Investasi Asing Anjlok, Salah Global atau...

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
31 October 2018 20:10
Investasi Asing Anjlok, Salah Global atau...
Foto: CNBC Indonesia/Rivi Satrianegara
Jakarta, CNBC Indonesia- Faktor eksternal disebut-sebut jadi penyebab utama anjloknya investasi asing di Indonesia. Rilis data investasi per kuartal III-2018 memperlihatkan, investasi asing turun 20% Year-on-Year (YoY). Dua orang di ruang lingkup Istana yaitu Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, satu pendapat menyatakan dinamika ekonomi global yang jadi penyebabnya. 

"Kan sangat berpengaruh dari dunia luar, kemudahan di suatu negara membuat capital outflow. Itu hukum awal. Kalau menurut mereka kita kurang menjanjikan, negara lain menjanjikan ya pasti mereka milih. Tapi kan kita perbaiki lagi, seperti air aja, jadi mereka bisa balik lagi ke kita," kata Moeldoko usai memberikan sambutan dalam Rapat Koordinasi Nasional Reforma Agraria di Hotel Borobudur, Rabu (31/10/2018). 

Darmin Nasution menyatakan pendapat yang tidak jauh berbeda dengan kompatriotnya di lingkaran istana. "Yang terjadi adalah ekonomi dunia lagi gonjang-ganjing. Siapa yang mau memikirkan investasi kalau lagi gonjang-ganjing begini," jawabnya singkat. 

Sejak awal tahun 2018, dinamika ekonomi global seperti normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS) mendorong terjadinya capital outflow dari Indonesia. Namun kondisi ini nampaknya lebih mengena kepada peredaran hot money. Memang begitu adanya. Di pasar saham, aksi jual bersih (net sell) asing mencapai Rp 54,15 triliun.

Lantas bagaimana jika hubungkan dengan investasi asing jangka panjang/ Foreign Direct Investment (FDI) ? apakah tepat menyalahkan faktor global?
 Investasi dalam jangka panjang, artinya investor siap menaruh dananya dalam jumlah tertentu untuk beberapa periode lamanya.

Dalam memutuskan hal ini, tentu ada berbagai pertimbangan misalnya iklim investasi atau kondisi perekonomian negara yang jadi tujuan investasi.
 Pada konteks Indonesia, faktor global memang memiliki andil. Namun, ada hal lain yang jadi biang kerok utamanya.

Presiden Joko Widodo telah melakukan berbagai cara dalam menarik hati para investor asing.  Jurus utamanya berupa paket kebijakan ekonomi. Reformasi kebijakan investasi dimulai dari penerbitan paket kebijakan ekonomi jilid I terkait deregulasi kebijakan.
 
Hal ini berlanjut pada penerbitan paket kebijakan ekonomi jilid II, di mana pada paket tersebut diterbitkan pengurusan izin investasi hanya tiga jam dari sebelumnya sekitar 1,5 tahun.
 
Reformasi kebijakan berlanjut pada paket kebijakan ekonomi jilid V, yaitu penghilangan pajak berganda bagi investor. Belum selesai sampai di situ, pemerintahan Jokowi-JK menerbitkan paket kebijakan ekonomi jilid VI. Pada paket tersebut, pemerintah mengembangkan beberapa daerah sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Insentif yang diberikan berupa pengurangan pajak hingga kemudahan pengurusan administrasi.
 
Paket kebijakan ekonomi yang berhubungan yaitu jilid 12. Dalam rangka meningkatkan posisi Indonesia dalam Ease of Doing Business, pemerintah memangkas perizinan hingga waktu yang dibutuhkan untuk memulai usaha menurun tajam.
 
Pada aturan tersebut, investor hanya perlu mengurus enam izin dari sebelumnya sembilan izin. Ini pun berdampak kepada waktu yang diperlukan dari sebelumnya 1566 hari menjadi 132 hari.
 
Teranyar, pemerintah menerbitkan paket kebijakan ekonomi jilid 16 dalam mendorong percepatan izin dari tingkat pusat hingga ke daerah. Dalam hal ini pemerintah, menggunakan perangkat teknologi dalam memudahkan perizinan dengan program single submission.
 
Dari sekian jurus ini, nyatanya ajian ini tidak berlaku tahun ini. Apa kita harus salahkan rupiah? Jika mengatakan rupiah jadi pertimbangan keputusan investor mungkin benar. Namun jangan serta merta langsung mengatakannya sebagai biang kerok.
 
Pemerintah harus melihat faktor lain seperti administrasi. Keberhasilan masalah administrasi dapat kita lihat dari pergerakan ease of doing business.
 
 
Sejak awal Presiden Joko Widodo, peringkat ease of doing business memang terus membaik. Survei yang dilakukan oleh World  Bank di tahun 2017, Indonesia berada di peringkat 72 dari 190 negara.
 
Meskipun mengalami perbaikan, nyatanya peringkat Indonesia masih kalah dibandingkan Malaysia (24), Singapura (2) atau Thailand (26). Peringkat Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Filipina (113).
 
Kondisi ease of doing business Indonesia yang masih kalah dengan negara tetangga, memperlihatkan masalah administrasi masih jadi momok. Paket kebijakan Jokowi nampaknya belum mampu mengatasi hal tersebut.
 
Faktor lain pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada zaman kepemimpinan Joko Widodo, pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi terjadi di kuartal II-2018 yaitu 5,27%. Selebihnya pertumbuhan ekonomi berkutat di posisi 4-5%.
 
 
Sejak 2012, pertumbuhan ekonomi tidak lagi menyentuh level 6%. Terakhir, Produk Domestik Bruto (PDB) menyentuh level tersebut di kuartal II-2012 yaitu 6,21%.
Pertumbuhan ekonomi mencerminkan sejauh mana keberhasilan pemerintah dalam membangun roda perekonomian. Ketika pertumbuhan ekonomi turun, artinya roda perekonomian mengalami perlambatan.
 
Investor tentu melihat hal ini sebagai hal yang merugikan. Pasalnya, dengan roda perekonomian yang semakin melambat, maka investasi yang ditanamkan tidak terlalu menguntungkan. Akibatnya, investor lebih memilih negara yang pertumbuhan ekonominya kontinuitas.
 
Oleh sebab itu, daripada menyalahkan faktor global terus menerus, akan lebih baik pemerintah membuang energi untuk fokus memperbaiki masalah adminstrasi serta pertumbuhan ekonomi. Jika kedua hal tersebut bisa diselesaikan, bisa jadi dampak global tidak terlalu berpengaruh terhadap investasi asing di Indonesia.
 
 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular