
Perang Dagang Bisa Untungkan ASEAN, Sayang RI Kalah Saing
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
29 November 2018 21:06

Berdasarkan dari data investasi terbaru yang diolah UOB, investasi Taiwan dan Thailand di sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD) sudah melampaui capaian di tahun 2017. Sementara itu, Vietnam adalah negara dengan yang menarik jumlah investasi terbesar, dibandingkan dengan negara lainnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Sayangnya, performa investasi RI tidak secemerlang dua negara yang disebutkan di atas.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, (BKPM) realisasi investasi RI di kuartal III-2018 turun 1,6% dibandingkan pada kuartal III-2017. Total investasi menjadi Rp 173,8 triliun di kuartal III-2018.
Dari jumlah tersebut porsi penanaman modal asing (FDI) tercatat sebesar Rp 89,1 triliun atau turun 20,2% dibandingkan pada periode yang sama tahun 2017 yang tercatat sebesar Rp 111,7 triliun.
Dengan capaian ini, FDI sudah jatuh untuk kedua kalinya berturut-turut di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Pada kuartal II-2018, PMA juga anjlok 12,9% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Apabila ditelusuri lebih jauh, FDI kuartal III-2018 jatuh ke level terendah dalam 3,5 tahun terakhir, atau sejak kuartal I-2015. Apabila dibandingkan per kuartal III, capaian kuartal lalu menjadi yang terlemah sejak kuartal III-2014.
Hal ini lantas menempatkan RI di posisi yang kurang menguntungkan untuk dapat menerima manfaat dari perubahan rantai pasokan dunia, jika skala perang dagang AS-China semakin membesar. Investor pasti lebih tertarik dengan negara yang memiliki catatan investasi yang sehat, misalnya Taiwan, Thailand, dan Vietnam.
Terlebih, sebagai bagian dari Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP) yang akan berlaku pada 30 Desember 2018, negara-negara seperti Malaysia, Vietnam, Singapura, dan Brunei memiliki keuntungan lebih jauh untuk menarik investasi.
Sayang, RI bukan menjadi bagian dari kesepakatan tersebut, sehingga posisinya bisa lebih tidak menguntungkan.
Kini tidak hanya dari sisi institusional, seperti melonggarkan Daftar Negatif Investasi (DNI) atau menggalakkan insentif tax holiday, RI juga perlu berbenah dari sisi struktur ekonomi. Percuma, regulasi sudah menarik, tapi performa industri dan jaringan perdagangan belum solid.
Lagi-lagi bola panas kini ada di Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Mungkin ini alasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikkan tunjangan kinerja untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) di 2 Kementerian tersebut. Supaya bisa lebih semangat membenahi permasalahan yang mendesak ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
[Gambas:Video CNBC]
(RHG/roy)
Bagaimana dengan Indonesia? Sayangnya, performa investasi RI tidak secemerlang dua negara yang disebutkan di atas.
Dengan capaian ini, FDI sudah jatuh untuk kedua kalinya berturut-turut di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Pada kuartal II-2018, PMA juga anjlok 12,9% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Apabila ditelusuri lebih jauh, FDI kuartal III-2018 jatuh ke level terendah dalam 3,5 tahun terakhir, atau sejak kuartal I-2015. Apabila dibandingkan per kuartal III, capaian kuartal lalu menjadi yang terlemah sejak kuartal III-2014.
Hal ini lantas menempatkan RI di posisi yang kurang menguntungkan untuk dapat menerima manfaat dari perubahan rantai pasokan dunia, jika skala perang dagang AS-China semakin membesar. Investor pasti lebih tertarik dengan negara yang memiliki catatan investasi yang sehat, misalnya Taiwan, Thailand, dan Vietnam.
Terlebih, sebagai bagian dari Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP) yang akan berlaku pada 30 Desember 2018, negara-negara seperti Malaysia, Vietnam, Singapura, dan Brunei memiliki keuntungan lebih jauh untuk menarik investasi.
Sayang, RI bukan menjadi bagian dari kesepakatan tersebut, sehingga posisinya bisa lebih tidak menguntungkan.
Kini tidak hanya dari sisi institusional, seperti melonggarkan Daftar Negatif Investasi (DNI) atau menggalakkan insentif tax holiday, RI juga perlu berbenah dari sisi struktur ekonomi. Percuma, regulasi sudah menarik, tapi performa industri dan jaringan perdagangan belum solid.
Lagi-lagi bola panas kini ada di Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Mungkin ini alasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikkan tunjangan kinerja untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) di 2 Kementerian tersebut. Supaya bisa lebih semangat membenahi permasalahan yang mendesak ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
[Gambas:Video CNBC]
(RHG/roy)
Pages
Most Popular