
Investor Asing Serbu Saham & Obligasi, Rupiah Menguat 0,34%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 November 2018 14:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang Garuda menunjukkan performa yang menggembirakan pada perdagangan hari ini. Sejak pagi hari ketika perdagangan dibuka di pasar spot, rupiah sudah membukukan penguatan melawan dolar AS. Pada pukul 14:00 WIB, rupiah menguat sebesar 0,34% ke level Rp 14.755/dolar AS.
Sejatinya, dolar AS memang sedang berada dalam posisi yang relatif lesu, ditunjukkan oleh indeks dolar AS yang melemah sebesar 0,2%. Dolar AS dipukul mundur oleh euro yang menguat sebesar 0,09%. Penguatan mata uang resmi dari wilayah Uni Eropa tersebut terjadi seiring dengan perkembangan seputar negosiasi Brexit yang positif.
Melansir Bloomberg news, Inggris dan Uni Eropa sudah setuju pada draf Brexit. Ini artinya, risiko no-deal atau hard Brexit untuk sementara ini bisa dikesampingkan.
Namun, aliran modal investor asing ke pasar saham dan obligasi ikut membantu rupiah mempertahankan penguatannya menjelang sore hari. Hingga berita ini diturunkan, investor asing membukukan beli bersih sebesar Rp 329,6 miliar di pasar saham.
Saham-saham yang banyak dikoleksi investor asing adalah: PT Bukit Asam Tbk/PTBA (Rp 56 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 26,1 miliar), PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk/TKIM (Rp 25 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 22,9 miliar), dan PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (Rp 19,2 miliar).
Selain karena perkembangan terkait Brexit yang positif, investor asing dibuat bersemangat untuk memburu saham-saham di tanah air lantaran ada kabar baik seputar perang dagang AS-China.
Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow mengatakan bahwa kedua negara sudah memulai kembali dialog perdagangan pada semua level pemerintahan.
Tidak ada kepastian bahwa China akan mengikuti permintaan dari AS namun "lebih baik berbicara daripada tidak," papar Kudlow ketika diwawancarai oleh CNBC International pada hari Selasa waktu setempat (13/11/2018).
Sebelumnya, Wakil Perdana Menteri China Liu He dikabarkan akan mengunjungi AS untuk mematangkan rencana dialog antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 pada akhir bulan ini, seperti dikutip dari South China Morning Post.
Di pasar obligasi, aksi beli investor asing nampaknya juga terjadi, walaupun tidak bisa dikonfirmasi 100% lantaran datanya baru dirilis oleh Kementerian Keuangan beberapa hari mendatang.
Aksi beli investor asing di pasar obligasi terlihat dari turunnya imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor acuan. Di pasar obligasi, yang menjadi acuan adalah tenor 5, 10, 15, dan 30 tahun.
Pada hari ini, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 5, 10, dan 15 tahun turun masing-masing sebesar 3,1 bps, 7,2 bps, dan 6 bps. Sementara untuk tenor 30 tahun, imbal hasil naik sebesar 1,8 bps.
Sebagai informasi, pergerakan imbal hasil obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika imbal hasil turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika imbal hasil naik, berarti harga sedang turun.
Di pasar obligasi, sepanjang bulan lalu investor asing memang sangat gencar melakukan aksi beli, dengan nilai bersih sebesar Rp 13,47 triliun. Harga obligasi yang terus terkoreksi sepanjang tahun ini membuat imbal hasil berada dalam posisi yang menarik bagi investor asing.
Pada tanggal 16 Oktober 2018, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun menyentuh level 8,854%, level tertinggi sejak awal 2016.
Lebih lanjut, angka inflasi Indonesia tahun ini sangatlah rendah. Pada awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa inflasi tahun kalender sampai dengan Oktober 2018 adalah sebesar 2,22%, jauh di bawah target dalam APBN 2018 yang sebesar 3,5%.
Inflasi merupakan variabel penting bagi investor dalam menentukan keputusan investasi di pasar obligasi. Jika inflasi rendah, maka obligasi akan menjadi menarik lantaran menawarkan real interest rate yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika inflasi tinggi, maka real interest rate akan menjadi lebih rendah sehingga obligasi tidak menarik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/roy) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!
Sejatinya, dolar AS memang sedang berada dalam posisi yang relatif lesu, ditunjukkan oleh indeks dolar AS yang melemah sebesar 0,2%. Dolar AS dipukul mundur oleh euro yang menguat sebesar 0,09%. Penguatan mata uang resmi dari wilayah Uni Eropa tersebut terjadi seiring dengan perkembangan seputar negosiasi Brexit yang positif.
Melansir Bloomberg news, Inggris dan Uni Eropa sudah setuju pada draf Brexit. Ini artinya, risiko no-deal atau hard Brexit untuk sementara ini bisa dikesampingkan.
Selain karena perkembangan terkait Brexit yang positif, investor asing dibuat bersemangat untuk memburu saham-saham di tanah air lantaran ada kabar baik seputar perang dagang AS-China.
Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow mengatakan bahwa kedua negara sudah memulai kembali dialog perdagangan pada semua level pemerintahan.
Tidak ada kepastian bahwa China akan mengikuti permintaan dari AS namun "lebih baik berbicara daripada tidak," papar Kudlow ketika diwawancarai oleh CNBC International pada hari Selasa waktu setempat (13/11/2018).
Sebelumnya, Wakil Perdana Menteri China Liu He dikabarkan akan mengunjungi AS untuk mematangkan rencana dialog antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 pada akhir bulan ini, seperti dikutip dari South China Morning Post.
Di pasar obligasi, aksi beli investor asing nampaknya juga terjadi, walaupun tidak bisa dikonfirmasi 100% lantaran datanya baru dirilis oleh Kementerian Keuangan beberapa hari mendatang.
Aksi beli investor asing di pasar obligasi terlihat dari turunnya imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor acuan. Di pasar obligasi, yang menjadi acuan adalah tenor 5, 10, 15, dan 30 tahun.
Pada hari ini, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 5, 10, dan 15 tahun turun masing-masing sebesar 3,1 bps, 7,2 bps, dan 6 bps. Sementara untuk tenor 30 tahun, imbal hasil naik sebesar 1,8 bps.
Sebagai informasi, pergerakan imbal hasil obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika imbal hasil turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika imbal hasil naik, berarti harga sedang turun.
Di pasar obligasi, sepanjang bulan lalu investor asing memang sangat gencar melakukan aksi beli, dengan nilai bersih sebesar Rp 13,47 triliun. Harga obligasi yang terus terkoreksi sepanjang tahun ini membuat imbal hasil berada dalam posisi yang menarik bagi investor asing.
Pada tanggal 16 Oktober 2018, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun menyentuh level 8,854%, level tertinggi sejak awal 2016.
Lebih lanjut, angka inflasi Indonesia tahun ini sangatlah rendah. Pada awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa inflasi tahun kalender sampai dengan Oktober 2018 adalah sebesar 2,22%, jauh di bawah target dalam APBN 2018 yang sebesar 3,5%.
Inflasi merupakan variabel penting bagi investor dalam menentukan keputusan investasi di pasar obligasi. Jika inflasi rendah, maka obligasi akan menjadi menarik lantaran menawarkan real interest rate yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika inflasi tinggi, maka real interest rate akan menjadi lebih rendah sehingga obligasi tidak menarik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/roy) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!
Most Popular