Pandemi, Data Covid Pusat & Daerah Sering Tak Kompak

Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
05 February 2021 18:57
Pasien OTG Covid-19 ikuti senam pagi di Stadion Patriot Chandrabhaga, Bekasi. AP/Achmad Ibrahim
Foto: Pasien OTG Covid-19 ikuti senam pagi di Stadion Patriot Chandrabhaga, Bekasi. AP/Achmad Ibrahim

Jakarta, CNBC Indonesia- Hampir setahun pandemi Covid-19 berlangsung di Indonesia, dan dilakukan berbagai penanganan untuk mengatasi virus ini. Mulai dari perubahan perilaku dan penerapan protokol kesehatan 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun) yang disertai dengan penguatan 3T (testing, tracing, dan treatment).

Bahkan pemerintah juga membentuk Posko Covid-19 hingga tingkat desa, yang diharapkan bisa mendorong perubahan perilaku dan menekan penyebaran virus. Berbagai pembatasan mobilitas pun juga dilakukan, mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan juga Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Masyarakat dianjurkan untuk melakukan kegiatan-kegiatannya di rumah, baik bekerja, sekolah, hingga beribadah.

Meski demikian, masih ada hal yang menghantui berbagai penanganan yang dilakukan pemerintah, yakni ketidaksesuaian data daerah dengan yang dimiliki pemerintah pusat. Padahal kebijakan yang diambil bisa menjadi tidak efektif jika data tidak akurat.

Di awal pandemi ini berlangsung, data yang disajikan pemerintah daerah dengan yang disajikan pusat melalui Kementerian Kesehatan dan Satgas Penanganan Covid-19 seringkali berbeda.

Lonjakan-lonjakan kasus yang terjadi pada data pusat, beberapa kali terjadi karena adanya keterlambatan data. Hal ini pernah terjadi pada Jawa Tengah dan Jawa Barat. Bukan hanya data kasus baru, data kematian dan keterisian rumah sakit pun seringkali terdapat perbedaan.

Ketika kasus Covid-19 di Jawa Tengah mencapai rekor penambahan pertama kalinya pada 29 November 2020, sebanyak 2.036 kasus, terjadi kesalahan data. Kemudian pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mengakui adanya kesalahan data dalam pelaporan angka harian Covid-19 di Jawa tengah pada 29 November 2020. Kesalahan berasal dari Dinas Kesehatan (Dinkes) tingkat Kabupaten di Jawa Tengah, karena memasukkan data ganda.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga menyayangkan banyaknya sistem pelaporan data yang membuat data di pusat menjadi rancu. Untuk itu diperlukan perbaikan data sangat penting dalam penilaian masyarakat sekaligus dalam pengambilan kebijakan.

"Tapi kan kita nggak enak, kita sudah kerja keras, kepolisian sudah turun masa terus jelek ada apa. Berarti ada yang keliru. Maka, kita sedang terus mengkonsolidasikan ini," kata Ganjar pada akhir tahun.

Namun di akhir tahun Jawa Tengah bukan hanya mencatatkan penambahan kasus baru yang tinggi, melainkan kasus kematian. Hal tersebut diungkapkan oleh sejumlah direktur rumah sakit di Jateng, yang menyebutkan salah satu penyebabnya tingginya angka kematian adalah keterlambatan penanganan pasien.

Parahnya kondisi pasien saat masuk RS dan keterbatasan ruang ICU untuk isolasi pasien Covid-19 juga dituturkan oleh perwakilan dari RSUD Temanggung. Dari data kematian pun tercatat adanya perbedaan antara Pemprov dan Pusat.

Masalah perbedaan data dan keterlambatan data bukan hanya terjadi pada Jateng, Jawa Barat pun mengalaminya. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyatakan lonjakan kasus di Jawa Barat akhir-akhir ini terjadi karena adanya penumpukan data atau tabungan kasus sejak September 2020. Dia menyatakan data yang dimiliki Pemerintah Daerah dengan pemerintah pusat berbeda sejak akhir tahun.

"Soal tabungan kasus lama yang bikin kasus Jabar naik. Kemarin Presiden mengutip kenaikan masif di Jabar, tapi data kami berbeda. Selama September sampai Desember kasus kami tinggi, tapi yang diumumkan pemerintah pusat lebih rendah," kata Ridwan Kamil, Kamis (04/02/2021).

Berdasarkan data yang dimilikinya, sejak Januari kasus di Jawa Barat cenderung rendah namun ketika diumumkan angkanya malahan tinggi.Sehingga menurutnya yang diumumkan merupakan tabungan kasus lama, dimana pasien diumumkan sudah ada sembuh.

Bahkan jika disesuaikan dengan ketersediaan ruang di Rumah Sakit pun tidak sesuai dengan data yang ada saat ini. Dia mengatakan jika kasus tinggi maka akan ada tingkat keterisian RS, nyatanya saat ini keterisian RS turun.

"Yang betul data di kami, kasus di Jabar rata dan menurun berbanding lurus dengan data. keterisian 80% sekarang turun 69%," kata dia. "Kasus aktif debatable, kami mendapati kasus kami datar turun. Tapi karena ada kasus lama ikut nebeng, terbaca seolah-olah tinggi," tambahnya.

Sebelumnya dia juga mengungkapkan masalah data pasien Covid-19 masih menjadi masalah di wilayahnya, akibatnya data yang dilaporkan per harinya pun menjadi tidak akurat. Dia mencontohkan beberapa hari yang lalu Jabar mencetak rekor kasus baru hampir 4.000 kasus, nyatanya lebih dari 2.000 kasus yang dilaporkan merupakan kasus lama yang bercampur.

"Kalau ada laporan kasus masih menjadi perdebatan karena bercampur dengan kasus lama. Empat hari yang lalu Jabar kasusnya 3.000 dan hampir 2.000 kasus lama. Jadi kalau disebut hari ini ada lonjakan ya tidak juga. Saya juga bingung itu laporan H-5,H-7, sampai H-14. Itulah kenapa saya sampaikan tolong diperbaiki karena nanti status merah, orange, kuning jadi kacau," kata Ridwan Kamil, Senin (01/02/2021).

Jika data bisa tertunda selama itu, maka banyak kasus yang telah lewat atau sudah sembuh. Masalah sinkronisasi data juga akan berpengaruh pada tingkat keterisian rumah sakit yang masih melonjak dan penuh.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengungkapkan lonjakan kasus pada pertengahan Januari juga disebabkan oleh terlambatnya verifikasi data yang masuk sehingga ada penumpukan data.

Sejak 13 Januari, kasus baru Covid-19 mencatatkan angka yang sangat tinggi, dari 11.278 kasus, kemudian 11.557 kasus, lalu 12.818 kasus, hingga puncaknya pada 16 Januari sebanyak 14.424 kasus.

"Penambahan jumlah kasus selama beberapa hari terakhir adalah alarm nyaring bagi kita semua. Ini menjadi tanda ada hal yang harus dibenahi ketika menghadapi pandemi ini," ujar Wiku dalam konferensi pers, Selasa (19/01/2021).

Terlambatnya data ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk memperbaiki kondisi ini, sehingga tidak ada penumpukan data. Kementerian Kesehatan juga tengah memilah data yang masuk 17 Januari, dan data yg terlambat masuk dari minggu sebelumnya. Padahal jika data yang dimiliki tidak real time maka kebijakan yang diambil pun tidak tepat waktu sehingga tidak efektif.

"Kemenkes dan pemerintah daerah harus memperbaiki data Covid-19 sehingga mengurangi gap dan data pusat dan daerah. Saya minta ke depannya tidak ada delay data karena ini sangat krusial dalam pengambilan keputusan," katanya.

Dalam kesempatan berbeda, Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Covid-19 Dewi Nur Aisyah pun mengatakan adanya keterlambatan data juga berpengaruh pada kasus aktif, karena angka yang terlambat masuk bisa jadi sudah ada sembuh sehingga tidak dapat dikategorikan kasus aktif. Adanya keterlambatan data ini juga tidak dapat dianggap sepele, karena penting mengetahui kasus aktif saat ini atau pasien yang membutuhkan perawatan.

Next Page
Jawa Tengah
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular