
Kenaikan Risiko Kredit Bermasalah Kembali Hantui Perbankan
Gita Rossiana, CNBC Indonesia
27 July 2018 11:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada periode 2015-2017, perbankan tanah air memasuki fase tiarap. Pertumbuhan kredit terus melambat yang menunjukkan perbankan mulai menahan kredit dan permintaan kredit melemah.
Dana pihak ketiga (DPK) juga mengalami fenomena yang sama. Bahkan pertumbuhan DPK lebih rendah ketimbang pertumbuhan kredit.
Pada 2015, pertumbuhan kredit tercatat 10,1% dan DPK 7,52. Pada 2016, pertumbuhan kredit 7,87% dan DPK 9,6%. Pada 2017 dengan pertumbuhan kredit 8,24% dan DPK 9,35%. Bahkan hingga Maret 2018 pun, kredit masih bertumbuh satu digit ke angka 8,5% dan DPK 7,65%.
Pada periode ini perbankan dihadapkan pada masalah kenaikan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) karena anjloknya harga komoditas dan pelemahan nilai tukar.
Pada saat itu, harga komoditas mulai menurun dari US$ 105/barel pada 2014 menjadi US$ 60,3/barel pada Juni 2015. NIlai tukar juga melemah dimana dolar AS sempat menyentuh Rp 14.500.
NPL yang pada 2015 mencapai 2,48% langsung melonjak 2,92% pada 2016. Bahkan, pada Januari 2017 mencapai 3,09%.
Kondisi yang sama kini kembali menghampiri perbankan. Kali ini penyebabnya, nilai tukar rupiah yang melemah karena perbaikan ekonomi AS. Nilai tukar rupiah pada Juli 2018 mencapai Rp 14.475/US$. Level tersebut hampir menyerupai level pelemahan rupiah pada September 2015 yang mencapai Rp 14.860/US$.
Ekonom dari PT. Bank Central Asia (BCA) Tbk David Sumual menjelaskan, perbankan saat ini memang menghadapi sisa-sisa warisan dari ekspansi ekspansi kredit yang masif pada 2012-2015. Pada saat itu, harga komoditas melambung.
"Saat komoditas booming pada 2012-2015, ekspansi kredit besar terjadi di komoditi dan commodity related, begitu juga dengan sektor perdagangan dan property. Sektor-sektor ini sekarang mulai melambat pertumbuhannya, jadi mulai macet,"ujar dia kepada CNBC Indonesia seperti dikutip, Kamis (26/7/2018).
Di sisi lain, Presiden Direktur PT. Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja juga mengungkapkan pelemahan rupiah yang terjadi saat ini bisa berpengaruh terhadap kualitas kredit perbankan. Pasalnya, pelemahan rupiah tersebut bisa berdampak pada kenaikan harga bahan baku dan barang impor.
Apabila kenaikan harga terjadi, maka produsen harus menyesuaikan harga supaya keuntungannya tidak turun. Di sinilah, daya beli menurun dan bisa berdampak pada kualitas kredit perbankan.
"Oleh karena itu, bank tidak boleh sembarangan lepas kredit untuk menjaga kualitas," terang dia.
(roy/roy) Next Article Beberapa Bank Punya NPL Di Atas 5%, Ada Apa?
Dana pihak ketiga (DPK) juga mengalami fenomena yang sama. Bahkan pertumbuhan DPK lebih rendah ketimbang pertumbuhan kredit.
Pada saat itu, harga komoditas mulai menurun dari US$ 105/barel pada 2014 menjadi US$ 60,3/barel pada Juni 2015. NIlai tukar juga melemah dimana dolar AS sempat menyentuh Rp 14.500.
NPL yang pada 2015 mencapai 2,48% langsung melonjak 2,92% pada 2016. Bahkan, pada Januari 2017 mencapai 3,09%.
Kondisi yang sama kini kembali menghampiri perbankan. Kali ini penyebabnya, nilai tukar rupiah yang melemah karena perbaikan ekonomi AS. Nilai tukar rupiah pada Juli 2018 mencapai Rp 14.475/US$. Level tersebut hampir menyerupai level pelemahan rupiah pada September 2015 yang mencapai Rp 14.860/US$.
Ekonom dari PT. Bank Central Asia (BCA) Tbk David Sumual menjelaskan, perbankan saat ini memang menghadapi sisa-sisa warisan dari ekspansi ekspansi kredit yang masif pada 2012-2015. Pada saat itu, harga komoditas melambung.
"Saat komoditas booming pada 2012-2015, ekspansi kredit besar terjadi di komoditi dan commodity related, begitu juga dengan sektor perdagangan dan property. Sektor-sektor ini sekarang mulai melambat pertumbuhannya, jadi mulai macet,"ujar dia kepada CNBC Indonesia seperti dikutip, Kamis (26/7/2018).
Di sisi lain, Presiden Direktur PT. Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja juga mengungkapkan pelemahan rupiah yang terjadi saat ini bisa berpengaruh terhadap kualitas kredit perbankan. Pasalnya, pelemahan rupiah tersebut bisa berdampak pada kenaikan harga bahan baku dan barang impor.
Apabila kenaikan harga terjadi, maka produsen harus menyesuaikan harga supaya keuntungannya tidak turun. Di sinilah, daya beli menurun dan bisa berdampak pada kualitas kredit perbankan.
"Oleh karena itu, bank tidak boleh sembarangan lepas kredit untuk menjaga kualitas," terang dia.
(roy/roy) Next Article Beberapa Bank Punya NPL Di Atas 5%, Ada Apa?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular