Digital Banking, Ada Ancaman di Balik Solusi Inklusi Keuangan

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
25 December 2020 19:15
Ilustrasi Digital Banking (jcomp / Freepik)
Foto: Ilustrasi Digital Banking (jcomp / Freepik)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perkembangan teknologi digital yang pesat dan adaptasi masyarakat yang tinggi membuat praktik bank digital (digital banking) di Indonesia semakin marak. Digital Banking bisa dibilang sebagai mesin pertumbuhan baru bagi ekonomi Indonesia. Namun, di balik peluang yang besar, ternyata juga menyimpan ancaman sekaligus tantangan yang harus dihadapi. 

Semua berangkat dari masalah rendahnya inklusi keuangan di Indonesia. Dua tahun silam Bank Dunia melaporkan hanya 48,9% masyarakat RI usia dewasa (>15 tahun) yang memiliki tabungan di bank. Namun lebih dari 160 juta orang memiliki akses ke internet. Banyak dari masyarakat Tanah Air yang juga memiliki ponsel pintar. 

Size unbanked population yang besar di Indonesia tetapi dibarengi dengan adopsi teknologi digital yang tinggi membuat banyak perusahaan rintisan yang bergerak di bidang teknologi finansial (fintech).

Inovasi yang terus-menerus dipacu membuat berbagai model bisnis di sektor fintech terus berkembang. Ada yang berupa peer to peer (P2P) lending, marketplace untuk investasi, transaksi digital bahkan hingga equity crowd-funding. 

Bank Pembangunan Asia (ADB) melaporkan, hingga bulan Mei tahun lalu ada 249 usaha yang masuk kelompok fintech. Sebanyak 43% dalam bentuk P2P lending dan komposisi terbanyak kedua didominasi oleh usaha payment elektronik sebanyak 26%. Keduanya merupakan dua sektor fintech yang pertumbuhannya paling tinggi di RI.

Berdasarkan statistik Bank Indonesia (BI), transaksi e-money di Indonesia tumbuh sangat pesat. Pada 2010, jumlah transaksi e-money hanya sebesar Rp 693,5 miliar. Namun pada Oktober tahun lalu sudah tembus Rp 140 triliun. Artinya, dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun, transaksi e-money tumbuh 20x.

Riset ADB menyebut pertumbuhan industri P2P lending juga tak kalah pesat. Data OJK menunjukkan pada 2018 saja penyaluran kredit melalui platform P2P lending sudah mencapai Rp 22,67 triliun.

Apabila dibandingkan dengan jumlah kredit yang disalurkan perbankan memang terbilang sangat rendah. Namun pertumbuhannya sangatlah fantastis. Hanya dalam kurun waktu satu tahun saja, kredit yang disalurkan lewat platform ini naik 645%.

Kebanyakan layanan di atas sebelumnya hanya bisa didapat ketika seseorang memiliki akses ke perbankan. Namun, teknologi telah membawa disrupsi dan perubahan lanskap persaingan di industri keuangan. 

Bank jadi memiliki pesaing. Bukan hanya dengan bank lain, tetapi juga dengan fintech. Adopsi praktik digital banking mau tak mau harus ditempuh. Praktik digital banking selain selain dapat menjadi solusi untuk permasalahan inklusi keuangan di Tanah Air, juga menawarkan sisi efisiensi biaya karena dapat diwujudkan dalam bentuk branchless.

Tidak seperti bank-bank konvensional, sebagai bank digital, kantor cabang bukan lagi sebuah kebutuhan. Akses layanan perbankan bisa didapat oleh nasabah melalui gadget mereka kapan pun dan di mana pun. 

Beberapa bank sudah mempunyai langkah itu. Sebut saja Bank BCA yang mengakuisisi Bank Royal untuk dijadikan bank digital, hingga terbaru adalah Mega Corpora yang mengakuisisi Bank Harda Internasional untuk dirubah bisnis modelnya menjadi bank digital.

Manuver seperti itu sebelumnya juga sudah dilakukan oleh perusahaan rintisan seperti halnya Akulaku yang menyalurkan kredit konsumtif dengan mengakuisisi Bank Yudha Bakti dan mengubah namanya menjadi Bank Neo Commerce. 

Kemudian yang paling baru dan paling hangat adalah Gojek melalui sayap bisnis keuangannya yaitu Gopay mengakuisisi 22% saham Bank Jago (sebelumnya Bank Artos). Perubahan yang sangat cepat dan dinamis ini bisa menjadi ancaman baik bagi bank, nasabah atau masyarakat maupun ekonomi Indonesia. 

Bagi industri keuangan terutama bank, adanya perusahaan teknologi finansial yang mengadopsi model bisnis bank digital ini menjadi ancaman bagi mereka para incumbent yang cenderung tertinggal atau tidak agresif dalam memanfaatkan maupun mengembangkan teknologi. 

Bayangkan saja, bank bisa sekaligus kehilangan nasabah maupun debiturnya karena adanya P2P lending. Lewat platform tersebut seseorang bisa langsung menyalurkan kelebihan dananya untuk memberikan kredit kepada yang membutuhkan.

Lewat P2P lending, nasabah tidak lagi membutuhkan perantara dalam hal ini bank untuk menyalurkan uangnya. Bahkan, return yang ditawarkan pun jauh lebih menguntungkan.

Seorang nasabah mungkin hanya bisa mendapatkan cuan dari deposito yang hanya 5%-6% setahun, tetapi lewat P2P lending bisa meraup untung 16%-21% tergantung dari jenis kredit yang disalurkan dan risikonya. 

Dari sisi debitur juga dimudahkan dengan persyaratan yang tidak 'ribet' seperti di perbankan ketika ingin mengajukan kredit. Salah satu indikator yang terlihat misalnya adalah lama waktu pinjaman terdanai. Di P2P lending, waktu pinjaman terdanai tak sampai satu minggu.

Simplifikasi inilah yang membuat total penyaluran kredit lewat P2P lending tumbuh pesat.

Sebagai gambaran, di salah satu platform P2P lending yang cukup terkenal seperti Investree, total kredit yang tersalurkan sepanjang 2020 sudah mencapai Rp 2,38 triliun dengan total pinjaman tersalurkan mencapai 11.236 atau rata-rata sebesar Rp 211,8 juta per pinjaman.

Menilik lapak sebelahnya yaitu Akseleran, total pinjaman yang tersalurkan mencapai Rp 905 miliar dengan jumlah peminjam sebanyak 2.285. Artinya, setiap peminjam mendapatkan kredit sebesar Rp 396 juta.

Ini setara dengan pinjaman untuk segmen neo-SME di perbankan. Apabila dilihat dari total kredit yang disalurkan oleh dua P2P lending tersebut sudah hampir menyamai aset bank-bank BUKU I.

Bagi bank adanya teknologi digital yang terus berkembang juga membawa ancaman munculnya kompetitor baru dari bank lain yang asalnya dari luar. Bank-bank asing yang hanya diperbolehkan beroperasi di kota-kota besar, bisa saja dengan infrastruktur teknologi yang dipunyai mendapatkan akses dari nasabah dalam negeri meski tak memiliki kehadiran fisik berupa kantor cabang di suatu wilayah di dalam negeri. Kasus ini pernah terjadi. 

Bagi nasabah, ancaman muncul dalam bentuk keamanan data atau lebih tepatnya cyber security. Adanya prinsip pengelolaan risiko yang tidak efektif oleh para pelaku P2P lending maupun perusahaan teknologi keuangan lain yang mengadopsi digital banking bisa merugikan nasabah atau kreditur. 

Selain itu, risiko tersebut juga bisa mengancam stabilitas sistem keuangan di Tanah Air. Oleh karena itu, pemerintah melalui OJK dan BI terus berupaya untuk menghadirkan regulasi yang bisa memitigasi risiko dan ancaman tersebut. 

Sayangnya, regulasi yang sudah dibentuk masih kalah cepat dengan laju inovasi berbagai produk keuangan maupun model bisnis bank digital yang terus mengandalkan kolaborasi di tengah persaingan untuk membangun suatu ekosistem. 

Saat ini ada lima kebijakan atau regulasi yang dikeluarkan oleh OJK maupun BI untuk memitigasi berbagai risiko yang hadir dengan maraknya perusahaan teknologi keuangan dan praktik bank digital.

Sesuai fungsinya, OJK membuat aturan terkait supervisi/pengawasan dan aspek mikroprudensial maupun keamanan sementara untuk BI memberikan aturan terkait sistem pembayaran. Beberapa peraturan tersebut di antaranya : 

  • Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016 terkait Pinjaman Berbasis Teknologi yang berfungsi untuk mendukung pertumbuhan P2P lending sebagai alternatif pembiayaan tetapi juga mengedepankan aspek perlindungan nasabah
  • Peraturan OJK No.12/POJK.03/2018 tentang Pelaksanaan Layanan Digital oleh Bank Komersial. Semua bank yang ingin menerbitkan produk elektronik / digital harus meminta izin dari OJK. Bank harus menekankan inovasi produk, kerjasama dengan mitra, dan proses digital untuk memastikan layanan yang lebih baik untuk pelanggan dan manajemen risiko yang efektif.
  • Peraturan OJK No.13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital dalam Keuangan Sektor Jasa Keuangan. Ini merupakan payung hukum untuk fintech. Bagi mereka yang belum terdaftar oleh OJK harus segera mengurus perizinan. Dimensi kunci dari peraturan ini adalah inovasi keuangan yang bertanggung jawab, adopsi sistem keamanan yang kuat dan tata kelola yang baik, dan kepatuhan dengan perlindungan pelanggan dan anti pencucian uang / memerangi keuangan aturan terorisme.
  • Peraturan BI No.19/10/PBI/2017 tentang perusahaan FintechPenyedia jasa fintech wajib mendaftar di Bank Indonesia dan tidak dapat menggunakan mata uang digital. Mereka akan diuji terlebih dahulu sekitar satu tahun sebelum mereka dapat mengajukan lisensi.
  • Peraturan BI No.20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik (E-Money). Peraturan tersebut dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan model bisnis e-money. Peningkatan kapasitas kelembagaan penerbit uang elektronik termasuk permodalan dan komposisi kepemilikan.

Namun seiring dengan berjalannya waktu inovasi di sektor keuangan dan praktik bank digital terus meningkat dengan pesat dan lebih cepat dari payung hukum dan aturan main yang tersedia. 

Dalam makalahnya yang bertajuk 'Fintech Development & Regulatory Framework in Indonesia' yang terbit Oktober tahun lalu, ADB menyarankan beberapa hal untuk Indonesia. 

Indonesia perlu mengembangkan road map fintech yang holistik sejalan dengan strategi ekonomi digital nasional.  Road map yang bertujuan untuk mengembangkan ekosistem yang sehat, termasuk perlindungan data, pelanggan, regulasi dan pengawasan, pusat inovasi, manajemen risiko, dan risiko siber.

Semua inisiatif ini harus didukung dengan SDM yang mumpuni dan infrastruktur yang dibutuhkan. Untuk mewujudkan hal tersebut, kolaborasi antar OJK dan pemangku kepentingan utama, baik domestik maupun internasional, sangat penting.

Kolaborasi dari perusahaan fintech dengan lembaga keuangan, keuangan mikro, koperasi dan agen komunitas juga harus dilibatkan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular