Pajak Impor Naik, Ini Dampak ke Saham Barang Konsumsi

Tito Bosnia, CNBC Indonesia
07 September 2018 11:19
Pajak impor dikenakan pemerintah terhadap 1.147 barang, ini jadi salah satu katalis yang mendorong penguatan IHSG.
Foto: ist
Jakarta, CNBC Indonesia - Langkah pemerintah menaikkan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 kepada 1.147 barang impor menjadi 10% menjadi salah satu katalis yang mendorong pasar saham domestik. Rinciannya, 719 produk naik dari 2,5% menjadi 7,5%, 218 produk naik dari 2,5% menjadi 10%, dan 210 produk naik dari 7,5% menjadi 10%. Pada 2017, nilai impor 1.147 produk tersebut adalah US$ 6,6 miliar.

Lalu bagaimana pengarunya terhadap saham? Analis dari RHB Sekuritas Andrey Wijaya menjelaskan penerapan kebijakan tersebut diperkirakan berdampak positif bagi perusahaan-perusahaan dari sektor konsumsi hingga otomotif yang tercatat di pasar modal.

Bersebarangan dengan perkiraan pasar yang menilai kebijakan tersebut dapat berdampak negatif, pihaknya melihat peluang besar (silver lining) bagi emiten-emiten di sektor konsumsi.

"Tarif lebih tinggi akan membutuhkan modal kerja yang lebih besar yang dapat melukai usaha menengah hingga distributor kecil, namun keuntungan diperkirakan lebih besar. Karena perusahaan bisa menebus tarif impor yang lebih tinggi hanya terhadap pajak penghasilan," ungkap Andrey dalam Riset RHB Sekuritas.

Lebih lanjut, kebijakan pemerintah meningkatkan tarif impor sebenarnya dapat memberi insentif bagi pemilik bisnis untuk mengajukan pajak hanya 37% dari tingkat partisipasi (participation rate) saat ini.

Tarif impor yang lebih tinggi mengakibatkan ketergantungan yang lebih tinggi pada barang domestik dan insentif lebih banyak pada pengajuan pajak.

"Pemerintah menetapkan kebijakan tersebut untuk mencegah bisnis dari mengimpor barang-barang tertentu dan mengandalkan produk domestik. Karena tarif impor hanya dapat ditebus melalui pendapatan pajak, pemerintah memberi insentif kepada pebisnis untuk mengajukan pajaknya," tambah Andrey dan Michael.

Pada 2017, sekitar 5 juta pengusaha mendirikan bisnisnya di Indonesia, dan hanya sekitar 1,8 juta yang mengajukan pajak penghasilan. Untuk itu, perusahaan yang terus menghindari pajak akan membayar biaya pengadaan yang jauh lebih tinggi lagi.

Minimnya dampak terkait aturan tersebut dirasakan bagi emiten PT Astra International Tbk (ASII) yang mengatakan mayoritas kendaraan roda empat (4 wheels) mereka diproduksi secara lokal.

Pada Juli 2018, ASII mengimpor hanya 17.885 unit kendaraan roda empat atau 5.5% dari total penjualan perseroan. Pada periode yang sama, ASII melalui anak usahanya mengekspor 114,84 ribu unit kendaraan Toyota dan Daihatsu.

"Tetap mempertahankan beli (BUY) dengan SOP berbasis Rp 9.200 sebagai target price (upside 36%)," ujar analis RHB.

Sementara itu, kebijakan tersebut juga tidak akan berdampak pada PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). Diskusi yang telah dilakukan kepada perseroan didapat bahwa sekitar 99% produk shampoo dan sabun perseroan diproduksi secara lokal.

Sebagai distributor dan pengecer produk konsumsi ritel, perseroan memiliki 9 fasilitas produksinya di dalam negeri. Selama 5 tahun kedepan, UNVR juga menargetkan untuk mengalokasikan anggaran belanja modal US$ 500 juta untuk memperluas fasilitas produksi perawatan, makanan dan produk rumah tangganya.

"Tetap mempertahankan beli (BUY) pada saham UNVR dengan target price (TP) di Rp 50.500/saham," ungkap para analis.

Sementara itu, pemain besar pengecer ritel lainnya diantaranya ICBP (Buy/TP Rp 10.300), MYOR (Buy/Rp 3.300), LPPF (Buy/Rp 11.000), MAPI (Buy/Rp 1.050), ERAA (Buy/Rp 4.100), RALS (Buy/Rp 1.700), ROTI (Netral/ Rp 860), ACES (Netral/Rp 1.500).


(hps) Next Article Sedang Turun, Saham Konsumer kok Masih Pantas Diincar?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular