
Bos BCA Beberkan Risiko Perbankan Akibat Pelemahan Rupiah
Tito Bosnia, CNBC Indonesia
26 July 2018 20:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja mengatakan bank cenderung menahan diri dalam menyalurkan kredit pada saat likuiditas yang sedang menghantui perbankan nasional.
Salah satu risiko yang dihadapi perbankan adalan rasio deposito terhadap pinjaman yang berpotensi menyempit karena susah mendapatkan dana pihak ketiga.
"Secara umum yang saya lihat saat ini simple saja jadi tidak boleh asal kredit, jangan hanya lihat outstanding facility setiap nasabah tapi perlu juga menjaga likuditas agar terus terjaga," ujar Jahja di Hotel Kempinski, Kamis (26/7/18).
Menurut Jahja, yang penting bagi bank saat ini adalah menjada kualitas kredit yang baik agar kredit bermasalah tidak meningkat.
Selain itu, Jahja juga menyampaikan nilai tukar rupiah yang cenderung masih terdepresiasi. Menurutnya ini merupakan dampak dari kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) yang berencana menaikkan suku bunga acuan atau Fed Fund Rate sebanyak empat kali tahun ini.
Keputusan The Fed tersebut memicu investor memindahkan investasi mereka ke tempat yang memberikan imbal hasil yang lebih menguntungkan dan lenih terjamin. Ini yang membuat nilai mata uang dunia terhadap dolar AS.
"Investor cenderung memindahkan investasi mereka ke kurs yang memberikan imbal hasil lebih tinggi. Reminbi juga melemah sekian persen. Pound dan euaro melemah. Dan yen juga sempat menguat tapi melemah lagi," kata Jahja.
Merespons hal tersebut, sambung Jahja, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan yang tercatat sudah 100 bps di tahun ini. "BI pertama menaikkan 50 bps, kalau saat itu BI tidak menaikkan 50 bps, rupiah akan lari kemana-kemana dan cadev juga akan berkurang," tambah Jahja.
Menurut dia, pelemahan rupiah disusul dengan kenaikan suku bunga acuan (7 Days Repo Rate) BI menjadi buah simalakama bagi perbankan. Pasalnya, kenaikan suku bunga akan menahan kredit, tapi jika kebijakan BI tidak diikuti, maka rupiah akan lebih terdepresiasi.
"Hampir semua bahan baku itu barang impor, kalau ga dinaikkan harganya maka profit turun kan ditambah dengan trade war (perang dagang AS-China). Bukan tidak mungkin Dolar AS akan terus menguat kedepannya, suku bunga juga bisa naik 10-12%," pungkas Jahja.
(hps/dru) Next Article Kredit BCA Tumbuh 8,2% YoY Pada 2021
Salah satu risiko yang dihadapi perbankan adalan rasio deposito terhadap pinjaman yang berpotensi menyempit karena susah mendapatkan dana pihak ketiga.
"Secara umum yang saya lihat saat ini simple saja jadi tidak boleh asal kredit, jangan hanya lihat outstanding facility setiap nasabah tapi perlu juga menjaga likuditas agar terus terjaga," ujar Jahja di Hotel Kempinski, Kamis (26/7/18).
Selain itu, Jahja juga menyampaikan nilai tukar rupiah yang cenderung masih terdepresiasi. Menurutnya ini merupakan dampak dari kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) yang berencana menaikkan suku bunga acuan atau Fed Fund Rate sebanyak empat kali tahun ini.
Keputusan The Fed tersebut memicu investor memindahkan investasi mereka ke tempat yang memberikan imbal hasil yang lebih menguntungkan dan lenih terjamin. Ini yang membuat nilai mata uang dunia terhadap dolar AS.
"Investor cenderung memindahkan investasi mereka ke kurs yang memberikan imbal hasil lebih tinggi. Reminbi juga melemah sekian persen. Pound dan euaro melemah. Dan yen juga sempat menguat tapi melemah lagi," kata Jahja.
Merespons hal tersebut, sambung Jahja, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan yang tercatat sudah 100 bps di tahun ini. "BI pertama menaikkan 50 bps, kalau saat itu BI tidak menaikkan 50 bps, rupiah akan lari kemana-kemana dan cadev juga akan berkurang," tambah Jahja.
Menurut dia, pelemahan rupiah disusul dengan kenaikan suku bunga acuan (7 Days Repo Rate) BI menjadi buah simalakama bagi perbankan. Pasalnya, kenaikan suku bunga akan menahan kredit, tapi jika kebijakan BI tidak diikuti, maka rupiah akan lebih terdepresiasi.
"Hampir semua bahan baku itu barang impor, kalau ga dinaikkan harganya maka profit turun kan ditambah dengan trade war (perang dagang AS-China). Bukan tidak mungkin Dolar AS akan terus menguat kedepannya, suku bunga juga bisa naik 10-12%," pungkas Jahja.
(hps/dru) Next Article Kredit BCA Tumbuh 8,2% YoY Pada 2021
Most Popular