Inalum Putar Otak Siasati Lonjakan Biaya Produksi

Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
01 December 2018 13:00
Kenaikan harga alumina menyebabkan harga pokok produksi (HPP) melonjak dari US$300 (Rp 4,3 juta) per ton, menjadi US$600 per ton.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2018 dinilai sebagai periode yang menantang bagi PT Inalum (Persero), sebagai imbas dari kondisi pasar yang tidak menguntungkan.

"Meningkatnya harga bahan baku utama alumunium, terutama alumina yang paling meningkat," ujar Plt Direktur Pelaksana Inalum Oggy A Kosasih dalam acara Temu Ramah Pelanggan Inalum, di Jakarta, Jumat (30/11/2018) malam.


Lebih lanjut, ia mengatakan kondisi tersebut menyebabkan harga pokok produksi (HPP) melonjak dari US$300 (Rp 4,3 juta) per ton, menjadi US$600 per ton.

Adapun, saat ini Inalum telah memproduksi Aluminium Ingot, Billet, dan Foundry Alloy. Selain itu, perusahaan juga sedang mengerjakan beberapa proyek ekspansi yang salah satunya yaitu pembangunan Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) bekerja sama dengan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM).

Belanja modal proyek itu, lanjut Oggy, cukup besar, yakni Rp 12 triliun. Tetapi tidak semuanya ditanggung Inalum. Biayanya dibagi dengan porsi Inalum 40%, Antam 30%, dan CHALCO 30%. Pembiayaannya 30% dari equity dan 70% pinjaman perbankan.

"Tetapi belum financial close," tambah Oggy.

Sebelumnya, Holding Industri Pertambangan (HIP) PT Inalum (Persero) bersama PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan produsen alumina terbesar kedua di dunia Aluminum Corporation of China Ltd (CHALCO) dari Tiongkok akan bekerja sama melakukan hilirisasi produk tambang di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.

Inalum Putar Otak Siasati Lonjakan Biaya ProduksiFoto: Infografis/Pinjaman BUMN/Edward Ricardo
Melalui PT Borneo Alumina Indonesia (BAI), ketiga perusahaan tersebut akan bekerja sama membangun pabrik pemurnian untuk memproses bauksit menjadi alumina, yang merupakan bahan baku utama untuk membuat aluminium ingot.

Inalum sendiri merupakan produsen aluminium ingot satu-satunya di Indonesia, dan nantinya akan menyerap sebagian besar alumina dari BAI.

Dengan adanya proyek hilirisasi ini, perusahaan diproyeksikan akan menghemat devisa sebesar US$600 juta atau setara Rp 9,10 triliun. Pasalnya, selama ini perusahaan masih mengimpor alumina yang merupakan bahan baku pembuat alumunium ingot.


Adapun, saat ini kapasitas produksi Inalum tercatat sebanyak 250 ribu metrik ton aluminium ingot per tahun dan membutuhkan 500 ribu metrik ton alumina.

Dengan kerja sama ini, perusahaan mampu melepaskan ketergantungan pasokan dari luar negeri dan mengurangi devisa impor sekitar US$600 juta, dan yang tak kalah penting, proyek ini akan memberikan nilai tambah bauksit yang selama ini diekspor dalam bentuk ore dan membangun industri aluminium terintegrasi yang berkelanjutan.

Konstruksi proyek SGAR dilakukan dalam dua tahap dengan total kapasitas produksi 2 juta metrik ton alumina. Peletakan batu pertama untuk pabrik pemurnian tahap 1 dengan kapasitas 1 juta metrik ton rencananya akan dilaksanakan pada kuartal 4 tahun 2018 dan diharapkan dapat mulai produksi pada 2021.

Selain itu, juga pembangunan pabrik Calcined Petroleum Cokes (CPC) bekerja sama dengan Pertamina dan pengembangan kapasitas Smelter Aluminium Kuala Tanjung.

"Sehingga, diharapkan mampu terus meningkatkan produksi demi memenuhi kebutuhan aluminium dalam negeri," pungkas Oggy.


(prm) Next Article Rontok! Giliran Harga Alumunium Terendah dalam 2 Tahun

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular