
Pembatasan Harga Batu Bara Buat Sektor Tambang Berdarah-darah
Monica Wareza, CNBC Indonesia
09 March 2018 08:09

Jakarta, CNBC Indonesia - Pembatasan harga batu bara untuk penjualan dalam negeri (domestic market obligations/ DMO) sepenuhnya membuat pelaku pasar cemas dan bergegas menjual portofolionya pada sektor pertambangan, khususnya batu bara. Hal ini membuat sektor ini mengalami koreksi dalam dua hari terakhir.
Setelah beredarnya rancangan PP 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang dalam pasal 85A mengatur penetapan harga batu bara pada Rabu (7/3/2018), sektor pertambangan ditutup dengan pelemahan terdalam mencapai 3,56% dalam kurun waktu satu hari.
Pelemahan ini berlanjut pada perdagangan hari kemarin akibat sentimen negatif tersebut. Sektor pertambangan kembali menjadi satu-satunya sektor yang terkena aksi jual oleh pelaku pasar dengan koreksi sebesar 0,34%.
Beberapa saham yang terkena dampaknya seperti PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Darma Henwa Tbk (DEWA), PT Bumi Resources Tbk (BUMI), dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
Analis Kresna Sekuritas Robertus Yanuar Hardi mengatakan aksi jual yang dilakukan oleh pelaku pasar merupakan bentuk panic selling semata. Pasalnya, menurut dia, penetapan harga batu bara ini justru tak membahayakan bagi emiten pertambangan batu bara.
"Overall menurut saya skema DMO US$70 tidak membahayakan bagi emiten. Skema ini cukup fair. Sesuai perkiraan," kata Robertus kepada CNBC Indonesia, Jumat (9/3).
Menurut dia, emiten masih bisa mendapatkan keuntungan dari harga jual 75% hasil produksi lainnya karena pemerintah hanya membatasi pejualan untuk dalam negeri hanya sebesar 25%. Selain itu, dia juga menyebutkan bahwa banyak emiten yang bahkan menjual produknya dengan harga di bawah US$ 70, khususnya untuk kalori rendah 3.000 kcal/kg/4.000 kcal/kg.
Satu-satunya emiten yang akan terdampak adalah emiten dengan produksi batu bara kalo tinggi (kalori 6500-7000, diatas HBA). Karena emiten tersebut harus mengelurkan biaya penambangan yang lebih tinggi dibanding dengan batu bara dengan kalori lebih rendah.
"Karena sebenarnya semakin tinggi nilai kalori, semakin tinggi juga biaya untuk menambangnya, karena harus gali lebih dalam, stripping ratio lebih tinggi, dan lain-lain. Jadi ada kemungkinan penambang yang menghasilkan batu bara kalori tinggi, ongkos produksinya akan semakin mendekati US$ 70," jelas dia.
(prm) Next Article BUMA Raih Kontrak Baru Senilai Rp 7 T
Setelah beredarnya rancangan PP 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang dalam pasal 85A mengatur penetapan harga batu bara pada Rabu (7/3/2018), sektor pertambangan ditutup dengan pelemahan terdalam mencapai 3,56% dalam kurun waktu satu hari.
Pelemahan ini berlanjut pada perdagangan hari kemarin akibat sentimen negatif tersebut. Sektor pertambangan kembali menjadi satu-satunya sektor yang terkena aksi jual oleh pelaku pasar dengan koreksi sebesar 0,34%.
Analis Kresna Sekuritas Robertus Yanuar Hardi mengatakan aksi jual yang dilakukan oleh pelaku pasar merupakan bentuk panic selling semata. Pasalnya, menurut dia, penetapan harga batu bara ini justru tak membahayakan bagi emiten pertambangan batu bara.
"Overall menurut saya skema DMO US$70 tidak membahayakan bagi emiten. Skema ini cukup fair. Sesuai perkiraan," kata Robertus kepada CNBC Indonesia, Jumat (9/3).
Menurut dia, emiten masih bisa mendapatkan keuntungan dari harga jual 75% hasil produksi lainnya karena pemerintah hanya membatasi pejualan untuk dalam negeri hanya sebesar 25%. Selain itu, dia juga menyebutkan bahwa banyak emiten yang bahkan menjual produknya dengan harga di bawah US$ 70, khususnya untuk kalori rendah 3.000 kcal/kg/4.000 kcal/kg.
Satu-satunya emiten yang akan terdampak adalah emiten dengan produksi batu bara kalo tinggi (kalori 6500-7000, diatas HBA). Karena emiten tersebut harus mengelurkan biaya penambangan yang lebih tinggi dibanding dengan batu bara dengan kalori lebih rendah.
"Karena sebenarnya semakin tinggi nilai kalori, semakin tinggi juga biaya untuk menambangnya, karena harus gali lebih dalam, stripping ratio lebih tinggi, dan lain-lain. Jadi ada kemungkinan penambang yang menghasilkan batu bara kalori tinggi, ongkos produksinya akan semakin mendekati US$ 70," jelas dia.
(prm) Next Article BUMA Raih Kontrak Baru Senilai Rp 7 T
Most Popular