Menguat 1,6%, Rupiah Jadi Juara Asia Sepekan Ini!

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
01 December 2018 12:43
Menguat 1,6%, Rupiah Jadi Juara Asia Sepekan Ini!
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat sepanjang pekan lalu. Tidak hanya sekedar menguat, mata uang tanah air menjadi yang paling perkasa di Asia.

Sepanjang pekan lalu, rupiah menguat 1,62% terhadap dolar AS secara point-to-point. Rupiah pun mencapai posisi terkuat sejak akhir Juni 2018.



Mayoritas mata uang Benua Kuning pun sebenarnya mampu perkasa di hadapan greenback. Namun, penguatannya masih di bawah rupiah, misalnya rupee India (+1,43%), won Korea Selatan (+1,15%), ringgit Malaysia (+0,24%), baht Thailand (+0,33%), dolar Taiwan (+0,28%), dan dolar Singapura (+0,23%).

Adapun, mata uang yuan China dan yen Jepang malah melemah terhadap dolar AS di sepanjang pekan lalu, masing-masing sebesar 0,12% dan 0,46%.



Faktor utama yang mendukung penguatan mata uang Asia adalah pernyataan dovish dari Gubernur The Federal Reserve/The Fed Jerome Powell bahwa suku bunga acuan sudah mendekati posisi netral, yang artinya tidak lagi bisa digunakan untuk meredam atau mempercepat pertumbuhan ekonomi.

"Suku bunga acuan masih rendah berdasarkan standar historis, dan berada sedikit di bawah rentang estimasi yang netral," ucap Powell, mengutip Reuters.

Aura dovish kembali dikonfirmasi oleh rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Fed edisi November 2018. Para peserta rapat semakin menggarisbawahi bahwa ada risiko yang menghantui perekonomian AS.


"Ada pertanda perlambatan di sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga," sebut notulensi itu.

Kemudian, para peserta rapat juga menekankan pentingnya berkaca kepada data (data dependent) dalam pengambilan keputusan.

"Para peserta menyiratkan bahwa sepertinya dalam rapat-rapat ke depan perlu ada perubahan bahasa penyampaian, di mana ada kalimat yang menyatakan pentingnya evaluasi terhadap berbagai data dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan ini akan membantu memandu Komite dalam situasi perekonomian yang dinamis," tulis notulensi tersebut.

Dengan perkembangan ini, The Fed mungkin akan mengurangi kadar kenaikan suku bunga acuan. Sebagai informasi, The Fed memproyeksikan akan ada sekali lagi kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini, yakni pada bulan Desember. Untuk tahun depan, normalisasi diproyeksikan sebanyak tiga kali.


Kala perang dagang dengan China masih berkecamuk dan saat data ekonomi sudah memberikan sinyal perlambatan, normalisasi yang tak kelewat agresif memang merupakan pilihan terbaik bagi perekonomian AS dan dunia.

Di sisi lain, memudarnya prospek kenaikan suku bunga acuan Negeri Paman Sam justru jadi musibah bagi greenback. Dengan stance Powell yang tidak lagi hawkish, dolar AS kehilangan karisma dan mengalami tekanan jual. Hal ini lantas membuat mata uang Asia mendapatkan kekuatan untuk menguat, termasuk rupiah.


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dalam sepekan terakhir, harga minyak jenis brent masih tercatat melemah sebesar 0,15%. Artinya, sudah delapan pekan berturut-turut, performa mingguan harga minyak membukukan hasil yang negatif.

Di sepanjang bulan November 2018, harga si emas hitam malah sudah amblas 22% lebih. Pertengahan pekan ini, harga minyak brent juga anjlok ke level terendahnya dalam 1 tahun lebih, atau sejak Oktober 2017.



Fundamental harga minyak mentah sejatinya memang amat rentan. US Energy Information Administration (EIA) melaporkan produksi minyak mentah AS stabil di angka 11,7 juta barel/hari pada pekan lalu. Capaian itu merupakam yang tertinggi di sepanjang sejarah Negeri Paman Sam.

Kemudian, produksi minyak Arab Saudi pada November mencapai 11,1-11,3 juta barel/hari. Capaian itu merupakan rekor tertinggi di sepanjang sejarah Negeri Padang Pasir.

Sementara dari Russia, produksi minyak mentah juga telah meningkat ke rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet, yakni ke level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.

Kini tiga produsen minyak terbesar dunia itu sama-sama mencetak rekor produksi tertinggi. Jelas hal tersebut merupakan sinyal bahwa pasokan minyak mentah dunia memang sedang membanjir.

Kala pasokan sedang banyak-banyaknya, permintaan justru diekspektasikan lesu. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia pada 2018 dan 2019 tumbuh 3,7%. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.

Perang dagang AS vs China masih menjadi faktor penyebab perlambatan ekonomi global. Kala dua kekuatan ekonomi terbesar dunia saling hambat dalam perdagangan, maka rantai pasok global akan terpengaruh. Pertumbuhan ekonomi pun menjadi taruhannya.

Saat ekonomi global melambat, maka permintaan energi juga akan berkurang. Kala permintaan menurun tapi pasokan membanjir, jelas kondisi pasar akan mengalami oversupply. Tak pelak, harga minya pun tertekan hebat.

Bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah berkah. Jatuhnya harga minyak akan membuat biaya impor migas ikut berkurang. Artinya defisit transaksi berjalan (current account/CAD) bisa semakin tipis dan ini sangat berpengaruh positif terhadap kinerja rupiah.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)



Penguatan rupiah juga disokong oleh derasnya arus modal masuk ke pasar keuangan Indonesia, utamanya ke obligasi pemerintah. Ini ditunjukkan dengan penurunan imbal hasil (yield) yang merupakan pertanda harga obligasi sedang naik akibat tingginya minat pelaku pasar.

Dalam sepekan terakhir, yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 5 basis poin (bps). Di sepanjang bulan November 2018, yield instrumen ini anjlok 73,5 bps.



Investor masuk ke pasar obligasi pemerintah dengan harapan prospek cuan ke depan. Sepertinya Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan stance kebijakan moneter ketat alias hawkish pada 2019.

Dalam Pertemuan Tahunan BI baru-baru ini, Gubernur Perry Warjiyo menyatakan stance kebijakan moneter untuk tahun depan masih preemtif dan ahead the curve. Dengan tren suku bunga global yang masih tinggi pada 2019, BI yang menganut prinsip tersebut tentu tidak ingin ketinggalan kereta.

Selain itu, Perry juga menyebutkan bahwa kebijakan moneter masih diarahkan untuk menjaga stabilitas. Sementara urusan mendorong pertumbuhan ekonomi diserahkan kepada kebijakan makroprudensial.

Artinya, bukan tidak mungkin BI akan melanjutkan siklus kenaikan suku bunga acuan tahun depan. Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan investasi di Indonesia, khususnya untuk instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi.



Jadi, ke depan ada prospek imbalan obligasi akan meningkat seiring kenaikan suku bunga acuan. Melihat prospek tersebut, investor (terutama asing) terus masuk dan mengoleksi obligasi pemerintah Indonesia.

Arus modal ini tentu membuat permintaan rupiah meningkat. Seperti halnya barang, permintaan yang meningkat tentu membuat harga naik. Demikian pula mata uang, jika permintaan bertambah maka nilainya menguat.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular