
Internasional
Benarkah Pasar Saham akan Hancur Bila Trump Lengser?
Prima Wirayani, CNBC Indonesia
24 August 2018 20:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mangatakan pasar saham akan hancur bila ia di-impeach atau dicopot dari jabatannya dan semua orang akan jadi sangat miskin.
Para analis Wall Street memberi pandangan berbeda.
Saat ini, pasar saham tampaknya mengabaikan kekisruhan politik di sekitar Trump. Indeks-indeks utama Wall Street hanya sedikit berubah hari Selasa (21/8/2018) ketika mantan pengacara pribadinya, Michael Cohen, mengaku bersalah atas pelanggaran terkait keuangan kampanye yang tampaknya akan menyeret Trump dan mantan manajer kampanye Paul Manafort divonis bersalah atas delapan tindakan penipuan bank, tulis CNBC International.
Meskipun investor terkenal tidak menyukai ketidakpastian seperti ini, para analis mengatakan Wall Street tetap fokus pada kecemasan yang lebih nyata, seperti kebijakan perdagangan protektif Trump yang dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi AS.
"Pasar tidak sentimentil," kata chief market strategist di B. Riley FBR, Art Hogan, dikutip dari CBSnews.com, hari Jumat (24/8/2018).
"Pasar melihat pemerintahan dan kami mendapatkan kebijakan pro-bisnis yang pasar inginkan. Itu sudah dikunci dan dimanfaatkan," tambahnya.
Turunnya presiden dari jabatannya bahkan bisa jadi menguntungkan bagi pasar saham, karena tingginya ketidakpuasan dunia usaha atas kebijakan perdagangan Trump yang telah membuat AS bermusuhan dengan China, Eropa, dan perekonomian besar lainnya di dunia. Kebiasaan Twitter Trump juga tidak akan dirindukan, kata Hogan.
Pasar justru menganggap positif hilangnya cuitan-cuitan sang presiden yang menggangu, ujarnya.
Wakil Presiden Mike Pence, yang akan menggantikan Trump bila impeachment terjadi, tidak terlihat sebagai seorang yang proteksionis dan hakwish sehingga pasar mungkin akan bereaksi secara positif, kata Hogan.
Apa Kata Sejarah?
Sejarah juga memberi gambaran mengenai apa yang terjadi ketika seorang presiden mengalami impeachment atau mengundurkan diri.
Selama Skandal Watergate ketika Presiden Richard Nixon mengundurkan diri dan bukannya dicopot, saham turun tajam. Indeks S&P 500 anjlok lebih dari 20% sepanjang periode terbongkarnya skandal Watergate dan pengunduran diri Nixon.
Namun, saham-saham sebenarnya telah melemah sebelum drama Watergate menyeruak, menurut catatan riset Capital Economics. Investor saat itu berfokus pada penurunan pertumbuhan ekonomi yang dalam sebagai dampak dari embargo minyak OPEC dan lonjakan inflasi.
Indeks saham justru berbalik menguat saat Nixon lengser.
Setelah Presiden Bill Clinton di-impeach pada 1998 atas tuduhan sumpah palsu dan menghalangi keadilan, pasar saham menguat tajam, tulis CBSnews.com.
Ketika perhatian seluruh negara tertuju pada kekacauan politik dan kasus personal sang presiden, sebagian investor justru mengabaikannya dan memilih mencermati era booming-nya laba perusahaan, tingginya pertumbuhan gaji, rendahnya angka pengangguran, dan kenaikan sektor teknologi.
Pelajaran yang dapat diambil dari kejadian tersebut, kata para ahli, adalah Wall Street cenderung berkonsentrasi pada risiko yang dapat dihitungnya. Isu-isu seperti itu biasanya adalah pajak dan kebijakan perdagangan, angka pengangguran, gaji, dan laba perusahaan.
"Tentu saja tidak adil bila kita sepenuhnya mengabaikan pengaruh politik," kata Capital Economics. "S&P 500 reli kencang saat Presiden Tump memenangkan pilpres dan biasanya bereaksi terhadap berbagai pernyataannya tentang perdagangan dan The Fed."
Namun tetap saja, tambahnya, "Secara umum kami berpendapat pengaruh politik akan tetap kecil."
(wed) Next Article AS-China yang Semakin Mesra Bikin Bursa Eropa Ditutup Positif
Para analis Wall Street memberi pandangan berbeda.
Saat ini, pasar saham tampaknya mengabaikan kekisruhan politik di sekitar Trump. Indeks-indeks utama Wall Street hanya sedikit berubah hari Selasa (21/8/2018) ketika mantan pengacara pribadinya, Michael Cohen, mengaku bersalah atas pelanggaran terkait keuangan kampanye yang tampaknya akan menyeret Trump dan mantan manajer kampanye Paul Manafort divonis bersalah atas delapan tindakan penipuan bank, tulis CNBC International.
"Pasar tidak sentimentil," kata chief market strategist di B. Riley FBR, Art Hogan, dikutip dari CBSnews.com, hari Jumat (24/8/2018).
"Pasar melihat pemerintahan dan kami mendapatkan kebijakan pro-bisnis yang pasar inginkan. Itu sudah dikunci dan dimanfaatkan," tambahnya.
Turunnya presiden dari jabatannya bahkan bisa jadi menguntungkan bagi pasar saham, karena tingginya ketidakpuasan dunia usaha atas kebijakan perdagangan Trump yang telah membuat AS bermusuhan dengan China, Eropa, dan perekonomian besar lainnya di dunia. Kebiasaan Twitter Trump juga tidak akan dirindukan, kata Hogan.
Pasar justru menganggap positif hilangnya cuitan-cuitan sang presiden yang menggangu, ujarnya.
Wakil Presiden Mike Pence, yang akan menggantikan Trump bila impeachment terjadi, tidak terlihat sebagai seorang yang proteksionis dan hakwish sehingga pasar mungkin akan bereaksi secara positif, kata Hogan.
Apa Kata Sejarah?
Sejarah juga memberi gambaran mengenai apa yang terjadi ketika seorang presiden mengalami impeachment atau mengundurkan diri.
Selama Skandal Watergate ketika Presiden Richard Nixon mengundurkan diri dan bukannya dicopot, saham turun tajam. Indeks S&P 500 anjlok lebih dari 20% sepanjang periode terbongkarnya skandal Watergate dan pengunduran diri Nixon.
Namun, saham-saham sebenarnya telah melemah sebelum drama Watergate menyeruak, menurut catatan riset Capital Economics. Investor saat itu berfokus pada penurunan pertumbuhan ekonomi yang dalam sebagai dampak dari embargo minyak OPEC dan lonjakan inflasi.
Indeks saham justru berbalik menguat saat Nixon lengser.
Setelah Presiden Bill Clinton di-impeach pada 1998 atas tuduhan sumpah palsu dan menghalangi keadilan, pasar saham menguat tajam, tulis CBSnews.com.
Ketika perhatian seluruh negara tertuju pada kekacauan politik dan kasus personal sang presiden, sebagian investor justru mengabaikannya dan memilih mencermati era booming-nya laba perusahaan, tingginya pertumbuhan gaji, rendahnya angka pengangguran, dan kenaikan sektor teknologi.
Pelajaran yang dapat diambil dari kejadian tersebut, kata para ahli, adalah Wall Street cenderung berkonsentrasi pada risiko yang dapat dihitungnya. Isu-isu seperti itu biasanya adalah pajak dan kebijakan perdagangan, angka pengangguran, gaji, dan laba perusahaan.
"Tentu saja tidak adil bila kita sepenuhnya mengabaikan pengaruh politik," kata Capital Economics. "S&P 500 reli kencang saat Presiden Tump memenangkan pilpres dan biasanya bereaksi terhadap berbagai pernyataannya tentang perdagangan dan The Fed."
Namun tetap saja, tambahnya, "Secara umum kami berpendapat pengaruh politik akan tetap kecil."
(wed) Next Article AS-China yang Semakin Mesra Bikin Bursa Eropa Ditutup Positif
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular