
Berharap Untung Malah Buntung, Ini Cerita Investor Saham AISA
Monica Wareza, CNBC Indonesia
27 July 2018 16:13

Jakarta, CNBC Indonesia - Para pemegang saham PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) memenuhi mainhall Bursa Efek Indonesia (BEI). Mereka beramai-ramai mendatangi Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) perusahaan karena ingin mendengar penjelasan manajemen terkait masa depan perseroan.
Salah satu pemegang saham AISA yang tak mau disebutkan namanya mengaku rugi cukup banyak di saham ini. Dirinya mengaku masuk di saham ini pada saat harag saham di level Rp 1.000-an dan terus bertahan hingga saat ini harga sahamnya di harga Rp 168 per saham.
"Setelah kasus beras itu saya masuk karena harga sahamnya jadi murah jadi masuk lumayan banyak. Tapi harganya turun terus, sudah pernah cut loss juga tapi tetap sekarang tidak bisa keluar karena sahamnya disuspensi," kata dia kepada CNBC Indonesia, Jumat (27/7).
Pemegang saham lainnya, yang juga tak mau dikutip namanya mengatakan telah membeli saham AISA sebanyak 200 lot beberapa bulan yang lalu. Tapi sekarang sahamnya justru terjun bebas ke harga saat ini.
"Padahal biasanya saya investasi sudah 10 tahun di saham bluechip. Tapi karena anak saya diajak masuk ke saham ini," kata dia di kesempatan yang sama.
Kedua investor ini meyakini bahwa secara fundamental kinerja perusahaan sangat bagus. Apalagi jenis barang yang diproduksi perusahaan berupa barang konsumen (fast moving consumer goods/FMCG) sangat laku di pasaran.
"Ini sepertinya karena kesalahan management makanya jadi seperti sekarang. Kalau nanti direkturnya diganti saya yakin kinerjanya akan kembali baik," kata dia.
Gagal Bayar
AISA pada awal Juli 2018 menyatakan bahwa pihaknya tidak mampu untuk membayar bunga obligasi dan sukuk ijarah TPS Food I yang jatuh tempo hari ini, Kamir 19 Juli 2018.
Total utang tersebut masing-masing senilai Rp 600 miliar dan Rp 300 miliar dengan tingkat suku bunga tetap 10,25% dan fee ijarah sebesar Rp 30,75 miliar per tahun. Jatuh tempo dari utang tersebut juga diperpanjang dari sebelumnya pada 5 April 2018 menjadi tanggal 5 April 2019.
Dalam skema sukuk ijarah tersebut, perseroan menjaminkan aset kedua anak usahanya yaitu PT Tiga Pilar Sejahtera (TPS) dan PT Poly Meditra Indonesia (PMI).
Selain kedua utang tersebut, perseroan juga memiliki utang suku ijarah TPS Food II senilai Rp 1,2 triliun. Utang tersebut juga jatuh tempo pada 5 April 2019 mendatang dengan fee ijarah sebesar Rp 126,6 miliar per tahun.
Sedangkan dalam skema sukuk ijarah II tersbeut, perseroan melakukan penjaminan aset anak usahnya yaitu PT Sukses Abadi Karya Inti (SAKTI).
Sementara itu, perseroan juga memiliki utang bank jangka pendek senilai Rp 2,19 triliun dalam buku laporan keuangan AISA 2017.
Utang bank jangka pendek tersebut diantaranya utang bank denominasi rupiah senilai Rp 2,17 triliun dengan utang terbesar berasal dari pinjaman sindikasi Rabobank Internasional senilai Rp 1,27 triliun. Lalu utang bank jangka pendek denominasi Dollar AS dengan Citi Bank senilai Rp 12,7 miliar.
Selain itu, pada buku tahun 2017 tersebut perseroan masih memiliki utang sewa pembiayaan berupa fasilitas sewa pembiayaan untuk pengadaan mesin pabrik, alat berat dan kendaraan dengan beberapa perusahaan sebesar Rp 105,75 miliar.
Namun, utang jangka panjang perseroan pada periode tersebut setelah dikurangi jatuh tempo dalam satu tahun sebesar Rp 578 juta atau turun signifikan dari utang jangka panjang pada 2016 sebesar Rp 189,75 miliar.
Utang-utang perseroan pada tahun buku 2017 jika dijumlahkan mencapai lebih dari Rp 4 triliun. Rasio jumlah utang perseroan pada 2017 juga sangat tinggi dengan aset AISA yang dimiliki pada 2017 yaitu sebesar Rp 8,72 triliun.
(hps) Next Article Ratusan Investor Ritel AISA Hadiri RUPS Tahunan
Salah satu pemegang saham AISA yang tak mau disebutkan namanya mengaku rugi cukup banyak di saham ini. Dirinya mengaku masuk di saham ini pada saat harag saham di level Rp 1.000-an dan terus bertahan hingga saat ini harga sahamnya di harga Rp 168 per saham.
"Setelah kasus beras itu saya masuk karena harga sahamnya jadi murah jadi masuk lumayan banyak. Tapi harganya turun terus, sudah pernah cut loss juga tapi tetap sekarang tidak bisa keluar karena sahamnya disuspensi," kata dia kepada CNBC Indonesia, Jumat (27/7).
"Padahal biasanya saya investasi sudah 10 tahun di saham bluechip. Tapi karena anak saya diajak masuk ke saham ini," kata dia di kesempatan yang sama.
Kedua investor ini meyakini bahwa secara fundamental kinerja perusahaan sangat bagus. Apalagi jenis barang yang diproduksi perusahaan berupa barang konsumen (fast moving consumer goods/FMCG) sangat laku di pasaran.
"Ini sepertinya karena kesalahan management makanya jadi seperti sekarang. Kalau nanti direkturnya diganti saya yakin kinerjanya akan kembali baik," kata dia.
Gagal Bayar
AISA pada awal Juli 2018 menyatakan bahwa pihaknya tidak mampu untuk membayar bunga obligasi dan sukuk ijarah TPS Food I yang jatuh tempo hari ini, Kamir 19 Juli 2018.
Total utang tersebut masing-masing senilai Rp 600 miliar dan Rp 300 miliar dengan tingkat suku bunga tetap 10,25% dan fee ijarah sebesar Rp 30,75 miliar per tahun. Jatuh tempo dari utang tersebut juga diperpanjang dari sebelumnya pada 5 April 2018 menjadi tanggal 5 April 2019.
Dalam skema sukuk ijarah tersebut, perseroan menjaminkan aset kedua anak usahanya yaitu PT Tiga Pilar Sejahtera (TPS) dan PT Poly Meditra Indonesia (PMI).
Selain kedua utang tersebut, perseroan juga memiliki utang suku ijarah TPS Food II senilai Rp 1,2 triliun. Utang tersebut juga jatuh tempo pada 5 April 2019 mendatang dengan fee ijarah sebesar Rp 126,6 miliar per tahun.
Sedangkan dalam skema sukuk ijarah II tersbeut, perseroan melakukan penjaminan aset anak usahnya yaitu PT Sukses Abadi Karya Inti (SAKTI).
Sementara itu, perseroan juga memiliki utang bank jangka pendek senilai Rp 2,19 triliun dalam buku laporan keuangan AISA 2017.
Utang bank jangka pendek tersebut diantaranya utang bank denominasi rupiah senilai Rp 2,17 triliun dengan utang terbesar berasal dari pinjaman sindikasi Rabobank Internasional senilai Rp 1,27 triliun. Lalu utang bank jangka pendek denominasi Dollar AS dengan Citi Bank senilai Rp 12,7 miliar.
Selain itu, pada buku tahun 2017 tersebut perseroan masih memiliki utang sewa pembiayaan berupa fasilitas sewa pembiayaan untuk pengadaan mesin pabrik, alat berat dan kendaraan dengan beberapa perusahaan sebesar Rp 105,75 miliar.
Namun, utang jangka panjang perseroan pada periode tersebut setelah dikurangi jatuh tempo dalam satu tahun sebesar Rp 578 juta atau turun signifikan dari utang jangka panjang pada 2016 sebesar Rp 189,75 miliar.
Utang-utang perseroan pada tahun buku 2017 jika dijumlahkan mencapai lebih dari Rp 4 triliun. Rasio jumlah utang perseroan pada 2017 juga sangat tinggi dengan aset AISA yang dimiliki pada 2017 yaitu sebesar Rp 8,72 triliun.
(hps) Next Article Ratusan Investor Ritel AISA Hadiri RUPS Tahunan
Most Popular