Dua Hari Beruntun Terlemah di Asia, Ada Apa dengan Rupiah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 November 2018 16:51
Dua Hari Beruntun Terlemah di Asia, Ada Apa dengan Rupiah?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah sepanjang hari perdagangan awal pekan ini. Depresiasi rupiah lumayan dalam, nyaris 1%, dan menjadi mata uang terlemah di Asia. 

Pada Senin (12/11/2018), US$ 1 kala penutupan pasar spot dihargai Rp 14.810. Rupiah melemah 0,89% dibandingkan posisi penutupan akhir pekan lalu. 

Mata uang Tanah Air sudah melemah sejak pembukaan pasar, tetapi 'hanya' 0,14%. Seiring perjalanan pasar, pelemahan rupiah semakin dalam. Bahkan rupiah sempat melemah sampai 1,02% di hadapan dolar AS.

Berikut pergerakan kurs dolar as terhadap rupiah sepanjang perdagangan hari ini: 

 

Rupiah mengulang 'prestasi' akhir pekan lalu, yang melemah 1% saat penutupan pasar. Saat itu, rupiah jadi mata uang terlemah di Asia. 


Dengan pelemahan 0,89%, rupiah kembali jadi mata uang dengan depresiasi paling dalam di Benua Kuning hari ini. Bukan awal yang bagus untuk memulai pekan.

Sebenarnya rupiah tidak sendirian, karena seluruh mata uang utama Asia juga melemah di hadapan greenback. Tidak ada yang bisa selamat gari gelombang penguatan dolar AS. 


Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadpa sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 16:02 WIB: 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dolar AS memang tidak bisa dibendung. Tidak hanya di Asia, keperkasaan greenback terjadi secara meluas (broadbased). 

Pada pukul 16:06 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia) menguat sampai 0,55% ke 97,438. Ini merupakan level tertinggi sejak Juni 2017. 

Dalam seminggu terakhir, Dollar Index sudah menguat 1,2%. Sedangkan selama sebulan ke belakang penguatannya mencapai 2,32% dan sejak awal tahun sudah melonjak 5,76%. 

 

Risiko di Eropa membuat investor kembali mencari aman dengan kembali ke pelukan dolar AS. Lagi-lagi proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) menemui hambatan. 

Mengutip Sunday Times, 4 orang menteri di kabinet Perdana Menteri Theresa May dikabarkan siap mundur karena mendukung Inggris untuk tetap menjadi bagian Uni Eropa. Tidak hanya itu, Brussel juga disebut menolak proposal yang diajukan London terkait kesepakatan sementara terkait wilayah kepabeanan di Pulau Irlandia. 

Di Italia, drama rencana anggaran negara 2019 masih menjadi kekhawatiran pelaku pasar. Uni Eropa sudah menolak rencana anggaran tersebut dan memberi waktu kepada Italia untuk merevisi sampai Selasa waktu setempat.  

Tidak hanya itu, Uni Eropa juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Negeri Pizza. Untuk 2019, Uni Eropa memperkirakan ekonomi Italia tumbuh 1,1%. Lebih rendah ketimbang proyeksi pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte di 1,2%. 

Ketidakpastian soal Brexit dan fiskal Italia membuat investor menghindari Benua Biru. Dolar AS kembali jadi pilihan, sehingga memperkuat mata uang ini. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Namun ada pula faktor domestik yang sepertinya ikut membebani rupiah. Akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) merilis Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018 mengalami defisit US$ 4,39 miliar, paling dalam sejak kuartal II-2018. 

NPI terdiri dari transaksi berjalan (current account) serta transaksi modal dan finansial. Pada kuartal II-2018, keduanya tekor. 

Transaksi berjalan, yang menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa, mengalami defisit US$ 8,85 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II-2014. 

Sementara transaksi modal dan finansial, yang mencerminkan pasokan valas dari investasi di sektor riil dan pasar keuangan, defisit US$ 4,67 miliar. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 3,44 miliar. 

Dengan NPI yang defisit, maka artinya Indonesia sedang kekurangan valas. Ini tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan domestik, terutama rupiah. 

Selain itu, depresiasi rupiah yang cukup dalam juga disebabkan aksi pelepasan aset-aset berbasis mata uang ini. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 17,66 miliar dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,65%. 

Akhir pekan lalu, IHSG juga jatuh cukup dalam yaitu minus 1,72%. Sebelumnya, IHSG sempat menguat selama 8 hari beruntun sehingga menggoda investor untuk merealisasikan keuntungan. Aksi ambil untung ini kemudian membuat IHSG kembali jeblok dan memperparah pelemahan rupiah. 




Sementara di pasar obligasi negara, imbal hasil (yield) untuk tenor 10 tahun naik 7,9 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga sedang turun karena instrumen ini sedang mengalami tekanan jual. 

Seperti IHSG, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun juga turun dalam waktu cukup lama yaitu 29 Oktober hingga 8 November. Dalam periode tersebut, yield sudah amblas 58,1 bps.  

Artinya harga obligasi sudah naik gila-gilaan, dan lagi-lagi memancing gairah investor untuk jualan. Arus modal keluar dari pasar obligasi, seperti halnya di saham, juga semakin membebani rupiah. 




Berbagai sentimen negatif dari dalam dan luar negeri membuat rupiah tidak berdaya. Hasilnya adalah rupiah melemah lumayan dalam dan lagi-lagi menjadi mata uang dengan depresiasi paling dalam di Asia.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular