Refleksi Krisis 2008

Mengapa Krisis Subprime Mortgage Tak Memukul Indonesia?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
16 September 2018 20:51
Mati-matian Menjaga Daya Beli Masyarakat
Foto: REUTERS/Umit Bektas
Sewindu setelah krisis 2008, yakni pada 2016, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di depan para pengusaha nasonal di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, mengungkap strateginya yang diambil sebagai presiden pada masa-masa penuh badai itu dalam menjaga ekonomi Indonesia.

"Saya dengan teman-teman dulu memilih strategi yang disebut dengan keep buying strategy (strategi menjaga pembelian). Ini kita debatkan habis dengan teman-teman saya di ASEAN, G-20, dan forum APEC," ujar SBY pada Kamis (3/3/2016) sebagaimana dikutip Detik.com.



Di tengah perekonomian yang lesu, pemerintah mati-matian memastikan rakyat masih bisa membeli barang dan jasa keperluan sehari-hari. Sama seperti tahun ini, pada 2008 itu SBY juga menghadapi pemilihan presiden setahun kemudian, sehingga dia pun menabung popularitas.

Namun, ongkosnya sangat besar. Pemerintah SBY pada periode tersebut mendongkrak subsidi energi menjadi Rp 223 triliun, meroket nyaris dua kali lipat alokasi pada 2007 yang hanya Rp 120,6 triliun.

Kenaikan itu dilakukan untuk mengimbangi lonjakan harga minyak dunia di tengah pelemahan rupiah. Ini merupakan pukulan ganda bagi Indonesia selaku importir minyak, karena nilai rupiah untuk membeli harga minyak yang kian mahal itu justru berkurang sehingga makin membebani anggaran negara.

"Entah beras, apapun yang dibutuhkan. Kalau rakyat masih membeli berarti demand. Ketika mengambil pilihan keep buying strategy, terus terang saya mendapat masukan dari dunia bisnis," ujar SBY.

Pada saat krisis subprime merebak, harga minyak dunia melonjak ke US$91 dari US$64,2 per barel pada 2007. Kurs rupiah pun terlempar
ke Rp 12.600/dolar AS, setelah bertahun-tahun relatif stabil di bawah Rp 10.000/dolar AS.

Selanjutnya pada 2009, ketika harga minyak dunia terpangkas nyaris separuhnya menjadi US$53 per barel, SBY memutuskan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi Rp 4.500 per liter (dari Rp 6.000 setahun sebelumnya).

Berkat strategi tersebut, ekonomi Indonesia terbukti terselamatkan dengan masih tumbuh 4,6% ketika negara-negara berkembang lainnya membukukan perlambatan ekonomi dan bahkan kontraksi.

Mengapa Krisis Subprime Tak Membanting Indonesia?
Strategi ini sepertinya tengah diikuti oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), yang berusaha mengerem efek kebijakan ambisiusnya dalam menggenjot sektor infrastruktur dengan mempertahankan subsidi energi agar masyarakat tidak terbebani.

Pada 2019, pemerintah mengalokasikan subsidi energi Rp 156 triliun, terdiri dari subsidi BBM dan gas elpiji senilai Rp 100,1 triliun dan subsidi listrik Rp 56 triliun.



Saat ini, bekal pengalaman Sri Mulyani Indrawati yang juga menjadi Menteri Keuangan pada saat krisis 2008 semestinya menjadi modal yang cukup bagi pemerintahan Jokowi untuk menjaga kendali perekonomian nasional. 

Namun harap dicatat, berbeda dari 2008 di mana krisis hanya menjalar di pasar keuangan dunia -- tetapi tidak memukul sektor moneter dan makro negara emerging market -- tahun ini beberapa negara tertekan secara moneter sehingga ekonomi mereka terbatuk-batuk seperti Turki, Venezuela, Afrika Selatan.

Jika ada pukulan di sektor keuangan dalam skala global, maka terbuka peluang krisis ekonomi dunia bakal kembali terjadi. Semoga saja, tidak..

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ags/prm)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular