Internasional

Siapa yang Untung dan Buntung dari Krisis Lira Turki?

Bernhart Farras, CNBC Indonesia
15 August 2018 18:20
Siapa yang Untung dan Buntung dari Krisis Lira Turki?
Foto: REUTERS/Murad Sezer
Jakarta, CNBC Indonesia - Keruntuhan mata uang Turki, lira, terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa hari terakhir memang telah mengguncang pasar global meskipun para ahli tidak mengharapkan hal ini akan memicu krisis selanjutnya.

Turki menyumbang kurang dari 1% ekonomi dunia dan eksposur global terhadap sektor perbankan Turki juga kecil, kata para ahli.

Perbankan Spanyol adalah yang paling terkena dampak dari apa yang terjadi dalam sistem keuangan Turki, tetapi mereka hanya memiliki 4,5% dari keseluruhan aset, menurut data Bank for International Settlements (BIS) dan JPMorgan Asset Management

"Angka-angka tidak membuat saya khawatir. Saya lebih berpikir itu terkait dengan sentimen," kata Sat Duhra, seorang manajer portofolio di Janus Henderson Investors, dilansir dari CNBC International hari Rabu (15/8/2018).

Apa yang terjadi di Turki, menurutnya, bagai menyiram bensin ke api yang telah berkobar di saat investor masih diliputi kecemasan akan meningkatnya perseteruan dagang global, kenaikan suku bunga AS, dan proyeksi pertumbuhan ekonomi China yang mendingin.

Lalu, siapakah pihak yang diuntungkan dan dirugikan dari krisis lira Turki? Negara-negara berkembang, yang juga merupakan kelompok Turki, telah menjadi korban terparah dari rontoknya bursa global baru-baru ini.

Investor telah menarik uang dari pasar negara berkembang karena takut negara lain, terutama negara dengan posisi finansial yang lemah, akan mengikuti jejak Turki. Penarikan itu juga berdampak buruk pada mata uang lainnya, seperti rupee India dan peso Argentina menyentuh level terlemah mereka terhadap dolar AS di awal pekan ini.

Tetapi ketakutan semacam itu masih belum jelas dasarnya, kata para ahli.

"Krisis Turki menimbulkan kekhawatiran tentang pasar negara-negara berkembang yang rapuh dan sama-sama memiliki defisit neraca berjalan yang lebih besar, seperti Brasil, Afrika Selatan, dan Argentina," menurut laporan Wells Fargo Investment Institute pada hari Selasa.

"Penting untuk diingat bahwa pasar negara-negara berkembang, secara keseluruhan, memiliki posisi keuangan yang jauh lebih kuat daripada 20 tahun lalu," tambahnya.

Meskipun mendapat paparan yang relatif terbatas terhadap sistem keuangan Turki, saham perbankan di AS, Eropa, dan Jepang juga ikut terpukul.

Bank-bank di Eropa seperti BBVA di Spanyol dan UniCredit di Italia, yang memiliki lini usaha di Turki, telah jatuh masing-masing 3.3% dan 4.6% minggu ini.

Perbankan Turki rentan dalam situasi saat ini karena perusahaan telah mengakumulasi tingkat utang dalam mata uang asing yang tinggi, yang makin sulit mereka bayar kembali mengingat lira yang kini lemah.

Total pinjaman dalam mata uang selain lira di negara itu telah meningkat menjadi lebih dari 50% dari produk domestik bruto (PDB) - dan banyak dari utang tersebut yang dimiliki perusahaan-perusahaan.

Investor cemas kerapuhan perbankan Turki akan menyebar ke bank-bank asing yang memiliki aset di negara itu.

"Titik lemah di seluruh perjalanan ini adalah sistem perbankan. Saya pikir sekarang, kita masih di posisi yang baik. Jika kita masih dalam situasi yang sama dalam sembilan hingga 12 bulan, saya pikir bank-bank di sini adalah titik terlemah," kata Nafez Zouk, kepala ekonom pasar berkembang di Oxford Economics, hari Rabu. Karena investor memindahkan uang mereka ke aset-aset safe haven, aset AS menjadi pilihan favorit mereka karena perekonomian Negeri Paman Sam yang kini lebih kuat dan suku bunganya yang lebih tinggi.

Masalah di Turki terjadi bertepatan dengan bank sentral AS Federal Reserve yang menjual obligasi negara dalam jumlah yang sangat besar. Permintaan dari investor telah membantu mengangkat indeks dolar AS, yang mengukur nilai greenback terhadap beberapa mata uang utama, lebih dari 4% tahun ini.


Penguatan dolar ini hanya akan menambah masalah yang dihadapi Turki dan pasar berkembang lainnya, kata David Dietze, pendiri, presiden, dan chief investment officer di Point View Wealth Management.

Meningkatnya suku bunga AS membuat utang berdenominasi dolar dari pasar negara-negara berkembang ini semakin sulit untuk dilunasi. Selain itu, para investor juga akan berduyun-duyun pindah ke aset dolar demi meraup keuntungan dari naiknya suku bunga AS, ujarnya hari Rabu.

Perseteruan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyusul penahanan pendeta AS dijadikan kesempatan oleh Turki untuk memperkuat hubungan dengan Uni Eropa (UE)

UE dan Turki telah lama berseteru tentang supremasi hukum dan kebebasan pers, tetapi blok ekonomi itu selalu berhati-hati dalam urusannya dengan Erdogan, berbeda dengan "sikap tidak stabil dan tidak menentu Trump", kata konsultan risiko politik Eurasia.

"Ketidakpopuleran Trump di Eropa membuat para pemimpin Uni Eropa sangat tidak mungkin untuk mendukung pendekatannya. Pejabat senior Uni Eropa menunjukkan 'kesamaan' bahwa EU dan Turki sekarang sama-sama berhadapan dengan AS terkait bea masuk, ancaman, dan banyak lagi, " ujarnya.

Turki sudah terlihat mendukung Uni Eropa dalam kritiknya terhadap AS.

Menteri Keuangan Turki Berat Albayrak memposting "tanggapan yang sangat positif" di Twitter atas kabar bahwa Menteri Ekonomi Jerman Peter Altmaier telah mengritik tarif baru Trump terhadap Turki.

"Ini menunjukkan hubungan UE-Turki kemungkinan akan terus mencair," kata Eurasia.
(prm) Next Article Mata Uang Negeri Erdogan Anjlok, Terlemah Sepanjang Sejarah!

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular