Seram, Hacker Jahat Bisa Ciptakan Kerugian Rp 2.500 T

Yuni Astutik, CNBC Indonesia
30 September 2020 13:02
Ilustrasi peretasan jaringan internet
Foto: CNBC

Jakarta, CNBC Indonesia - Managing Director APAC GBG, June Lee mengatakan kerugian akibat kejahatan siber di Asia Tenggara menimbulkan kerugian hingga US$ 171 miliar atau setara dengan Rp 2.500 triliun (kurs Rp 15 ribu per US$).

"Jadi, periode kerugian berdasarkan riset sepanjang 5 tahun yang diteliti. Jenis fraud paling sering adalah pengumpulan data ilegal. Salah satu contoh, Covid-19 ini perilaku pelanggan berubah. Belanja online, mereka transaksi online ini meninggalkan jejak digital," katanya dalam paparannya secara virtual di Jakarta, Rabu (30/9/2020).

Adapun paparan yang disampaikan oleh June berdasarkan hasil riset yang dilakukan GBG yang berkolaborasi dengan The Asian Banker. Survei ini dilakukan di lebih dari 300 institusi finansial di 6 negara wilayah Asia Pasifik seperti Australia, China, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Indonesia. 

Kejahatan siber ini salah satunya melibatkan orang-orang yang tak tersentuh oleh bank atau unbank. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki kategori ini bahkan terbesar keempat di dunia.
 "Dari jumlah penduduk 240 juta sepertiga masih unbank, artinya 92 juta masih unbank," katanya lagi.

Salah satu yang menjadi primadona di Indonesia adalah layanan pinjaman online yang kini menjadi prioritas teratas bagi 43% institusi finansial di Indonesia. Hal ini karena bisa menyediakan akses cepat untuk pinjaman selama PSBB berlangsung. Terbukti dengan ter akselerasinya produk pinjaman online di Indonesia yang melampaui negara lain di Asia Pasifik tahun ini.

"Melihat pengurangan di pendapatan selama lock down period, harus mengambil pinjaman untuk makan keluarga. Mereka ini tak punya sejarah kredit perbankan. Mereka tersingkir tak bisa mendapatkan pinjaman perbankan," katanya lagi.

Dia menyebut, Indonesia, saat ini tengah memerangi serangan siber yang semakin rumit dan berkembang pesat. Bahkan, pandemi membuat pengguna internet di Indonesia semakin meningkat dengan akses produk dan layanan keuangan yang banyak dibutuhkan.

Riset yang dilakukan GBG juga menemukan pemalsuan identitas sebesar 55% dan pencurian identitas mencapai 53% masuk bersama money mule. Dengan adanya hal ini, institusi finansial di Indonesia disarankan untuk lebih menjaga keamanan digitalnya.

Money mule adalah kejahatan yang melibatkan seseorang untuk bisa memindahkan uang hasil kejahatannya dari satu akun bank ke bank yang lain.
Kejahatan ini dinilai sebagai tipe fraud kedua terbesar dengan dampak signifikan setidaknya kepada institusi finansial di Indonesia pada 2019. 

"Penipu digital menggunakan teknologi yang canggih. Oleh karena itu walau istilahnya penyedia jasa financial itu sudah menggunakan teknologi, paling penting melihat ke depannya bisa bersaing dengan pelaku kejahatan untuk paling cepat siapa yang bisa mengatasi," imbuhnya.

Institusi finansial di Indonesia diperkirakan akan menganggarkan biaya hingga US$ 88,9 juta atau Rp 1,3 triliun (kurs Rp 15 ribu per US$) untuk berinvestasi pada teknologi mencegah kejahatan siber baru di 2020. Hal ini membuat Indonesia sebagai negara ketiga dengan budget tertinggi untuk mencegah fraud di Asia Pasifik setelah Thailand dan China.


(roy/roy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Nomor Ponsel dan Email Cs Bocor di Internet, Ini Bahayanya!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular