
Cara Memulai Urban Farming, Bisnis Berkebun Kekinian

Jakarta, CNBC Indonesia- Urban farming atau berkebun di tengah perkotaan kian diminati masyarakat modern. Menanam pohon dengan memanfaatkan lahan pekarangan sempit seperti di rumah atau perkantoran tak hanya menjadi tren gaya hidup tapi juga peluang bisnis.
Salah satu penggiat urban farming, Jeanny Budiman, mengatakan sudah tertarik berkebun sejak lama. Jianny bergabung dengan komunitas Subur Plus untuk mendapat pengetahuan lebih banyak mengenai cara menanam pohon. Dari situ ia belajar bagaimana membuat bokasi (tanah subur) dan air subur.
Saat sudah piawai dalam membuat bokashi dan air subur, peluang bisnis muncul dari situ. "Awalnya saya suka tanam pohon buah di pekarangan rumah. Tapi saya beli pupuk kok rasanya belum ada yang pas dan optimal, nah saya gabung dengan Subur Plus, belajar dari sana. Saya bisa bikin air subur dan bokashi. Di 2017 baru sharing sama orang cuma lewat Facebook. Eh ada yang tertarik, akhirnya dari mulut ke mulut sampai ada yang konsisten beli. Tapi untuk tanaman saya nggak jual cuma buat pribadi," jelas Jianny saat berbincang dengan CNBC Indonesia di bazaar The Local Market, Le Maison Barito, Jumat (2/3/2018).
Menurut wanita 50 tahun itu, untuk memulai bisnis urban farming tidak perlu tanah yang luas dan modalnya sangat minim. Cukup membeli pupuk kandang dengan harga sekitar Rp 11 ribu per kantong dan mengumpulkan sampah rumah tangga demi menyuburkan tanaman.
Sampah rumah tangga berguna untuk membuat bokashi (tanah subur). Ia giat membuat bokasi dan air subur yang berasal dari fermentasi kelapa. Sementara bokasi dibuat dari sampah organik rumah tangga seperti kulit telor, kopi, kulit pisang, hingga dedaunan kering.
"Saya lihat banyak sampah-sampah dibuang orang, tapi di mata saya itu seperti berlian atau emas lalu saya ambil untuk jadi bokasi yang diendapkan selama 21 hari. Meski baunya luar biasa tapi nanti akhirnya bisa menjadi tanah yang subur," tambah ibu rumah tangga itu.
Setelah bisa membuat tanah yang subur baru kemudian tentukan tanaman yang akan dikembangkan. Pohon sayur-sayuran seperti cabai atau terong sangat mudah ditanam hanya dengan menaburkan bijinya di atas tanah subur serta pastikan mendapat sinar matahari.
Jianny pun mengingatkan, ketika ingin mencoba urban farming dan berpikir menjadikannya bisnis yang penting diutamakan adalah interest sehingga menimbulkan rasa penasaran. Lalu cari berbagai informasi mengenai urban farming. Dan yang terpenting adalah gabung dengan komunitas.
"Pertama interest terus cari informasi dan punya komunitas jadi kita bisa exchange ide baru. Kalau nggak ada komunitas yakin deh dia nggak bisa berkembang karena bisa ketinggalan trennya, inovasinya," saran ibu dua anak itu.
Di akhir kata, Jianny mengatakan ia kini merasa lebih bahagia setelah bisa urban farming. Meski secara bisnis belum kelihatan keuntungannya namun ia senang bisa mengembangkan kebun sendiri serta berbagi dengan orang lain. Ia juga senang karena bisa memanfaatkan sampah dengan baik.
Jianny juga sempat bercerita kalau ia merasa sampah tidak melulu menjadi kotoran dan dibuang tapi bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan pemasukan. Ia pun menilai sampah-sampah di kota Jakarta misalnya area Monas sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk membuat pupuk yang kemudian menjadi bisnis dan mendatangkan keuntungan.
"Sebenarnya banyak yang bisa dimanfaatkan seperti di Monas. Sampah Monas banyak ya dan semua dibuang di Bantar Gebang padahal bisa dibuat jadi pupuk. Monas kan punya kotoran rusa dan daun kering itu seharusnya bisa menjadi maksimum. Nantinya bisa mendatangkan income tapi sayang mereka tak lakukan," tambahnya sebelum menutup perbincangan.
(gus/gus) Next Article Modal Rp 2,9 Juta Jadi Rp 14 M, Pria Ini Tajir Lewat Celana!