
Newsletter
Wall Street Bangkit, Mampukah IHSG Mengikuti?
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
26 October 2018 05:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja pasar keuangan Indonesia pada perdagangan kemarin layak diacungi jempol. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat di tengah-tengah kejatuhan bursa saham Asia. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mampu berbalik menguat pada saat-saat terakhir perdagangan pasar spot.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,8%. IHSG boleh dibilang menjadi yang terbaik di Asia, karena bursa saham Benua Kuning mayoritas melemah. Bahkan bukan melemah lagi, sebagian malah anjlok.
Indeks Nikkei 225 amblas 3,72%, Hang Seng ablas 1,01%, Kospi terpangkas 1,63%, dan Straits Times terkoreksi 0,63%. Shanghai Composite memang menguat, tetapi hanya 0,02% sehingga IHSG sepertinya layak menyandang status sebagai yang terbaik di Asia.
'Kebakaran' di bursa saham Asia adalah rambatan dari Wall Street yang sebelumnya ditutup anjlok. Pada perdagangan kemarin, Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 2,41%, S&P 500 ambrol 3,09%, dan Nasdaq Composite meluncur 4,43%.
Ketakutan atas perlambatan perekonomian Negeri Paman Sam sukses menggerogoti Wall Street. Sinyal pertama datang dari rilis angka penjualan rumah baru periode September yang sejumlah 553.000 unit, jauh di bawah konsensus yang sebesar 627.000 unit. Angka ini merupakan yang terendah dalam 2 tahun terakhir.
Kemudian, sinyal perlambatan ekonomi AS juga datang dari publikasi Beige Book oleh The Federal Reserve/The Fed yang menyebut bahwa dunia usaha mulai menaikkan harga akibat perang dagang dengan China. Tingginya bea masuk untuk importasi bahan baku dan barang modal asal China membuat dunia usaha semakin tidak bisa menahan untuk tidak menaikkan harga.
Dari regional, rilis data ekonomi di Korea Selatan semakin membebani bursa saham Asia. Sepanjang kuartal-III 2018, perekonomian Korea Selatan tumbuh 2% year-on-year (YoY), di bawah konsensus yang sebesar 2,2% YoY.
Kemudian, ekspor Hong Kong periode September naik 4,5% YoY, jauh melambat dibandingkan capaian bulan sebelumnya yaitu 13,1% YoY. Sementara impor tumbuh 4,8% YoY, juga di bawah capaian Agustus yang sebesar 16,4% YoY.
Mengapa IHSG mampu menguat di tengah terpaan sentimen negatif yang bertubi-tubi ini? Mungkin karena koreksi IHSG dinilai sudah terlalu dalam sehingga membuat harga aset di Indonesia menjadi murah.
Sejak awal tahun, IHSG anjlok 11,46%. Lebih dalam dibandingkan bursa saham Asia lainnya seperti Nikke 225 (-9,52%) atau Straits Times (-11,46%).
Selain itu, penguatan rupiah ikut memberikan dorongan beli di bursa saham Tanah Air. Apresiasi rupiah tentu membuat investasi ke aset berbasis mata uang ini akan lebih menguntungkan.
Rupiah ditutup menguat 0,07% di hadapan greenback. Padahal rupiah banyak menghabiskan hari berkubang di zona merah. Namun jelang penutupan perdagangan, rupiah melesat dan berhasil menyalip dolar AS.
Ada satu kabar baik yang membuat dolar AS mengendur. Kabar baik itu adalah perkembangan proses pemisahan Inggris dari Uni Eropa (Brexit). London kini optimistis proses perceraian dengan Brussel bisa berlangsung mulus.
Perkembangan ini membuat investor berani mengambil risiko. Setidaknya satu risiko besar yaitu perundingan Brexit yang buntu bisa terhapus untuk sementara. Akibatnya, terjadi arus modal keluar dolar AS seiring peningkatan risk appetite pelaku pasar. Aliran dana pun masuk ke Asia dan membuat mata uang Benua Kuning menguat, termasuk rupiah.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,8%. IHSG boleh dibilang menjadi yang terbaik di Asia, karena bursa saham Benua Kuning mayoritas melemah. Bahkan bukan melemah lagi, sebagian malah anjlok.
Indeks Nikkei 225 amblas 3,72%, Hang Seng ablas 1,01%, Kospi terpangkas 1,63%, dan Straits Times terkoreksi 0,63%. Shanghai Composite memang menguat, tetapi hanya 0,02% sehingga IHSG sepertinya layak menyandang status sebagai yang terbaik di Asia.
'Kebakaran' di bursa saham Asia adalah rambatan dari Wall Street yang sebelumnya ditutup anjlok. Pada perdagangan kemarin, Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 2,41%, S&P 500 ambrol 3,09%, dan Nasdaq Composite meluncur 4,43%.
Ketakutan atas perlambatan perekonomian Negeri Paman Sam sukses menggerogoti Wall Street. Sinyal pertama datang dari rilis angka penjualan rumah baru periode September yang sejumlah 553.000 unit, jauh di bawah konsensus yang sebesar 627.000 unit. Angka ini merupakan yang terendah dalam 2 tahun terakhir.
Kemudian, sinyal perlambatan ekonomi AS juga datang dari publikasi Beige Book oleh The Federal Reserve/The Fed yang menyebut bahwa dunia usaha mulai menaikkan harga akibat perang dagang dengan China. Tingginya bea masuk untuk importasi bahan baku dan barang modal asal China membuat dunia usaha semakin tidak bisa menahan untuk tidak menaikkan harga.
Dari regional, rilis data ekonomi di Korea Selatan semakin membebani bursa saham Asia. Sepanjang kuartal-III 2018, perekonomian Korea Selatan tumbuh 2% year-on-year (YoY), di bawah konsensus yang sebesar 2,2% YoY.
Kemudian, ekspor Hong Kong periode September naik 4,5% YoY, jauh melambat dibandingkan capaian bulan sebelumnya yaitu 13,1% YoY. Sementara impor tumbuh 4,8% YoY, juga di bawah capaian Agustus yang sebesar 16,4% YoY.
Mengapa IHSG mampu menguat di tengah terpaan sentimen negatif yang bertubi-tubi ini? Mungkin karena koreksi IHSG dinilai sudah terlalu dalam sehingga membuat harga aset di Indonesia menjadi murah.
Sejak awal tahun, IHSG anjlok 11,46%. Lebih dalam dibandingkan bursa saham Asia lainnya seperti Nikke 225 (-9,52%) atau Straits Times (-11,46%).
Selain itu, penguatan rupiah ikut memberikan dorongan beli di bursa saham Tanah Air. Apresiasi rupiah tentu membuat investasi ke aset berbasis mata uang ini akan lebih menguntungkan.
Rupiah ditutup menguat 0,07% di hadapan greenback. Padahal rupiah banyak menghabiskan hari berkubang di zona merah. Namun jelang penutupan perdagangan, rupiah melesat dan berhasil menyalip dolar AS.
Ada satu kabar baik yang membuat dolar AS mengendur. Kabar baik itu adalah perkembangan proses pemisahan Inggris dari Uni Eropa (Brexit). London kini optimistis proses perceraian dengan Brussel bisa berlangsung mulus.
Perkembangan ini membuat investor berani mengambil risiko. Setidaknya satu risiko besar yaitu perundingan Brexit yang buntu bisa terhapus untuk sementara. Akibatnya, terjadi arus modal keluar dolar AS seiring peningkatan risk appetite pelaku pasar. Aliran dana pun masuk ke Asia dan membuat mata uang Benua Kuning menguat, termasuk rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
'Kebakaran' di Wall Street Sudah Padam
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular