Dua Hari Beruntun Terlemah di Asia, Ada Apa dengan Rupiah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 November 2018 16:51
Neraca Perdagangan dan Profit Taking Bebani Rupiah
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Namun ada pula faktor domestik yang sepertinya ikut membebani rupiah. Akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) merilis Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018 mengalami defisit US$ 4,39 miliar, paling dalam sejak kuartal II-2018. 

NPI terdiri dari transaksi berjalan (current account) serta transaksi modal dan finansial. Pada kuartal II-2018, keduanya tekor. 

Transaksi berjalan, yang menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa, mengalami defisit US$ 8,85 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II-2014. 

Sementara transaksi modal dan finansial, yang mencerminkan pasokan valas dari investasi di sektor riil dan pasar keuangan, defisit US$ 4,67 miliar. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 3,44 miliar. 

Dengan NPI yang defisit, maka artinya Indonesia sedang kekurangan valas. Ini tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan domestik, terutama rupiah. 

Selain itu, depresiasi rupiah yang cukup dalam juga disebabkan aksi pelepasan aset-aset berbasis mata uang ini. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 17,66 miliar dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,65%. 

Akhir pekan lalu, IHSG juga jatuh cukup dalam yaitu minus 1,72%. Sebelumnya, IHSG sempat menguat selama 8 hari beruntun sehingga menggoda investor untuk merealisasikan keuntungan. Aksi ambil untung ini kemudian membuat IHSG kembali jeblok dan memperparah pelemahan rupiah. 




Sementara di pasar obligasi negara, imbal hasil (yield) untuk tenor 10 tahun naik 7,9 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga sedang turun karena instrumen ini sedang mengalami tekanan jual. 

Seperti IHSG, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun juga turun dalam waktu cukup lama yaitu 29 Oktober hingga 8 November. Dalam periode tersebut, yield sudah amblas 58,1 bps.  

Artinya harga obligasi sudah naik gila-gilaan, dan lagi-lagi memancing gairah investor untuk jualan. Arus modal keluar dari pasar obligasi, seperti halnya di saham, juga semakin membebani rupiah. 




Berbagai sentimen negatif dari dalam dan luar negeri membuat rupiah tidak berdaya. Hasilnya adalah rupiah melemah lumayan dalam dan lagi-lagi menjadi mata uang dengan depresiasi paling dalam di Asia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular