
Setahun Lagi, Kita Tagih Janji Jokowi

Itu dari eksternal. Dari dalam negeri pun ada faktor yang membebani rupiah.
Fundamental yang membentuk nilai tukar adalah penawaran dan permintaan. Jika permintaan sebuah mata uang tinggi, maka nilainya menguat alias harganya semakin mahal. Sebaliknya, kalau suatu mata uang sering dilepas maka nilainya terdepresiasi alias kian murah.
Itulah yang terjadi pada rupiah. Mata uang Tanah Air banyak dilepas untuk dibelikan dolar AS dalam rangka pembiayaan impor baik itu barang maupun jasa.
Indonesia punya penyakit yang belum kunjung sembuh. Setiap kali perekonomian domestik membaik, impor pasti membanjir karena industri dalam negeri tidak mampu memenuhi kenaikan permintaan. Lonjakan impor tentu akan menekan rupiah, karena mata uang ini akan banyak dilepas untuk membeli dolar AS sebagai pembiayaan impor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan impor pada Juli 2018 mencapai 31,56% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Akibat derasnya impor, neraca perdagangan pun mencatat defisit US$ 2,03 miliar.
Saat neraca perdagangan defisit, neraca yang lebih besar lagi yaitu transaksi berjalan (current account) ikut defisit. Pada kuartal II-2018, defisit transaksi berjalan mencapai 3,04% dari Produk Domestik Bruto, paling dalam sejak kuartal II-2014.
![]() |
Transaksi berjalan adalah gambaran arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, alias dari perdagangan dan sebagian investasi. Devisa ini lebih bertahan lama, lebih bisa diandalkan untuk menopang nilai tukar ketimbang arus modal portofolio yang bisa datang dan pergi sesuka hatinya.
Oleh karena itu, defisit di transaksi berjalan membuat rupiah minim pijakan untuk bisa stabil. Tanpa pijakan yang kuat, rupiah pun terombang-ambing di gelombang keperkasaan dolar AS dan bahkan cenderung melemah.