarang. China akan membuka akses kepada pasar, investasi, dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual," tegas Xi di depan parlemen Negeri Tirai Bambu, dikutip dari Reuters.
Perkembangan tersebut lantas melegakan pelaku pasar. Masih ada harapan kedua pihak akan melunak, dan mengakhiri perang dagang. Hal ini menjadi sentimen positif bahwa ekonomi China akan membaik ke depannya, sehingga permintaan batu bara pun kembali sehat.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular