
Yield Obligasi Negara Naik Lagi, Tembus 6,8%
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 March 2018 11:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Imbal hasil (yield) obligasi negara masih dalam tren meningkat. Hari ini, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun menembus level 6,8%, tertinggi sejak Oktober 2017.
Pada Senin (12/3/2018), yield SBN 10 tahun tercatat di 6,849%. Naik dibandingkan posisi akhir pekan lalu di 6,798%. Yield hari ini merupakan yang tertinggi sejak 26 Oktober 2017.
Memasuki 2018, yield sebenarnya dalam tren menurun hingga 6,064% pada pertengahan Januari. Namun selepas itu, tren penurunan berganti dengan kenaikan dan mencapai puncaknya pada hari ini.
Kenaikan yield merupakan pertanda bahwa harga instrumen ini sedang turun. Harga SBN tenor 10 tahun sudah dalam tren menurun sejak awal tahun dan masih terjadi sampai sekarang.
Kenaikan yield dan penurunan harga tidak lepas dari minat investor yang sedang berkurang terhadap SBN. Ini terlihat dari penawaran dalam lelang SBN yang semakin turun dari waktu ke waktu. Sebagaimana hukum alam, produk yang kurang laku harganya memang cenderung turun.
Saat ini memang bukan periode yang mudah untuk menjual obligasi. Situasi pasar keuangan global yang masih penuh ketidakpastian membuat investor cenderung mencari selamat masing-masing dengan tidak mau bermain di aset yang dianggap berisiko.
Selain itu, hawa kenaikan suku bunga global mulai terasa. Bank sentral Amerika Serikat (AS) hampir pasti menaikkan suku bunga minimal tiga kali tahun ini. Sang saudara tua, yaitu Inggris, juga sudah tidak malu-malu menyebut kenaikan suku bunga acuan tahun ini akan lebih cepat dan lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya.
Ini membuat obligasi di negara-negara maju semakin menarik. Instrumen ini sudah dianggap sebagai aset yang paling aman, ditambah dengan bunga yang naik tentu semakin menarik minat pelaku pasar.
Selain itu, Indonesia juga menghadapi persaingan dengan negara-negara tetangga. Yield obligasi di Malaysia, Singapura, dan Thailand juga semakin menarik karena dalam tren naik.
Di Indonesia, yield obligasi 10 tahun memang berada di kisaran 6%. Sementara Malaysia menawarkan yield 3,857%, Singapura 2,119%, dan Thailand 2,320%.
Secara sekilas mungkin Indonesia masih menawarkan keuntungan. Namun secara riil ternyata keuntungannya tidak terlalu menarik.
Menurut data S&P Government Bond Index, tingkat keuntungan (return) obligasi pemerintah Indonesia secara year to date minus 0,66%. Sementara obligasi negara Thailand memberi return 0,13%, Singapura 0,27%, dan Malaysia 0,88%.
Apalagi inflasi di Indonesia juga relatif tinggi di antara negara-negara tersebut. Tahun ini, pemerintah memperkirakan laju inflasi sebesar 3,5%. Sedangkan di Singapura, Monetary Authority of Singapore memperkirakan laju inflasi 2018 sebesar 0,9%. Sementara di Malaysia dan Thailand, proyeksi laju inflasi 2018 adalah 2,5%.
Inflasi akan mengurangi keuntungan yang didapat investor. Oleh karena itu, inflasi memang musuh utama untuk instrumen obligasi.
Perkembangan yield dan harga obligasi memang di luar kendali pemerintah, karena lebih akibat gejolak eksternal. Apa yang bisa dilakukan pemerintah adalah mengantisipasi dampak dari kenaikan yield.
Setiap kenaikan yield akan menjadi beban bagi anggaran negara karena pemerintah harus menganggarkan lebih untuk pembayaran bunga utang. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah menggunakan yield Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan sebagai salah satu asumsi makro. APBN 2018 menetapkan asumsi yield SPN tiga bulan sebesar 5,2%.
Apabila dalam setahun rata-rata yield SPN tiga bulan 1% melebihi asumsi tersebut, maka pemerintah harus menanggung tambahan beban sebesar Rp 1,4-2,3 triliun. Ini karena pemerintah harus membayar bunga utang lebih dari apa yang sudah dianggarkan.
Ketika yield naik dan pembayaran utang juga berpotensi naik, maka pemerintah perlu bersiap dengan menambah penerimaan negara. Upaya peningkatan penerimaan negara, baik pajak maupun non pajak, perlu menjadi perhatian agar kesehatan fiskal Indonesia tetap terjaga.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/hps) Next Article Takut Jakarta 'Digembok' Kayak Manila, Investor Lepas SBN
Pada Senin (12/3/2018), yield SBN 10 tahun tercatat di 6,849%. Naik dibandingkan posisi akhir pekan lalu di 6,798%. Yield hari ini merupakan yang tertinggi sejak 26 Oktober 2017.
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Selain itu, hawa kenaikan suku bunga global mulai terasa. Bank sentral Amerika Serikat (AS) hampir pasti menaikkan suku bunga minimal tiga kali tahun ini. Sang saudara tua, yaitu Inggris, juga sudah tidak malu-malu menyebut kenaikan suku bunga acuan tahun ini akan lebih cepat dan lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya.
Ini membuat obligasi di negara-negara maju semakin menarik. Instrumen ini sudah dianggap sebagai aset yang paling aman, ditambah dengan bunga yang naik tentu semakin menarik minat pelaku pasar.
Selain itu, Indonesia juga menghadapi persaingan dengan negara-negara tetangga. Yield obligasi di Malaysia, Singapura, dan Thailand juga semakin menarik karena dalam tren naik.
![]() |
Secara sekilas mungkin Indonesia masih menawarkan keuntungan. Namun secara riil ternyata keuntungannya tidak terlalu menarik.
Menurut data S&P Government Bond Index, tingkat keuntungan (return) obligasi pemerintah Indonesia secara year to date minus 0,66%. Sementara obligasi negara Thailand memberi return 0,13%, Singapura 0,27%, dan Malaysia 0,88%.
Apalagi inflasi di Indonesia juga relatif tinggi di antara negara-negara tersebut. Tahun ini, pemerintah memperkirakan laju inflasi sebesar 3,5%. Sedangkan di Singapura, Monetary Authority of Singapore memperkirakan laju inflasi 2018 sebesar 0,9%. Sementara di Malaysia dan Thailand, proyeksi laju inflasi 2018 adalah 2,5%.
Inflasi akan mengurangi keuntungan yang didapat investor. Oleh karena itu, inflasi memang musuh utama untuk instrumen obligasi.
Perkembangan yield dan harga obligasi memang di luar kendali pemerintah, karena lebih akibat gejolak eksternal. Apa yang bisa dilakukan pemerintah adalah mengantisipasi dampak dari kenaikan yield.
Setiap kenaikan yield akan menjadi beban bagi anggaran negara karena pemerintah harus menganggarkan lebih untuk pembayaran bunga utang. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah menggunakan yield Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan sebagai salah satu asumsi makro. APBN 2018 menetapkan asumsi yield SPN tiga bulan sebesar 5,2%.
Apabila dalam setahun rata-rata yield SPN tiga bulan 1% melebihi asumsi tersebut, maka pemerintah harus menanggung tambahan beban sebesar Rp 1,4-2,3 triliun. Ini karena pemerintah harus membayar bunga utang lebih dari apa yang sudah dianggarkan.
Ketika yield naik dan pembayaran utang juga berpotensi naik, maka pemerintah perlu bersiap dengan menambah penerimaan negara. Upaya peningkatan penerimaan negara, baik pajak maupun non pajak, perlu menjadi perhatian agar kesehatan fiskal Indonesia tetap terjaga.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/hps) Next Article Takut Jakarta 'Digembok' Kayak Manila, Investor Lepas SBN
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular