Heboh PHK Karyawan, Benarkah Terjadi Bubble Burst Startup?

Intan Rakhmayanti Dewi, CNBC Indonesia
30 May 2022 15:55
Akselerator Y Combinator
Foto: dok Y Combinator

Jakarta, CNBC Indonesia - Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sedang terjadi di industri perusahaan rintisan (startup). Fenomena ini banyak dikaitkan dengan bubble burst.

Mengenai hal ini, Rudiantara selaku Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Fintech Indonesia Rudiantara, menyebut yang terjadi saat ini bukan bubble burst. Kejadian seperti ini bukan suatu guncangan luar biasa seperti yang terjadi kepada industri internet pada era 1990-an, yang dikenal sebagai dotcom bubble.

"Bukan seperti internet yang jadi bubble burst pada masa yang lalu, kalau ada letupan di sana sini itu adalah sesuatu yang wajar," ujarnya dalam program Profit di CNBC Indonesia, Senin (30/5/2022).

Startup, ia sebut seperti bisnis pada umumnya, yaitu tidak semuanya bisa sukses. Menurutnya ada sekitar 10 persen startup digital yang tidak bisa melewati tahun pertama, sedangkan 90 persen lainnya tidak bisa melewati 5 tahun selanjutnya.

Angka 10 persen yang berhasil melewati 5 tahun itu, sudah dianggap cukup bagus baginya. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 5-6 tahun yang lalu, yang angkanya hanya 5 persen. Itu juga belum ada jaminan kalau startup yang bisa melewati 5 tahun pertama nya bisa menjadi sukses.

"Jadi sesuatu yang biasa, bedanya ini baru, eksposur media banyak, jadi ekspektasinya banyak, jadi kayak wahhh ini ada sesuatu yang luar biasa, padahal ya biasa-biasa saja," terangnya.

Bubble atau gelembung adalah siklus ekonomi yang ditandai dengan eskalasi cepat nilai pasar, terutama pada harga aset. Inflasi yang cepat ini diikuti oleh penurunan nilai yang cepat atau kontraksi, yang kadang-kadang disebut sebagai ledakan gelembung atau bubble burst, demikian dikutip dari Investopedia.

Gelembung ekonomi ini terjadi setiap kali harga barang naik jauh di atas nilai riil barang tersebut. Dalam hal ini, harga saham startup melambung tinggi, sesuai dengan valuasi investor atas tiap perusahaan.

Menurut CEO Mandiri Capital, Eddi Danusaputro, valuasi yang ada pada startup dinilai terlalu berlebihan.

"Bubble dari sisi apa? Dari sisi valuation, saya enggak mau nyebut bubble burst atau apa tapi lebih kepada dari kacamata kita para investor," ujarnya.

Bubble di pasar ekuitas dan ekonomi menyebabkan sumber daya ditransfer ke area dengan pertumbuhan cepat. Di akhir gelembung, sumber daya ditarik juga dengan cepat sehingga nilai aset-aset yang menggelembung juga anjlok.

Eddi menilai dalam beberapa tahun terakhir, valuasi yang terjadi memang agak tinggi. Dengan adanya liquidity crunch, valuasi startup semestinya lebih masuk akal. Efisiensi yang terjadi di banyak startup saat ini, menurutnya, adalah sesuatu yang positif.

"Karena buat kami para investor terutama, yang punya dana nganggur, punya ready cash, berarti kami bisa investasi ke perusahaan yang valuasinya lebih masuk akal, dan untuk long term itu lebih sehat untuk startup-nya," tuturnya.

Bagi Eddi, saat ini yang menjadi sorotan bukan seberapa lagi besar valuasi, melainkan value dari startup itu sendiri. Jadi, penurunan valuasi yang terjadi di industri startup saat ini menurutnya adalah hal yang positif.

"Sekarang the name of the game bukan lagi valuation, tapi value. Value is more important than valuation. Jadi sekarang mantra nya adalah value over valuation," pungkas Eddi.


(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ancaman PHK Menanti, Kerja di Startup Masih Menjanjikan?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular