Rupiah Pemimpin Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 November 2018 08:38
Rupiah Pemimpin Asia
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat. Kini dolar AS berhasil didorong ke kisaran Rp 14.500. 

Pada Senin (19/11/2018), US$ 1 sama dengan Rp 14.515 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,64% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Seiring perjalanan pasar, rupiah masih menguat meski penguatannya tergerus. Pada pukul 08:19 WIB, US$ 1 ditransaksikan Rp 14.540 di mana rupiah menguat 0,47%. 

Penguatan ini bisa ditebak. Sebelum pasar spot dibuka, rupiah sudah terlebih dulu perkasa di pasar Non-Deliverable (NDF). 


Meski rupiah terus menguat, Bank Indonesia menyebutkan bahwa mata uang Tanah Air masih terlalu murah alias undervalued. Oleh karena itu, bank sentral menilai kemungkinan untuk penguatan lebih lanjut masih terbuka. 


Bila apresiasi rupiah bertahan hingga penutupan pasar, maka rupiah akan menguat selama 5 hari beruntun. Rekor sebelumnya adalah penguatan 6 hari berturut-turut yang terjadi pada 4 September hingga 11 September tahun lalu. 

 

Dolar AS bergerak variatif di Asia pagi ini. Selain rupiah, mata uang Benua Kuning yang mampu menguat di hadapan greenback adalah yuan China, yen Jepang, peso Filipina, dan ringgit Malaysia.   

Apresiasi 0,47% sudah cukup untuk membawa rupiah kembali menjadi raja di Asia. Tidak ada mata uang lain di Asia yang menguat lebih tajam ketimbang rupiah. 


Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:20 WIB: 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dolar AS memang masih sedikit tertekan pagi ini. Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia, melemah tipis 0,01% pada pukul 08:22 WIB. 

Pemberat langkah dolar AS adalah pernyataan Richard Clarida, Wakil Gubernur The Federal Reserve/The Fed. Menurut Clarida, suku bunga acuan di AS sudah semakin mendekati titik netral, di mana suku bunga tidak lagi mendorong laju perekonomian maupun mengeremnya.  

Saat ini median Federal Funds Rate adalah 2,125% sementara preferensi inflasi The Fed yaitu Core Personal Consumption Expenditure ada di 1,97% YoY per September. Sebenarnya sekali lagi kenaikan suku bunga 25 bps sudah cukup membuatnya menjadi netral, karena akan senada dengan laju inflasi. 

Mengutip Reuters, Clarida menyatakan bukan berarti The Fed menaikkan suku bunga terlalu tinggi, terlalu cepat, atau terlalu agresif. Namun kenaikan suku bunga berikutnya sebaiknya lebih mengacu kepada data (data dependent) karena saat ini Federal Funds Rate semakin dekat ke target 2,5-2,5% yang disebut netral. 

"Kami sudah dalam titik di mana harus benar-benar data dependent. Suku bunga kebijakan yang netral adalah sesuatu yang masuk akal," tutur Clarida. 

Pernyataan Clarida ini bisa membuat pelaku pasar berpersepsi masih ada kemungkinan The Fed akan menahan laju kenaikan suku bunga acuan. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 bps pada dalam The Fed 19 Desember adalah 65,4%. Turun cukup jauh dibandingkan seminggu sebelumnya yaitu 75,8%. 

Tanpa kabar kenaikan suku bunga acuan, dolar AS akan lesu. Sebab selama ini tingginya permintaan terhadap greenback didorong oleh kenaikan suku bunga acuan. Apabila pelemahan dolar AS berlanjut, maka rupiah dkk di Asia bisa memanfaatkannya dengan mencetak penguatan.  


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Namun di sisi lain, dolar AS juga menyimpan kekuatan karena adanya ketidakpastian di Inggris. Setelah beberapa menteri mengundurkan diri, kini Perdana Menteri Theresa May terancam mendapat mosi tidak percaya dari parlemen.  


Mengutip BBC, lebih dari 20 anggota parlemen dari Partai Konservatif sudah mengirimkan surat mosi tidak percaya. Namun belum mencapai batas yang dibutuhkan untuk secara resmi mengajukan langkah tersebut, yaitu 48. 

"Saya tidak akan teralihkan. Pergantian kepemimpinan tidak akan membuat negosiasi (Brexit) lebih mudah. Justru akan menambah risiko kesepakatan tertunda," tegas May, mengutip Reuters. 

Ketidakpastian di Inggris bisa kembali membuat investor bermain aman. Kalau ini yang terjadi, maka dolar AS bisa mendapat suntikan adrenalin karena mata uang Negeri Paman Sam berstatus aset aman (safe haven). Rupiah bisa terancam. 

Selain itu, investor juga melihat masih ada potensi perang dagang AS vs China kembali memanas. Hal ini terlihat dari tidak tercapainya kesepakatan komunike di KTT Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), kali pertama sepanjang sejarah. 


Mengutip Reuters, seorang diplomat yang turut dalam pembahasan komunike menyatakan bahwa China menolak adanya kesepakatan yang berisi "menolak praktik perdagangan tidak sehat sesuai dengan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)". 

"Ada dua negara yang saling dorong dan membuat pimpinan rapat tidak bisa menjembatani mereka. China murka saat ada kalimat yang merujuk ke WTO bahwa mereka bersalah karena melakukan praktik perdagangan tidak sehat," sebut sang diplomat. 

Momentum ini bisa menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan global. Pasalnya, terlihat bahwa AS dan China masih memiliki banyak ketidaksepahaman.  

Dikhawatirkan hal ini berlanjut ke pertemuan Presiden AS Donald Trump-Persiden China Xi Jinping di KTT G20 akhir bulan ininanti. Bisa-bisa aura damai dagang yang sudah semakin kuat kembali memudar dan AS-China kembali terlibat perang dagang.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular