Ketika BI Harus Memilih: Stabilitas atau Pertumbuhan Ekonomi

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
16 November 2018 07:18
Ketika BI Harus Memilih: Stabilitas atau Pertumbuhan Ekonomi
Foto: BI
Jakarta, CNBC Indonesia, Bank Indonesia (BI) akhirnya kembali menaikkan suku bunga acuan BI-7 Days Reverse Repo Rate, Kamis (15/11/2018).  Keputusan ini diambil sejalan dengan tujuan BI untuk memprioritaskan stabilitas kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).  

Keputusan ini sebenarnya cukup mengejutkan. Pasalnya, pasar berekspektasi BI akan menahan suku bunga acuannya hingga Desember mendatang. Terlebih sejak pertengahan tahun, BI telah menaikkan suku bunga acuan hingga 150 basis poin (bps). 



Sebenarnya pada periode kuartal IV-2018 ini, pergerakan kurs rupiah cenderung menguat. Pada periode 31 September-8 November 2018, kurs rupiah menguat hingga 2,54% dan berada di level Rp 14.535/US$. 



Pergerakan rupiah mulai labil dan kembali melemah pada Jumat (9/11/2018). Saat itu kurs rupiah melemah 1% dan langsung mendekati level Rp 14.700/US$. Bahkan pada Senin (12/11/2018), kurs rupiah masih melanjutkan tren pelemahannya hingga menembus level Rp 14.800/US$.

Hanya dalam dua hari, kurs rupiah melemah hingga 1,89%.
Apa penyebabnya? Faktor yang paling mendominasi ada rilis defisit transaksi berjalan/ current account deficit (CAD) kuartal III-2018. 



BI merilis defisit transaksi berjalan di periode tersebut mencapai US$8,8 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II-2014, di mana saat itu mencapai US$9,5 miliar atau 4,2% dari PDB. Defisit yang besar menandakan aliran valas lebih banyak mengalir keluar dibandingkan bertahan di dalam.

Hal ini bisa memicu persepsi jika ketersediaannya menjadi terbatas. Alhasil pasar pun terpancing untuk memburu dolar AS sehingga kurs rupiah pun anjlok cukup signifikan.
 

Pergerakan ini sepertinya mulai dikhawatirkan BI. Terlebih hari Kamis, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengumumkan rilis neraca dagang per Oktober yang lebih buruk dari perkiraan. Neraca dagang mengalami defisit hingga US$1,82 miliar atau lebih tinggi dari konsensus CNBC Indonesia di kisaran US$65 juta.



Kondisi defisit dapat menimbulkan persepsi jika pertumbuhan PDB di kuartal IV terancam melambat. Mengapa? Seperti yang diketahui, komponen pembentuk PDB diantarnya perdagangan ekspor-impor. Ketika komponen tersebut defisit dalam, tentu memicu pendapat jika ekonomi kembali melambat di kuartal IV-2018.
 

Hal tersebut akan berimbas negatif bagi pergerakan rupiah, sehingga BI mau tidak mau mengambil langkah kenaikan suku bunga acuan. Langkah ini memang terbukti membawa kurs rupiah semakin perkasa terhadap dolar AS. 



Setelah pengumuman BI-7 Day naik pada pukul 14:24 WIB, kurs rupiah langsung cenderung menguat hingga di bawah Rp 14.700/US$. Tren ini berlanjut hingga penutupan perdagangan, kurs rupiah ditutup pada level Rp 14.675/US$ atau menguat 0,74% di pasar spot.

Kenaikan suku bunga acuan memang berhasil membawa rupiah menguat tajam. Namun di balik hal tersebut, ada ancaman yang sedang mengintai. Apakah itu? Pertumbuhan ekonomi bakal melambat.
 
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Ini disebabkan kenaikan suku bunga acuan biasanya akan ikut mendorong peningkatan suku bunga baik deposito dan kredit di perbankan.
 
 
Sejak BI pertama kali menaikkan suku bunga acuannya pertengahan tahun ini, suku bunga deposito berjangka baik 1,3,6 dan 12 bulan bergerak naik. Keadaan ini tentu mendorong masyarakat tertarik menaruh dananya ke perbankan
 
 
Jumlah dalam kurun waktu Mei hingga September 2018, menunjukkan kenaikan. Bahkan di periode September, jumlah deposito merupakan yang tertinggi pada tahun ini.  
 
Lazimnya, jumlah deposito yang melimpah jadi modal kuat bagi perbankan untuk melakukan ekspansi. Akan tetapi, kenaikan suku bunga acuan juga mendorong suku bunga kredit juga ikut-ikutan naik.
 
 
Per September, suku bunga kredit modal kerja berada di level 10,63% atau tertinggi sejak Maret 2018. Sementara itu, suku bunga investasi berada di level 10,54% atau tertinggi sejak akhir tahun lalu.
 
Suku bunga yang meningkat, tentu jadi menjadi beban berat bagi masyarakat yang telah meminjam. Hal ini terbukti dari jumlah kredit macet yang cenderung naik dan masih cukup tinggi.
 
 
Kredit macet yang meningkat, berdampak kepada tindakan bank yang semakin selektif menyalurkan kreditnya. Jika ini terjadi, maka pertumbuhan ekonomi pun bisa terancam.



Tanda-tanda perlambatan sudah terlihat dari pertumbuhan ekonomi di kuartal III ini. PDB hanya tumbuh 5,17% Year-on-Year (YoY) atau lebih lambat dibandingkan kuartal II-2018 yaitu 5,27% YoY.

Kondisi ini bukan tidak mungkin akan terulang di kuartal IV ini, merujuk kepada keputusan BI yang kembali menaikkan suku bunga acuannya. Artinya kebijakan BI yang hawkish memang bagai pisau bermata dua.


TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular