
Asumsi Pertumbuhan Ekonomi 2019 Direvisi, Ini Penyebabnya
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
16 October 2018 20:47

Jakarta, CNBC Indonesia- Dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR sore ini, pemerintah merevisi asumsi pertumbuhan ekonomi menjadi 5,12% dari sebelumnya 5,30%.
Keputusan ini didasari oleh asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang bergerak ke level Rp 15.000/US$ dari sebelumnya Rp 14.500/US$.
Perubahan asumsi tersebut didasari oleh dinamika global saat ini, utamanya normalisasi kebijakan moneter di AS dan perang dagang. Asumsi kurs yang semakin melemah memang relevan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Utamanya dari sisi impor dan investasi (PMTB).
Dari sisi impor, pelemahan nilai tukar rupiah mengancam pertumbuhan aktivitas tersebut. Semakin tinggi pelemahan, akan membebani devisa suatu negara. Untuk menanggulangi hal tersebut, mau tidak mau pemerintah membatasinya. Namun hal tersebut bukan tanpa konsekuensi.
Pengurangan impor, bisa berdampak kepada laju pertumbuhan sektor industri utamanya manufaktur. Ini bukan asal pendapat semata. Berkurangnya impor tentu akan mempengaruhi laju ekspansi perusahaan. Jika kita berkaca pada kondisi rupiah yang telah menembus level Rp 15.100/US$, pemerintah pun melakukan kebijakan pembatasan impor khususnya barang baku dan modal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per September memperlihatkan, impor barang-barang bakuseperti mesin dan pesawat mekanik, peralatan listrik hingga bahan olahan baja turun cukup drastis.
Dampak dari penurunan ini mulai terlihat dari rilis data Prompth Manufacture Index (PMI) per September. Pada data tersebut, indeks berada di level 50,7 atau turun dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 51,9. Meskipun Indeks di atas 50 menandakan perusahaan masih ekspansif, namun penurunan tersebut memperlihatkan ekspansi jadi melambat.
Ketika ini terjadi, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia terancam. Pasalnya di tahun 2017, kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 22%.
Sementara dari sisi investasi, ancaman pelemahan nilai tukar berpotensi mengerek suku bunga kredit khususnya dari sisi modal kerja dan investasi. Pasalnya dalam menanggulangi pelemahan yang ada, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan hingga 150 basis poin (bps) ke rentang 5,75%.
Kenaikan ini mempengaruhi besaran suku bunga kredit di perbankan. Setidaknya hal tersebut terlihat dari Data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) per Juli 2018, dimana suku bunga modal kerja dan investasi bergerak naik
Ketika suku bunga acuan akhirnya kembali naik pada tanggal 30 Mei 2018, suku bunga kredit perbankan mulai ikut-ikutan naik khususnya suku bunga investasi. Ketika suku bunga semakin tinggi, maka perusahaan akan enggan meminjam ke bank.
Akibatnya pos investasi pun terancam menurun. Ketika hal ini terjadi, maka kontribusi pos ini terhadap pertumbuhan ekonomi semakin kecil dan berimbas kepada realisasi PDB. Kedua gambaran ini setidaknya yang bisa menjelaskan kenapa outlook pertumbuhan ekonomi di 2019 jadi menurun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Keputusan ini didasari oleh asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang bergerak ke level Rp 15.000/US$ dari sebelumnya Rp 14.500/US$.
Perubahan asumsi tersebut didasari oleh dinamika global saat ini, utamanya normalisasi kebijakan moneter di AS dan perang dagang. Asumsi kurs yang semakin melemah memang relevan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Utamanya dari sisi impor dan investasi (PMTB).
Dari sisi impor, pelemahan nilai tukar rupiah mengancam pertumbuhan aktivitas tersebut. Semakin tinggi pelemahan, akan membebani devisa suatu negara. Untuk menanggulangi hal tersebut, mau tidak mau pemerintah membatasinya. Namun hal tersebut bukan tanpa konsekuensi.
Pengurangan impor, bisa berdampak kepada laju pertumbuhan sektor industri utamanya manufaktur. Ini bukan asal pendapat semata. Berkurangnya impor tentu akan mempengaruhi laju ekspansi perusahaan. Jika kita berkaca pada kondisi rupiah yang telah menembus level Rp 15.100/US$, pemerintah pun melakukan kebijakan pembatasan impor khususnya barang baku dan modal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per September memperlihatkan, impor barang-barang bakuseperti mesin dan pesawat mekanik, peralatan listrik hingga bahan olahan baja turun cukup drastis.
Dampak dari penurunan ini mulai terlihat dari rilis data Prompth Manufacture Index (PMI) per September. Pada data tersebut, indeks berada di level 50,7 atau turun dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 51,9. Meskipun Indeks di atas 50 menandakan perusahaan masih ekspansif, namun penurunan tersebut memperlihatkan ekspansi jadi melambat.
Ketika ini terjadi, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia terancam. Pasalnya di tahun 2017, kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 22%.
Sementara dari sisi investasi, ancaman pelemahan nilai tukar berpotensi mengerek suku bunga kredit khususnya dari sisi modal kerja dan investasi. Pasalnya dalam menanggulangi pelemahan yang ada, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan hingga 150 basis poin (bps) ke rentang 5,75%.
Kenaikan ini mempengaruhi besaran suku bunga kredit di perbankan. Setidaknya hal tersebut terlihat dari Data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) per Juli 2018, dimana suku bunga modal kerja dan investasi bergerak naik
Ketika suku bunga acuan akhirnya kembali naik pada tanggal 30 Mei 2018, suku bunga kredit perbankan mulai ikut-ikutan naik khususnya suku bunga investasi. Ketika suku bunga semakin tinggi, maka perusahaan akan enggan meminjam ke bank.
Akibatnya pos investasi pun terancam menurun. Ketika hal ini terjadi, maka kontribusi pos ini terhadap pertumbuhan ekonomi semakin kecil dan berimbas kepada realisasi PDB. Kedua gambaran ini setidaknya yang bisa menjelaskan kenapa outlook pertumbuhan ekonomi di 2019 jadi menurun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(alf/dru) Next Article Naik 8% Tahun Depan, UMP di Jakarta Jadi Rp 3,94 Juta!
Most Popular