Setahun Lagi, Kita Tagih Janji Jokowi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 August 2018 12:35
Setahun Lagi, Kita Tagih Janji Jokowi
Presiden Jokowi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Masalah utama bagi Indonesia saat ini adalah depresiasi nilai tukar rupiah. Isu ini sudah menjadi prioritas teratas bagi pemerintah dan Bank Indonesia (BI). 

Sejak awal 2018, rupiah sudah melemah 7,3% di hadapan dolar AS. Di antara mata uang utama Asia, hanya rupee India yang mengalami depresiasi lebih dalam. Sisanya bernasib lebih baik. 

Setahun Lagi, Kita Tagih Janji JokowiMata Uang Asia (Reuters)
 
Faktor eksternal dan internal menjadi momok bagi rupiah. Dari luar, dolar AS memang sedang perkasa. Di Asia, hanya yen Jepang yang mampu menandingi mata uang Negeri Adidaya sementara lainnya terjerembab. 

Kejayaan dolar AS utamanya didorong oleh kenaikan suku bunga acuan. Tahun ini, The Federal Reserve/The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali. Lebih banyak ketimbang perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali. 

Pemulihan ekonomi AS yang semakin nyata membuat bank sentral perlu melakukan upaya pengereman agar tidak terjadi overheating, yaitu kondisi permintaan terlalu tinggi sehingga tidak mampu diimbangi penawaran. Hasilnya adalah tekanan inflasi yang tidak perlu, menggerus daya beli masyarakat dan menjadi beban dunia usaha. 

Pada kuartal II-2018, ekonomi AS tumbuh 4,1%, laju tercepat sejak 2014. Pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam diperkirakan kian cepat pada kuartal III-2018, mencapai 4,6% menurut pembacaan The Fed dalam proyeksi 24 Agustus. Angka ini lebih tinggi ketimbang proyeksi 16 Agustus yaitu 4,3%. 

Tanpa kenaikan suku bunga, perekonomian AS akan terus melaju tanpa kendali. Sampai akhir 2019, The Fed memperkirakan suku bunga acuan bisa mencapai 2,9%. Saat ini, suku bunga acuan di AS adalah 1,75-2%. Artinya, masih ada kenaikan demi kenaikan untuk mencapai angka 2,9%. 

Meski berfungsi untuk mengendalikan perekonomian AS supaya baik jalannya, kenaikan suku bunga acuan punya dampak lain yaitu memancing arus modal. Dengan kenaikan suku bunga, maka imbalan berinvestasi di instrumen-instrumen berbasis dolar AS (terutama yang berpendapatan tetap/fixed income) akan naik.

Bagi investor yang selalu mencari cuan, ini tentu sangat menggoda.
 Aliran modal yang deras mengalir ke pasar keuangan AS otomatis membuat greenback menguat.

Dolar AS menjadi raja mata uang dunia, karena arus modal tersedot, terkonsentrasi, dan terarah ke Negeri Adidaya. Dunia hanya kebagian remah-remahnya.
 



Itu dari eksternal. Dari dalam negeri pun ada faktor yang membebani rupiah.

Fundamental yang membentuk nilai tukar adalah penawaran dan permintaan. Jika permintaan sebuah mata uang tinggi, maka nilainya menguat alias harganya semakin mahal. Sebaliknya, kalau suatu mata uang sering dilepas maka nilainya terdepresiasi alias kian murah.

Itulah yang terjadi pada rupiah. Mata uang Tanah Air banyak dilepas untuk dibelikan dolar AS dalam rangka pembiayaan impor baik itu barang maupun jasa.

Indonesia punya penyakit yang belum kunjung sembuh. Setiap kali perekonomian domestik membaik, impor pasti membanjir karena industri dalam negeri tidak mampu memenuhi kenaikan permintaan. Lonjakan impor tentu akan menekan rupiah, karena mata uang ini akan banyak dilepas untuk membeli dolar AS sebagai pembiayaan impor.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan impor pada Juli 2018 mencapai 31,56% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Akibat derasnya impor, neraca perdagangan pun mencatat defisit US$ 2,03 miliar.

Saat neraca perdagangan defisit, neraca yang lebih besar lagi yaitu transaksi berjalan (current account) ikut defisit. Pada kuartal II-2018, defisit transaksi berjalan mencapai 3,04% dari Produk Domestik Bruto, paling dalam sejak kuartal II-2014.

Setahun Lagi, Kita Tagih Janji JokowiDefisit transaksi berjalan (Reuters)


Transaksi berjalan adalah gambaran arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, alias dari perdagangan dan sebagian investasi. Devisa ini lebih bertahan lama, lebih bisa diandalkan untuk menopang nilai tukar ketimbang arus modal portofolio yang bisa datang dan pergi sesuka hatinya.

Oleh karena itu, defisit di transaksi berjalan membuat rupiah minim pijakan untuk bisa stabil. Tanpa pijakan yang kuat, rupiah pun terombang-ambing di gelombang keperkasaan dolar AS dan bahkan cenderung melemah.


Faktor domestik inilah yang coba ditangani oleh pemerintah dan BI, karena sentimen eksternal memang di luar kuasa mereka. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah beberapa kali menggelar rapat kabinet untuk mengatasi pelemahan rupiah dan defisit transaksi berjalan. Tidak hanya dengan para pembantunya, Kepala Negara pun sudah beberapa kali mengundang para pengusaha untuk membicarakan isu itu

Teranyar, Jokowi mengundang para pengusaha ke Istana Negara kemarin. "Masalah current account deficit ini adalah masalah yang sudah lama sekali yang tidak diperbaiki. Saya kira kita akan fokus ke sana," tegas Jokowi dalam pertemuan tersebut.

Bahkan Jokowi punya target yang ambisius untuk menyelesaikan problem utama ini. Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut menargetkan bisa menyelesaikan masalah defisit transaksi berjalan dalam waktu setahun. Anda tidak salah baca, betul setahun. Atau 12 bulan. Atau 365 hari.


Bicara soal transaksi berjalan tentu menyinggung soal fundamental atau struktur perekonomian. Selama Indonesia masih doyan barang impor, tentu transaksi berjalan akan selalu defisit. Oleh karena itu, perlu dibangun struktur ekonomi yang bisa menghindarkan Indonesia dari ketergantungan terhadap impor. Menciptakan struktur ini yang perlu waktu, setahun pasti tidak akan cukup.

Sebab, membangun struktur ekonomi yang bisa meredam impor berarti melakukan industrialisasi. Bila industri dalam negeri tumbuh dengan baik, maka produksi mereka akan naik dan mampu memenuhi tambahan permintaan acap kali ekonomi domestik membaik.

Industrialisasi lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan. Semua pemerintahan, semua presiden, semua menteri, bicara soal industrialisasi. Namun sudah lama pertumbuhan industri pengolahan melambat, selalu di bawah pertumbuhan ekonomi.

Pada kuartal II-2018, industri pengolahan hanya tumbuh 3,97%, jauh di atas pertumbuhan ekonomi umum yang mencapai 5,27%. Pertumbuhan industri pada kuartal II-2018 merupakan laju terlambat sejak kuartal III-2017.

Membangun industri butuh banyak waktu, tenaga, dan uang. Sebelum membangun industri, butuh prasayarat yaitu ketersediaan infrastruktur. Percuma membangun industri kalau listrik tidak ada, jalan tidak tersedia, jauh dari pelabuhan, dan sebagainya. Infrastruktur Indonesia harus dibenahi terlebih dulu sebelum masuk ke industrialisasi.

Itu yang perlu dilakukan untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan secara permanen, secara jangka panjang. Mustahil dilakukan dalam setahun, kecuali memakai cara Bandung Bondowoso yang bisa membangun 1.000 candi dalam semalam.

Namun, defisit transaksi berjalan juga bisa diperbaiki lewat jalur cepat. Quick win. Caranya adalah dengan upaya penyelamatan yang sudah dan sedang dilakukan pemerintah.

Ada dua cara. Pertama adalah rencana pemerintah membatasi impor barang konsumsi dengan cara menaikkan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22.

Saat ini, ada 900 produk impor yang dikenakan PPh 22 dengan tarif 2,5-7,5%. Pemerintah tengah mengkaji barang konsumsi apa saja yang akan pajaknya akan dinaikkan dalam rangka meredam impor.


Sedangkan kebijakan kedua adalah keseriusan pemerintah dalam menerapkan kewajiban pencampuran bahan bakar nabati sebesar 20% untuk minyak diesel/solar. Aturan yang dikenal dengan istilah B20 ini digadang-gadang mampu menekan impor secara signifikan sehingga mengurangi devisa yang 'terbang' ke luar negeri.


Jika dua kebijakan ini ditempuh, maka bisa saja derasnya impor bisa diredam. Dampaknya, neraca perdagangan dan transaksi berjalan akan terbantu. Kalau dua kebijakan ini, dampaknya mungkin saja bisa dirasakan dalam waktu setahun seperti janji Jokowi.

Namun jika ingin solusi yang lebih cespleng, maka mau tidak mau industri harus dikembangkan. Industri dalam negeri yang kuat akan menjaga fundamental Indonesia tetap kokoh. Industri dalam negeri yang kuat akan membuat Indonesia berdikari tanpa banyak bergantung kepada impor. Industri dalam negeri yang kuat akan menjadi benteng pelindung bagi rupiah.

Untuk sementara, kita pegang dulu saja janji Jokowi. Jangan lupa, tahun depan kita tagih janjinya membenahi defisit transaksi berjalan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular