Seculas Apa Google, Facebook Cs Sampai Bakal Kena Pajak 15%?

Hidayat Setiaji & Roy Franedya, CNBC Indonesia
07 June 2021 11:30
Ilustrasi Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir pekan lalu, para menteri keuangan negara G7 sepakat untuk memberlakukan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dengan tarif minimal 15%. Meski judulnya PPh Badan, tetapi kebijakan ini sepertinya lebih menyasar para raksasa teknologi.

"Menteri keuangan negara-negara G7 telah mencapai kesepakatan historis untuk mereformasi sistem perpajakan global agar bisa mengikuti perkembangan dunia era digital," kata Rishi Sunak, Menteri Keuangan Inggris, dalam jumpa pers usai pertemuan G7 di London, seperti dikutip dari Reuters.

"Ini adalah kesepakatan yang signifikan dan akan mengakhiri praktik race to bottom (pengenaan tarif pajak serendah-rendahnya) dalam aspek perpajakan global," tambah Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen.

"Ini adalah kabar buruk buat para tax haven ('surga' pajak) di seluruh dunia," tegas Olaf Scholz, Menteri Keuangan Jerman.

Pada era di mana internet 'mendikte' kehidupan manusia, perusahaan teknologi adalah 'raja'. Mereka mendapatkan keuntungan luar biasa karena miliaran warga dunia bergantung kepada mereka untuk kebutuhan sehari-hari, mulai dari berbelanja, mencari hiburan, sampai membantu tugas sekolah atau kantor.

Apalagi pada masa pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Peranan perusahaan teknologi menjadi lebih vital karena segala sesuatu harus dilakukan #dirumahaja. Bekerja dan belajar dari rumah. Ini membuat pendapatan perusahaan teknologi membumbung tinggi kala sektor usaha lain 'berdarah-darah'.

Misalnya Google. Pada 2020, total pendapatan Alphabet (induk usaha Google) tercatat US$ 182,53 miliar, naik 12,77% dibandingkan tahun sebelumnya.

Kemudian Facebook. Tahun lalu, perusahaan besutan Mark Zuckerberg itu meraup total pendapatan US$ 85,96 miliar, melesat 21,6% dari 2019.

Halaman Selanjutnya --> Google Cs Alihkan Keuntungan ke Tax Haven

Meski untung besar, tetapi kontribusi perusahaan-perusahaan teknologi terhadap setoran pajak boleh dibilang minim. Menurut kajian Fair Tax Mark, organisasi think-tank asal Inggris, enam perusahaan terbesar di Silicon Valley (Facebook, Apple, Amazon, Netflix, Google, Microsoft) membukukan kurang bayar pajak alias tax gap senilai US$ 100,2 miliar dalam satu dekade terakhir.

"Pajak yang dibayarkan perusahaan-perusahaan ini US$ 100 miliar lebih rendah dari yang semestinya. Banyak pendapatan mereka yang tidak dipajaki dan bisa merugikan perusahaan lokal. Laba perusahaan dialihkan (profit shifting) ke negara-negara tax havens seperti Bermuda, Irlandia, Luksemburg, dan Belanda," sebut laporan Fair Tax Mark yang diterbitkan pada akhir 2019.

Berdasarkan catatan Pricewaterhouse Coopers (PwC), Bermuda tidak mengenakan pajak untuk pendapatan, laba, dividen, sampai capital gain. Bermuda juga tidak mengatur soal bagaimana perusahaan harus membagikan dividen.

"Pemerintah Bermuda secara rutin memberikan keringanan berupa sertifikat kepastian pajak (Tax Assurance Certificate). Dokumen ini memberi jaminan bahwa perubahan kebijakan dari parlemen tidak akan mempengaruhi perusahaan. Saat ini, jaminan itu diperpanjang sampai 31 Maret 2035," tulis dokumen PwC.

Bandingkan dengan PPh Badan di AS, misalnya. Kala pemerintahan Donald Trump, tarif PPh Badan adalah 21% dan Presien Joseph 'Joe' Biden mengusulkan kenaikan ke 28%.

Mengutip laporan Kamar Dagang dan Industri Belanda, pada 2017 Google melakukan profit shifting sebesar EUR 19,9 miliar melalui perusahaan cangkang (shell company) di Belanda untuk dialihkan ke Bermuda. Setahun sebelumnya, keuntungan yang dialihkan ke Bermuda 'hanya' EUR 4 miliar.

Praktik semacam ini tidak melanggar hukum, legal, sah. Hanya saja, praktik ini kemudian menggerus basis pajak (base erosion) sehingga negara tidak mendapatkan penerimaan seperti yang seharusnya.

Oleh karena itu, para pengambil kebijakan fiskal di berbagai negara mencoba mencari cara agak para raksasa teknologi itu membayar pajak dengan adil. Setiap pendapatan yang mereka hasilkan di suatu negara harus menjadi subjek PPh di negara tersebut. Jangan kemudian dialihkan ke negara-negara tax haven. Caranya adalah tarif PPh Badan harus berlaku secara internasional, jangan berbeda di setiap negara.

Bermula dari G7, akan ada dorongan agar tarif PPh Badan minimal 15% bisa dibawa ke level yang lebih luas. "Apa yang saya lihat di G7 ini adalah keinginan untuk berkolaborasi dan mengatasi masalah yang terjadi secara global," tambah Yellen.

Bahkan ada usulan tarif 15% ini hanya titik awal. Ke depan, tarif bisa lebih tinggi lagi jika memang perusahaan-perusahaan semacam Goggle dkk membukukan laba yang lebih tinggi.

"Tarif minimum 15% ini adalah titik mula. Saya akan mendorongnya supaya lebih tinggi lagi," tegas Bruno Le Maire, Menteri Keuangan Prancis, seperti dikutip dari Reuters.

Halaman Selanjutnya --> Pandemi Mendera, Negara Kian Butuh Pajak

Ditambah lagi, kini ada kebutuhan untuk mulai menggenjot penerimaan negara. Pandemi virus corona yang membuat ekonomi 'mati suri' mengharuskan pemerintah di berbagai negara memberikan stimulus dalam jumlah yang luar biasa.

Padahal kalau ekonomi 'mati suri', demikian pula setoran pajak. Sebab, pajak adalah cerminan dari aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, mau tidak mau pemerintah harus menambah utang untuk membiayai stimulus fiskal.

Berdasarkan hitungan The Economist, saat ini utang pemerintah di seluruh dunia mencapai 58,91 triliun. Jumlah ini hampir 70% dari total output perekonomian dunia yang diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Saat ini suku bunga memang sedang rendah karena bank sentral (seperti halnya otoritas moneter) memberikan stimulus. Biaya untuk berutang (borrowing cost) menjadi rendah sehingga belum menjadi masalah yang berarti.

Akan tetapi, suku bunga rendah ini tidak akan berlangsung selamanya. Akan ada saat di mana ekonomi pulih dan menyebabkan tekanan inflasi karena peningkatan permintaan. Kala laju inflasi semakin cepat dan terjadi secara konsisten, maka bank sentral tidak punya pilihan selain mulai mengerek suku bunga ke atas.

"Apakah borrowing cost akan selalu rendah? Jawaban kami adalah tidak," tegas kajian Dana Moneter Internasional (MF) yang ditulis oleh Marcos Chamon dan Jonathan D Ostry berjudul A Future with High Public Debt: Low for Long is Not Low Forever yang diterbitkan 20 April 2021.

Oleh karena itu, Chamon dan Ostry menekankan bahwa berbagai negara kudu mulai bersiap. Fiskal harus semakin seimbang, apalagi ketika pandemi mulai mereda dan aktivitas ekonomi kembali normal.

"Negara maju maupun berkembang kemungkinan akan menghadapi keterbatasan fiskal sehingga harus segera melakukan penyesuaian (meski belum bisa dilakukan jika pemulihan belum stabil). Seluruh negara harus mulai 'menjangkar' kebijakan fiskal ke arah yang lebih berkelanjutan (sustainable) sehingga mampu menurunkan risiko.

"Ini bukan kekhawatiran esok hari, terutama bagi negara dengan ruang fiskal yang terbatas. Membuat rencana untuk 'menjangkar' fiskal adalah masalah hari ini," papar tulisan itu.

Untuk membuat fiskal menjadi lebih seimbang, sisi penerimaan harus lebih berat agar bisa mengurangi tekanan kenaikan utang. Oleh karena itu, berbagai potensi penerimaan pajak, terutama yang selama ini belum atau bru sedikit tersentuh, kudu dioptimalkan. Salah satunya adalah potensi pajak dari para raksasa teknologi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji) Next Article G7 Sepakati Pajak Global, RI Makin Pede Kejar Google Cs!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular