
Digital Banking, Ada Ancaman di Balik Solusi Inklusi Keuangan
![[DALAM] Nasib Digital Banking di Masa Depan](https://awsimages.detik.net.id/visual/2020/07/23/dalam-nasib-digital-banking-di-masa-depan_169.jpeg?w=900&q=80)
Bagi industri keuangan terutama bank, adanya perusahaan teknologi finansial yang mengadopsi model bisnis bank digital ini menjadi ancaman bagi mereka para incumbent yang cenderung tertinggal atau tidak agresif dalam memanfaatkan maupun mengembangkan teknologi.
Bayangkan saja, bank bisa sekaligus kehilangan nasabah maupun debiturnya karena adanya P2P lending. Lewat platform tersebut seseorang bisa langsung menyalurkan kelebihan dananya untuk memberikan kredit kepada yang membutuhkan.
Lewat P2P lending, nasabah tidak lagi membutuhkan perantara dalam hal ini bank untuk menyalurkan uangnya. Bahkan, return yang ditawarkan pun jauh lebih menguntungkan.
Seorang nasabah mungkin hanya bisa mendapatkan cuan dari deposito yang hanya 5%-6% setahun, tetapi lewat P2P lending bisa meraup untung 16%-21% tergantung dari jenis kredit yang disalurkan dan risikonya.
Dari sisi debitur juga dimudahkan dengan persyaratan yang tidak 'ribet' seperti di perbankan ketika ingin mengajukan kredit. Salah satu indikator yang terlihat misalnya adalah lama waktu pinjaman terdanai. Di P2P lending, waktu pinjaman terdanai tak sampai satu minggu.
Simplifikasi inilah yang membuat total penyaluran kredit lewat P2P lending tumbuh pesat.
Sebagai gambaran, di salah satu platform P2P lending yang cukup terkenal seperti Investree, total kredit yang tersalurkan sepanjang 2020 sudah mencapai Rp 2,38 triliun dengan total pinjaman tersalurkan mencapai 11.236 atau rata-rata sebesar Rp 211,8 juta per pinjaman.
Menilik lapak sebelahnya yaitu Akseleran, total pinjaman yang tersalurkan mencapai Rp 905 miliar dengan jumlah peminjam sebanyak 2.285. Artinya, setiap peminjam mendapatkan kredit sebesar Rp 396 juta.
Ini setara dengan pinjaman untuk segmen neo-SME di perbankan. Apabila dilihat dari total kredit yang disalurkan oleh dua P2P lending tersebut sudah hampir menyamai aset bank-bank BUKU I.
Bagi bank adanya teknologi digital yang terus berkembang juga membawa ancaman munculnya kompetitor baru dari bank lain yang asalnya dari luar. Bank-bank asing yang hanya diperbolehkan beroperasi di kota-kota besar, bisa saja dengan infrastruktur teknologi yang dipunyai mendapatkan akses dari nasabah dalam negeri meski tak memiliki kehadiran fisik berupa kantor cabang di suatu wilayah di dalam negeri. Kasus ini pernah terjadi.
Bagi nasabah, ancaman muncul dalam bentuk keamanan data atau lebih tepatnya cyber security. Adanya prinsip pengelolaan risiko yang tidak efektif oleh para pelaku P2P lending maupun perusahaan teknologi keuangan lain yang mengadopsi digital banking bisa merugikan nasabah atau kreditur.
Selain itu, risiko tersebut juga bisa mengancam stabilitas sistem keuangan di Tanah Air. Oleh karena itu, pemerintah melalui OJK dan BI terus berupaya untuk menghadirkan regulasi yang bisa memitigasi risiko dan ancaman tersebut.
(twg/twg)