
Bukti Ketidakadilan, Vaksin Corona Untuk Negara Maju!

Jakarta, CNBC Indonesia - Ungkapan vaksin virus Corona (SARS-CoV-2) penyebab Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) hanya untuk negara-negara maju ternyata tak sepenuhnya salah.
Sebagai barang langka yang dibutuhkan oleh 7,8 miliar umat manusia di muka bumi membuatnya jadi incaran banyak pihak. Namun akses terhadap vaksin juru selamat tersebut tidak merata ke seluruh orang yang membutuhkan.
Sejak pengembangan vaksin dilakukan, banyak negara-negara kaya yang sudah memburunya. Setidaknya ada lima kandidat vaksin yang sudah berada di fase terakhir uji klinis dan saat ini diburu oleh banyak negara.
Kandidat vaksin tersebut dikembangkan oleh AstraZeneca, Gamaleya Research Institute, Moderna, Pfizer dan Sinovac. Sayang seribu sayang, kalaupun kelima kandidat vaksin tersebut lolos hingga tahap akhir uji klinis dan mendapat izin resmi dari otoritas kesehatan terkait, tidak sembarangan orang bisa mendapatkannya.
Organisasi dan lembaga think tank nirlaba yang fokus pada pengentasan kemiskinan Oxfam melaporkan saat ini negara-negara kaya dengan 13% populasi penduduk global telah mengamankan 51% dari total dosis vaksin yang bisa diproduksi oleh para pengembang.
Menurut kalkulasi Oxfam ketika kelima kandidat vaksin tadi bisa diproduksi masih ada dua per tiga penduduk bumi yang harus menunggu untuk diimunisasi setidaknya sampai 2022.
Kapasitas produksi kelima kandidat vaksin tersebut menurut Oxfam bisa mencapai 5,94 miliar dosis. Apabila satu orang membutuhkan dua dosis vaksin maka jumlah tersebut mampu memasok kebutuhan vaksinasi untuk 2,97 miliar orang.
Kesepakatan terkait pasokan vaksin sudah mencapai 5,3 miliar dosis dan sebanyak 2,73 miliar dosis (51%) sudah dipesan oleh negara-negara maju seperti Inggris, AS, Australia, Hong Kong & Macau, Jepang, Swiss, Israel dan Uni Eropa.
Sementara sisanya sebanyak 2.575 miliar dosis telah dibeli oleh atau dijanjikan ke negara-negara berkembang termasuk India, Bangladesh, China, Brasil, Indonesia dan Meksiko.
Pemerintah Inggris telah mengamankan sejumlah dosis vaksin sehingga 1 orang warganya mendapat pasokan 5 dosis vaksin. Jelas ini sangat kontras dengan kondisi di Bangladesh yang sampai sekarang hanya mendapat jatah 1 dosis untuk 9 orang menurut Oxfam.
Parahnya lagi salah satu pengembang vaksin yaitu Moderna akan membuat vaksin ini sebagai barang dagangan dan berharap mencari untung dengan menjualnya seharga US$ 12-16/dosis untuk AS dan sekitar US$ 35/dosis untuk negara-negara lain.
Menanggapi realita tersebut Direktur Eksekutif Oxfam Internasional sementara ini Chema Vera pun ikut angkat bicara. Dalam pernyataannya Vera menekankan bahwa vaksin harus menjadi barang milik publik secara luas.
"Pemerintah akan memperpanjang krisis ini dalam semua tragedi kemanusiaan dan kerusakan ekonomi jika mereka mengizinkan perusahaan farmasi melindungi monopoli dan keuntungan mereka. Tidak ada satu perusahaan pun yang dapat memenuhi kebutuhan akan vaksin Covid-19 dunia. Itulah mengapa kami meminta mereka untuk berbagi pengetahuan tanpa paten dan mendorong lompatan kuantum dalam produksi untuk menjaga keamanan semua orang. Kita membutuhkan Vaksin Rakyat, bukan vaksin keuntungan."
Dalam sebuah press release di situs resminya Oxfam mengestimasi ongkos atau biaya untuk melakukan riset, produksi, pengadaan hingga distribusi ke seluruh orang di dunia hanya mencapai US$ 70,6 miliar atau 0,59% dari kerugian ekonomi global akibat pandemi Covid-19 yang mencapai US$ 12 triliun menurut proyeksi IMF.
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Menristek: 3 Perusahaan Antre Produksi Vaksin Merah Putih