Di Ujung Dilema Agus Marto & Perjalanan 5 Tahun Sebagai BI-1

Herdaru Purnomo & Prima Wirayani, CNBC Indonesia
17 May 2018 08:02
Awal Masa Jabatan dan Melesatnya Bunga Acuan
Foto: Reuters
Tekanan dari berbagai pihak yang mendesak BI untuk menaikkan suku bunga di tengah anjloknya nilai tukar rupiah mewarnai RDG Bulanan terakhir kali ini yang dipimpin Agus Marto. Pada awal ketika Agus Marto memimpin RDG setelah dilantik, yakni pada 13 Juni 2013, secara mengejutkan Mantan Menteri Keuangan ini langsung ambil langkah untuk menaikkan bunga acuannya dari 5,75% menjadi 6%.

Agus Marto berpandangan kebijakan tersebut merupakan bagian dari bauran kebijakan Bank Indonesia untuk secara pre-emptive merespons meningkatnya ekspektasi inflasi serta memelihara kestabilan makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan di tengah ketidakpastian di pasar keuangan global.

Untuk menjangkar inflasi, Agus Marto dan tentunya Anggota Dewan Gubernur lainnya terus menaikkan bunga acuan dan menghapuskan era 'suku bunga rendah' yang ditempuh Darmin Nasution. Bahkan di Agustus 2013, Agus Marto menggelar dua kali RDG dalam sebulan, dan memutuskan menaikkan lagi bunga acuan tepatnya pada 29 Agustus 2013 setelah pada Juli BI Rate telah naik 50 bps.

Langkah hawkish Agus Marto bukan tanpa dasar. Suku bunga rendah tak berlaku baginya di tengah cepatnya dinamika perubahan perekonomian global dan nasional.

"Berlanjutnya ketidakpastian pengurangan bertahap (tapering) stimulus moneter oleh the Fed terus memberikan tekanan pada pasar keuangan di berbagai negara. Penarikan modal dan meningkatnya risiko investasi menyebabkan penurunan harga saham, meningkatnya yield obligasi, dan pelemahan nilai tukar di hampir seluruh negara emerging market, tidak terkecuali Indonesia," demikian hasil RDG ketika itu.

Jangan lupa, inflasi ketika itu melambung tinggi dan membuat BI menargetkan angka 9,0%-9,8% di akhir 2013.

Tatanan rambut rapi, wajah segar, dengan tubuh berbalut setelan jas dan dasi khas central banker adalah penampilan indentik Pria Kelahiran Amsterdam, Belanda ini. Bahkan pada pukul 2 dini hari setelah menghadiri rapat panjang dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018.

Setelah rapat yang berlangsung pada pertengahan tahun lalu itu, Agus masih sempat melayani pertanyaan wartawan sebelum memasuki mobilnya.

“Lho? Kalian masih di sini?” tanyanya pada wartawan yang menantikannya di luar ruang rapat di komplek Gedung DPR Senayan, Jakarta.

Ia pun dengan tenang menjawab pertanyaan para wartawan ketika itu.

Jauh sebelumnya, ketenangan yang sama juga ia tampilkan ketika menanggapi berondongan pertanyaan dari anggota dewan mengenai angka yang diajukan bank sentral terkait perkiraan pendapatan negara dari amnesti pajak yang berlangsung Juli 2016 hingga Maret 2017 lalu.

Dalam pembahasan rancangan undang-undang amnesti pajak, BI memperkirakan pemerintah dapat meraup Rp 53,4 triliun uang tebusan untuk periode pengampunan pajak Juli hingga Desember 2016. Nilai tersebut jauh lebih rendah dari target Rp 165 triliun uang tebusan yang ditetapkan pemerintah.

Agus berkukuh perhitungan lembaganya dapat dipertanggungjawabkan sebab perkiraan itu dibuat berdasarkan data Global Financial Integrity’s Illicit Financial Flows Report 2015. Laporan tersebut menggarisbawahi dana gelap warga negara Indonesia yang diduga disimpan di luar negeri dan mencapai nilai Rp 3.000 triliun.

Bank sentral memperkirakan hanya 60% dari dana tersebut yang akan dilaporkan dalam program pengampunan pajak menggunakan tarif tebusan antara 2% hingga 4% untuk periode tersebut.

Tidak sampai di situ, BI kemudian memangkas lagi target tersebut menjadi hanya Rp 21 triliun hingga akhir periode amnesti pajak bulan Maret 2017.

Ketika akhirnya realisasi uang tebusan amnesti pajak melampaui perkiraan bank sentral, Agus dengan ketenangan yang sama menjawab bahwa proyeksi BI adalah “base-line model” dan merupakan perkiraan yang konservatif.

Sikap keras dan tenangnya kembali ia tunjukkan ketika bank sentral menghadapi tekanan bertubi-tubi dari Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang menginginkan suku bunga pinjaman bank turun drastis menjadi di bawah 10% per tahun.

JK bahkan secara terbuka mengritik kebijakan moneter ketat bank sentral dalam acara Pertemuan Tahunan BI atau Bankers Dinner bulan November 2015.

Wakil presiden menyebut suku bunga perbankan yang masih tinggi menjadi salah satu penyebab Indonesia kalah bersaing dengan negara lain. Ia juga meminta bank sentral, yang sangat membanggakan independensinya, untuk lebih banyak berkoordinasi dengan pemerintah dalam pengambilan kebijakan.

“Kita tidak bisa masing-masing pihak menjalankan kebijakan secara independen karena diikat dalam undang-undang di mana Bank Indonesia harus mendengarkan pemerintah dalam kebijakannya dan pemerintah harus mendengarkan Bank Indonesia dalam menjalankan tugas-tugasnya,” kata JK.

BI, tambah wakil presiden, memang memiliki independensinya sendiri namun hal itu adalah “independen dalam musyawarah”, yang berarti pemerintah dan bank sentral perlu berkoordinasi dalam setiap keputusan yang diambil.

Tak gentar, sang Gubernur tetap dengan label independen dan dengan integritasnya mengatakan Tidak! untuk menurunkan bunga acuannya saat tersebut karena kondisi global yang belum bisa diajak 'kompromi'. Lantas langkah tersebut disebut-sebut membuat BI yang notabene memang seharusnya independen menjadi seperti 'susah diatur'. Hal ini lumrah terjadi, bahkan di dunia, mengingat kepemimpinan Gubernur Bank Sentral AS The Fed Janet Yellen (sebelum Jerome Powell) yang tak begitu disukai Presidennya Donald Trump.

Seperti Yellen, Agus Marto pun tetap bergeming dan berupaya menggambarkan kondisi stabilitas dalam negeri sambil berujar akan ada waktunya bunga acuan turun atau naik sekalian. Toh ketika itu seakan-akan percuma menurunkan bunga acuan karena BI Rate sebelum di-reformulasi menjadi 7 day RR tak menunjukkan kondisi ril dari pergerakan suku bunga bank.

Agus dalam acara yang sama menyatakan BI akan konsisten dan berhati-hati dalam menerapkan kebijakan moneternya agar inflasi berada di level yang sesuai target, defisit transaksi berjalan berada di level yang sehat, dan ekonomi tumbuh dengan stabil.

Bulan Desember 2015, BI mempertahankan suku bunga acuannya sebelum kemudian menurunkannya di bulan Januari, Februari, dan Maret 2016 masing-masing 25 basis poin.

BI mempertahankan suku bunga acuannya, BI Rate, tetap di 7,5% di masa ketika rupiah terpukul oleh penurunan nilai yuan oleh pemerintah China di pertengahan 2015. (dru/dru)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular