
Mirisnya Upah Pengrajin Tenun di Kalimantan
Arina Yulistara, CNBC Indonesia
01 February 2018 19:55

Jakarta, CNBC Indonesia- Pendapatan masyarakat di daerah memiliki perbedaan yang signifikan dengan penduduk kota besar. Hal tersebut diungkap oleh desainer hijab Vivi Zubedi.
Vivi Zubedi bercerita saat melakukan perjalanan ke Kalimantan Selatan untuk membeli kain yang akan dibawa ke New York Fashion Week (NYFW) Fall/Winter 2018 pada Februari ini, ia menyempatkan diri bertandang ke beberapa desa di kawasan Kalimantan Selatan.
Namun saat bertemu dengan pengrajin kain, desainer berdarah Arab itu mengaku miris melihat kehidupan para pengrajin yang ditemuinya.
Ia baru mengetahui kalau tenun menjadi salah satu tombak ekonomi masyarakat di Kalimantan Selatan. Untuk selembar kain tenun yang diolah menggunakan tangan harganya sekitar Rp 200 ribu hingga jutaan rupiah tergantung kerumitan pembuatannya.
Meski demikian, Vivi Zubedi merasa harga tersebut sangat berbanding terbalik dengan upah yang diberikan para ‘penjual’ kain tenun kepada pengrajinnya. Bahkan saat salah satu pengrajin ditemui oleh Vivi, ia mengaku diupah Rp 500 dalam proses pembuatan tenun. Ia bertugas untuk membuka untaian benang saat mencetak motif tenun.
“Di sana persaingannya ketat, pengrajin dengan upah semakin murah semakin dipakai oleh ‘juragan’ (penjual atau distributor). Bahkan ada yang hanya diupah Rp 500 untuk buka benang satu kain tenun panjang, ada juga yang Rp 1.000 upahnya,” cerita Vivi Zubedi, Rabu (31/1/2018)
Desainer lulusan Universitas Negeri Sumatera Utara itu menuturkan kalau upah tersebut tidak berlaku untuk semua pengrajin. Beberapa pengrajin ada yang mendapat upah Rp 15 ribu untuk satu kain.
Penasaran, Vivi pun sempat bertanya-tanya kepada pihak penjual. Vivi mendapat informasi kalau upah pengrajin di Kalimantan Selatan memang tidak sama rata. Tak ada standar upah minimum yang ditentukan untuk para pengrajin. Mereka berlomba-lomba menjadi yang termurah agar bisa bekerja. Akan tetapi, jika pengrajin bertemu dengan pihak penjual atau distributor tenun yang memperhatikan kebutuhan pengrajinnya maka upah yang diberikan tidak kecil. Bahkan ada penjual yang sengaja memberikan rumah untuk para pengrajinnya.
“Mereka upahnya beda-beda, ada ‘juragan’ yang sudah menyejahterakan pengrajinnya, ada yang belum. Saya berharap pemerintah melihat ini agar bisa membantu menentukan upah minimum para pengrajin di sana,” ujar Vivi.
----
(gus/gus) Next Article Desainer Ini Bawa Kain Kalimantan ke New York Fashion Week
Vivi Zubedi bercerita saat melakukan perjalanan ke Kalimantan Selatan untuk membeli kain yang akan dibawa ke New York Fashion Week (NYFW) Fall/Winter 2018 pada Februari ini, ia menyempatkan diri bertandang ke beberapa desa di kawasan Kalimantan Selatan.
Ia baru mengetahui kalau tenun menjadi salah satu tombak ekonomi masyarakat di Kalimantan Selatan. Untuk selembar kain tenun yang diolah menggunakan tangan harganya sekitar Rp 200 ribu hingga jutaan rupiah tergantung kerumitan pembuatannya.
Meski demikian, Vivi Zubedi merasa harga tersebut sangat berbanding terbalik dengan upah yang diberikan para ‘penjual’ kain tenun kepada pengrajinnya. Bahkan saat salah satu pengrajin ditemui oleh Vivi, ia mengaku diupah Rp 500 dalam proses pembuatan tenun. Ia bertugas untuk membuka untaian benang saat mencetak motif tenun.
“Di sana persaingannya ketat, pengrajin dengan upah semakin murah semakin dipakai oleh ‘juragan’ (penjual atau distributor). Bahkan ada yang hanya diupah Rp 500 untuk buka benang satu kain tenun panjang, ada juga yang Rp 1.000 upahnya,” cerita Vivi Zubedi, Rabu (31/1/2018)
Desainer lulusan Universitas Negeri Sumatera Utara itu menuturkan kalau upah tersebut tidak berlaku untuk semua pengrajin. Beberapa pengrajin ada yang mendapat upah Rp 15 ribu untuk satu kain.
Penasaran, Vivi pun sempat bertanya-tanya kepada pihak penjual. Vivi mendapat informasi kalau upah pengrajin di Kalimantan Selatan memang tidak sama rata. Tak ada standar upah minimum yang ditentukan untuk para pengrajin. Mereka berlomba-lomba menjadi yang termurah agar bisa bekerja. Akan tetapi, jika pengrajin bertemu dengan pihak penjual atau distributor tenun yang memperhatikan kebutuhan pengrajinnya maka upah yang diberikan tidak kecil. Bahkan ada penjual yang sengaja memberikan rumah untuk para pengrajinnya.
“Mereka upahnya beda-beda, ada ‘juragan’ yang sudah menyejahterakan pengrajinnya, ada yang belum. Saya berharap pemerintah melihat ini agar bisa membantu menentukan upah minimum para pengrajin di sana,” ujar Vivi.
----
(gus/gus) Next Article Desainer Ini Bawa Kain Kalimantan ke New York Fashion Week
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular