Semua Hal yang Dihitung BI Sebelum Luncurkan Rupiah Digital

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
11 December 2021 08:45
Infografis: RI Bakal Punya Uang Digital, Namanya Digital Rupiah
Foto: Infografis/RI Bakal Punya Uang Digital, Namanya Digital Rupiah/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Negara anggota G20 memasukkan isu mengenai Central Bank Digital Currency (CBDC) untuk dibahas lebih lanjut pada level working group dan high level Presidensi G20 tahun 2022.

Hingga akhir pertemuan tingkat deputi Kementerian Keuangan dan Bank Sentral atau Finance and Central Bank Deputies Meeting (FCBD) di Nusa Dua Bali pada 10 Desember 2021, masih terus memperhitungkan keuntungan dan kerugian jika CBDC ini diterbitkan.

Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menjelaskan CBDC merupakan hasil dari kondisi yang tidak bisa terhindarkan, karena saat ini sudah mulai banyak nata uang yang didesain dalam bentuk digital.

Dalam FCBD G20 tersebut, kata Doddy ada dua permasalahan terkait CBDC yang dikenal di Indonesia sebagai 'rupiah digital', yakni mau dirilis oleh bank sentral sebagaimana dengan mata uang dalam bentuk cetak atau diterbitkan atau dirilis oleh sektor private atau swasta.


Kondisi saat ini, CBDC lebih banyak berkembang dikeluarkan oleh sektor swasta, misalnya saja bitcoin, stable coin, dan sebagainya. Tentu dari sisi bank sentral menginginkan CBDC terbit oleh bank sentral.

Kendati demikian, seluruh bank sentral negara G20, kata Dody masih terus mempertimbangkan dan menilai untung dan rugi jika CBDC ini terbit.

"Dari sisi manfaat, akan membuat pergerakannya menjadi lebih cepat, flowing juga menjadi lebih efisien, bahkan tidak mengenal adanya biaya cetak," jelas Dody saat video conference dengan awak media di Bali, dikutip Sabtu (11/12/2021).

"Hanya saja, cost dari sisi makro financial atau risk CBDC harus kita timbang. Karena CBDC ini sangat cepat mempengaruhi kecepatan dari stock uang yang beredar di masyarakat. Kalau tanpa ada monitoring yang ketat, tidak ada pencatatan, tidak ada yang tahu," kata Dody melanjutkan

Oleh karena itu, BI berpandangan bahwa penerbitan dan alur transaksi CBDC ini harus di dalam kendali bank sentral. Karena kalau di luar pengawasan bank sentral, akan semakin sulit bagi bank sentral untuk melihat alur transaksi penerbitan CBDC.

Dampaknya, jika CBDC tak di bawah pengawasan bank sentral, maka ujungnya kepada dampak likuiditas CBDC itu kepada harga dan kenaikan inflasi.

"Karena memungkinkan konsumsi masyarakat, kegiatan masyarakat, investasi dilakukan tanpa diketahui seberapa besar likuiditas," tuturnya.

Hal lain yang juga dikhawatirkan bank sentral dalam penerbitan CBDC adalah adanya risiko efektivitas kebijakan. Ditambah juga dari dampak risiko sektor keuangan.

BI khawatir akan muncul lending dari perbankan yang tidak tercatat, sehingga terjadi shadow banking.

"Ingat, kejadian di Tiongkok, dimana sebagian besar transaksi itu karena kegiatan yang dilakukan elektronik digital banking. Itu hal-hal yang kita terus lihat," jelas Dody.

Seluruh bank sentral juga sampai saat ini belum memiliki target kapan CBDC ini bisa diterbitkan, karena belum ada kesepakatan dan standarisasi seperti apa CBDC yang bisa disepakati oleh seluruh negara. Karena diharapkan CBDC bisa digunakan sebagai transaksi antar negara atau cross border.

"Intinya kalau CBDC ini ada harusnya interlink cross border, memungkinkan lebih mudah transaksi antar negara dengan cepat dan murah."

"Murah menjadi penting, kalau tidak ada standarisasi tentunya muncul biaya yang akan terjadi kalau adanya transaksi lintas batas," jelas Dody.


(cap/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ramai Kabar Rupiah Digital, Uang Logam & Kertas Nasibnya?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular