Newsletter

Investor Pilih AS, Indonesia Cuma Kebagian Remah Rengginang?

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
23 August 2018 05:31
Investor Pilih AS, Indonesia Cuma Kebagian Remah Rengginang?
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menjalani hari yang indah pada perdagangan terakhir jelang libur Hari Raya Idul Adha. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan obligasi negara mencetak penguatan. 

Kemarin pasar keuangan Indonesia libur. Namun sehari sebelumnya, IHSG berhasil ditutup 0,88%. Sementara rupiah menguat 0,07% terhadap dolar AS karena dukungan aliran modal di pasar obligasi negara. 

Kritik dari Presiden AS Donald Trump kepada The Federal Reserve/The Fed membawa berkah bagi pasar keuangan Indonesia. Dalam wawancara dengan Reuters, Trump mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan keputusan the Federal Reserve yang dinilai terlampau agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. 

"Saya tidak terkejut The Fed menaikkan suku bunga. Namun seharusnya The Fed bekerja untuk kebaikan negara. The Fed seharusnya membantu saya, negara-negara lain masih akomodatif (dalam kebijakan moneter)," tuturnya. 

Kenaikan suku bunga acuan, yang tahun ini kemungkinan terjadi empat kali, membuat greenback begitu perkasa. Sejak awal tahun, Dollar Index yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia lainnya, sudah menguat di kisaran 3,5%.

Dolar AS pun menjadi raja mata uang dunia, hanya segelintir yang mampu menguat terhadap mata uang ini.
 Akibatnya, ekspor AS menjadi kurang kompetitif sementara impor meningkat.

Trump pun meradang, karena dia ingin industri AS berkembang pesat dan menciptakan banyak lapangan kerja. Make America Great Again.
 

Komentar Trump membuat pasar cemas, karena bisa mengarah ke intervensi terhadap kebijakan moneter. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan marwah independensi bank sentral yang sangat dijunjung tinggi. Pasar pun dibuat cemas bahwa kenaikan suku bunga acuan tak akan mencapai empat kali tahun ini.  

Kekecewaan investor dilampiaskan dengan melepas dolar AS dan aset-aset berbasis mata uang ini. Dana-dana yang keluar dari AS hinggap ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Akibatnya, IHSG, rupiah, dan harga obligasi negara mencatatkan kenaikan. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,34%, S&P 500 melemah 0,04%, tetapi Nasdaq Composite naik 0,37%. 

Koreksi yang dialami DJIA dan S&P 500 tidak lepas dari rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Fed edisi Agustus 2018. Rilis ini sepertinya semakin meyakinkan pasar bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan bulan depan. 

"Para peserta rapat menyatakan bahwa jika data-data ke depan mendukung proyeksi ekonomi, maka sudah saatnya menempuh langkah lanjutan untuk menghilangkan kebijakan yang akomodatif," sebut notulensi itu. 

Saat ini, The Fed melihat perekonomian AS naik itu dari sisi pengusaha maupun rumah tangga sedang dalam momentum yang baik. Oleh karena itu, ekonomi akan tumbuh dan menciptakan dampak inflasi. Melihat hal tersebut, The Fed tidak akan lagi menyebut kebijakan moneter sebagai instrumen untuk mendorong perekonomian. 

Namun, The Fed tetap melihat ada risiko bagi perekonomian AS. Salah satunya adalah perang dagang. "Para peserta rapat menggarisbawahi bahwa perselisihan dagang merupakan sumber ketidakpastian dan risiko," tegas notulensi rapat The Fed. 

Mengenai arah kebijakan moneter ke depan, apakah kenaikan suku bunga jadi empat kali sepanjang 2018 atau hanya tiga kali, Gubernur The Fed Jerome Powell menyatakan hal itu akan dibahas pada musim gugur. Sepertinya pelaku pasar masih harus menunggu. 

Secara umum, hasil rapat The Fed tetap menunjukkan nada yang hawkish. Potensi kenaikan suku bunga acuan pada rapat bulan depan pun kian besar. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 2-2,25% mencapai 96%. 

Kenaikan suku bunga acuan tentu bukan kabar baik bagi pasar saham. Sebab, saham adalah instrumen yang bekerja optimal dalam lingkungan suku bunga rendah.

Sebaliknya, kenaikan suku bunga acuan disambut bahagia oleh pasar obligasi. Terlihat bahwa ada aliran modal menuju pasar obligasi pemerintah AS, ditunjukkan oleh penurunan imbal hasil (yield) karena harga sedang naik. Yield obligasi AS seri acuan tenor 10 tahun turun 2,3 basis poin menjadi 2,8207%. 

Selain dari notulensi rapat The Fed, faktor pemberat Wall Street lainnya adalah gaduh politik di lingkaran Gedung Putih. Paul Manafort, mantan manajer kampanye Trump, dinyatakan bersalah atas penipuan dan penggelapan pajak. Sedangkan Michael Cohen, mantan pengacara Trump, divonis bersalah atas sejumlah tindak pidana yang menurutnya dilakukan atas suruhan sang presiden. 

"Banyak berita negatif bagi Trump. Kabar ini memunculkan ketidakpastian baru di pasar," tutur Robert Phipps, Direktur di Per Stirling Capital yang berbasis di Texas, seperti dikutip Reuters. 


Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang cenderung melemah. Dikhawatirkan pelemahan ini bisa menular ke bursa saham Asia, termasuk Indonesia. 

Kedua adalah rilis hasil rapat The Fed, yang terbukti mampu mengekang laju Wall Street. Rilis ini berhasil membuat arus modal lagi-lagi tersedot ke Negeri Adidaya, dan berpotensi membuat negara lain (termasuk Indonesia) hanya kebagian remah-remah rengginang. 

Ada kemungkinan arus modal yang masuk ke pasar keuangan Indonesia akan seret karena investor memilih masuk ke AS, utamanya ke pasar obligasi Negeri Paman Sam. Ketika ini terjadi, maka tidak hanya IHSG yang kekeringan tetapi rupiah pun akan berbalik melemah. 

Namun ada sentimen positif dari kenaikan harga minyak dunia. Pada pukul 04:57 WIB, harga minyak jenis brent naik 2,89% sedangkan light sweet menguat 1,07%. Kenaikan harga minyak akan membawa dampak positif ke pasar keuangan domestik, karena emiten migas dan pertambangan bisa lebih mendapat apresiasi dari pasar. 

Kenaikan harga si emas hitam disebabkan oleh anjloknya cadangan minyak AS. Rilis resmi dari US Energi Information Administration (EIA) menyatakan cadangan minyak AS turun 5,8 juta barel pada pekan lalu dibandingkan pekan sebelumnya. Jauh dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yaitu turun 1,5 juta barel. 

Selain itu, kenaikan harga minyak juga disebabkan oleh kekhawatiran pasar terhadap sanksi AS kepada Iran. Selepas AS keluar dari kesepakatan nuklir, sanksi kepada Negeri Persia dijatuhkan kembali. Sanksi tersebut mencakup perdagangan emas dan logam mulia lainnya, pembelian dolar AS, dan industri otomotif. 

Pada November mendatang, kemungkinan besar sanksi kepada Iran akan ditambah dengan memukul sektor paling penting: minyak. Presiden Trump akan melarang impor minyak dari Iran, dan mengajak negara-negara lain melakukan hal serupa. 

Apabila pasokan minyak dari Iran berhenti, maka dampaknya akan lumayan besar. Saat ini, ekspor minyak Iran mencapai 2,12 juta barel/hari. Jumlah sebesar itu berpotensi hilang mulai November. Akibatnya harga pun bergerak ke atas. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data pembacaan awal indeks PMI sektor manufaktur dan jasa zona Eropa periode Agustus 2018 (15.00 WIB).
  • Rilis ikhtisar rapat kebijakan moneter European Central Bank edisi Juli 2018 (18.30 WIB).
  • Rilis data klaim pengangguran AS dalam sepekan hingga tanggal 17 Agustus 2018 (19.30 WIB).
  • Rilis data pembacaan awal indeks PMI sektor manufaktur dan jasa AS periode Agustus 2018 (20.45 WIB).
  • Rilis data penjualan rumah baru AS periode Juli 2018 (21.00 WIB). 
Investor juga perlu mencermati agendai perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Sepatu Bata Tbk PT (BATA)RUPSLB10:00
PT Bank Capital Indonesia Tbk (BACA)RUPSLB10:00

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
 
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Juli 2018 YoY)3.18%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Juli 2018)US$ 118.3 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular