Internasional
Krisis Lira Akan Berdampak pada Rekan Dagang Turki di Asia
Prima Wirayani, CNBC Indonesia
17 August 2018 18:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah-tengah bergejolaknya pasar keuangan global akibat depresiasi tajam yang dialami mata uang Turki, lira, beberapa waktu belakangan, para investor secara cermat mengamati hubungan antara Turki dan negara-negara Asia Pasifik.
Enam negara Asia tercatat dalam 20 lokasi asal impor terbesar Turki dengan China menduduki posisi puncak, IHS Markit menulis dalam laporannya hari Jumat (17/8/2018). Lima negara lainnya adalah Korea Selatan, India, Jepang, Malaysia, dan Vietnam.
"Krisis ekonomi Turki dan jatuhnya lira akan berdampak pada perdagangan bilateral karena biaya barang-barang impor akan naik tajam dalam nilai lira akibat dalamnya depresiasi mata uang tahun ini," kata Kepala Ekonom Asia Pasifik IHS Markit Rajiv Biswas, CNBC International melaporkan.
Sebagai contoh, anjloknya lira diperkirakan akan memukul permintaan berbagai produk Malaysia oleh Turki tahun ini dan di 2019, tambahnya.
Lira telah kehilangan hampir 40% nilainya terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang 2018. Banyak pihak cemas depresiasi itu akan menular dan menyebabkan aksi jual di pasar mata uang dan saham, terutama bila otoritas Turki mengambil langkah capital control demi menahan laju pelemahan.
Aksi jual itu akan semakin meningkatkan risiko bagi negara-negara Asia Pasifik yang perdagangannya sedang melambat, kata Biswas, karena akan membuat investor menarik dananya dalam jumlah besar dari pasar-pasar negara berkembang.
India akan menjadi salah satu negara berkembang yang lebih rentan terhadap guncangan global, ujarnya.
Mata uang India, rupee, terdampak oleh aksi investor menarik dananya keluar dari berbagai instrumen investasi, seperti saham dan obligasi, sebagaimana yang juga terjadi di Indonesia, menurut laporan tersebut.
"Sumber kerentanan yang penting bagi Indonesia terkait dengan potensi keluarnya hot money karena tingginya kepemilikan asing di pasar saham maupun obligasi," tulis Biswas.
Kepemilikan asing di obligasi negara berdenominasi rupiah mencapai sekitar 40% dengan 45% untuk obligasi korporasi. Asing juga memegang 61% dari kesleuruhan utang pemerintah secara umum, tambahnya.
[Gambas:Video CNBC]
Di lain pihak, perekonomian seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand relatif lebih tahan guncangan karena kuatnya fundamental ekonomi makro mereka dan tingginya cadangan devisa.
Namun, secara umum negara-negara Asia akan lebih mampu menghadapi tekanan global sebab perekonomian dalam negeri mereka sudah lebih baik bila dibandingkan lima tahun lalu, kata chief investment officer untuk Asia Pasifik di Deutsche Bank Wealth Management, Tuan Huynh.
(prm) Next Article Erdogan Sebut Bunga Tinggi 'Setan', Turki Krisis Mata Uang
Enam negara Asia tercatat dalam 20 lokasi asal impor terbesar Turki dengan China menduduki posisi puncak, IHS Markit menulis dalam laporannya hari Jumat (17/8/2018). Lima negara lainnya adalah Korea Selatan, India, Jepang, Malaysia, dan Vietnam.
"Krisis ekonomi Turki dan jatuhnya lira akan berdampak pada perdagangan bilateral karena biaya barang-barang impor akan naik tajam dalam nilai lira akibat dalamnya depresiasi mata uang tahun ini," kata Kepala Ekonom Asia Pasifik IHS Markit Rajiv Biswas, CNBC International melaporkan.
Lira telah kehilangan hampir 40% nilainya terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang 2018. Banyak pihak cemas depresiasi itu akan menular dan menyebabkan aksi jual di pasar mata uang dan saham, terutama bila otoritas Turki mengambil langkah capital control demi menahan laju pelemahan.
Aksi jual itu akan semakin meningkatkan risiko bagi negara-negara Asia Pasifik yang perdagangannya sedang melambat, kata Biswas, karena akan membuat investor menarik dananya dalam jumlah besar dari pasar-pasar negara berkembang.
India akan menjadi salah satu negara berkembang yang lebih rentan terhadap guncangan global, ujarnya.
Mata uang India, rupee, terdampak oleh aksi investor menarik dananya keluar dari berbagai instrumen investasi, seperti saham dan obligasi, sebagaimana yang juga terjadi di Indonesia, menurut laporan tersebut.
"Sumber kerentanan yang penting bagi Indonesia terkait dengan potensi keluarnya hot money karena tingginya kepemilikan asing di pasar saham maupun obligasi," tulis Biswas.
Kepemilikan asing di obligasi negara berdenominasi rupiah mencapai sekitar 40% dengan 45% untuk obligasi korporasi. Asing juga memegang 61% dari kesleuruhan utang pemerintah secara umum, tambahnya.
[Gambas:Video CNBC]
Di lain pihak, perekonomian seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand relatif lebih tahan guncangan karena kuatnya fundamental ekonomi makro mereka dan tingginya cadangan devisa.
Namun, secara umum negara-negara Asia akan lebih mampu menghadapi tekanan global sebab perekonomian dalam negeri mereka sudah lebih baik bila dibandingkan lima tahun lalu, kata chief investment officer untuk Asia Pasifik di Deutsche Bank Wealth Management, Tuan Huynh.
(prm) Next Article Erdogan Sebut Bunga Tinggi 'Setan', Turki Krisis Mata Uang
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular