Harga Minyak Tembus US$80/barel, Ini Untung-Ruginya Bagi RI

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
26 September 2018 18:45
Defisit Perdagangan Migas Makin Parah
Foto: Edward Ricardo
Sudah bukan rahasia bahwa kinerja perdagangan Indonesia di tahun 2018 sama sekali tidak membanggakan. Secara kumulatif, defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$4,11 miliar (Rp61,29 triliun) pada periode Januari-Agustus 2018.  

Menariknya, ternyata defisit perdagangan untuk kelompok migas saja justru jauh lebih besar, yakni mencapai US$8,35 miliar (Rp124,53 triliun) di periode yang sama! Artinya, buruknya performa perdagangan migas menjadi biang kerok utama anjloknya defisit neraca perdagangan di tahun ini.

Apabila dibandingkan dengan capaian Januari-Agustus 2018 sebesar US$5,4 miliar, defisit migas di tahun ini sudah meningkat sekitar 55%.



Sebagai negara penyandang status net importir minyak, ada dua alasan yang mendorong membengkaknya defisit migas di tahun ini. Faktor tersebut adalah naiknya harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah.

Rata-rata harga minyak jenis Brent berada di kisaran US$45,17/barel di tahun 2016. Sedangkan, rata-rata harganya di tahun 2017 tercatat sebesar US$54,78/barel, atau terjadi peningkatan sebesar 21,27% YoY. Di sepanjang tahun berjalan ini, harga minyak Brent juga masih tercatat menanjak di kisaran 22,43% (hingga perdagangan tanggal 25 September 2018).

Di sisi lain, saat harga minyak melambung, nilai tukar rupiah justru terjun bebas. Di sepanjang tahun berjalan ini, rupiah sudah terdepresiasi nyaris 10% terhadap dolar AS. Pelemahan rupiah akan membuat harga minyak relatif lebih mahal, karena komoditas tersebut diperdagangkan dengan mata uang Negeri Paman Sam.

Celakanya, gara-gara defisit perdagangan migas makin parah, rupiah jadi sulit untuk menguat. Akibat defisit perdagangan yang semakin besar, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pun berpotensi makin bengkak.

Sebagai informasi, CAD kuartal II-2018 sudah menembus 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Capaian itu merupakan yang terparah sejak tahun 2014.

Padahal, CAD seringkali dipandang sebagai fundamental ketahanan ekonomi suatu negara dari gejolak eksternal. Sebab, transaksi berjalan menggambarkan aliran devisa dari sektor perdagangan, impor barang dan jasa. Saat CAD terpuruk, rupiah seakan tidak mempunyai pijakan yang solid untuk bisa bergerak menguat.

(NEXT) (RHG/gus)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular