
Kasus Pailit Properti Marak, Pengembang & Konsumen Rugi!
Jakarta, CNBC Indonesia- Dalam rangka mencegah praktik mafia di hukum kepailitan, praktisi hukum mewacanakan agar perubahan dalam UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Salah satu poin yang diusulkan adalah nilai minimum dari utang kreditur yang berhak mengajukan pailit.
Hal tersebut disampaikan oleh Cornel B. Juniarto dari Hermawan Juniarto & Partners Lawyers serta Deloitte Legal Network dalam Exclusive Interview CNBC Indonesia bertema "Pailit Dalam Industri Properti, Jumat (18/9/2020).
"Saat ini tak ada pembatasan batas minimum utang yang bisa diajukan gugatan pailit. Diharapkan ada batasan, kalau tidak utang kecil pun bisa mengajukan pailit," ujar Cornel.
Selain itu, Cornel juga mewacanakan ada aturan mengenai tes insolvensi dalam sebelum gugatan PKPU dan Pailit diterima dan disidangkan. Tes insolvensi adalah sebuah tes untuk mengukur ketidakmampuan gagal bayar dari perusahaan.
Bila perusahaan yang digugat pailit memiliki kemampuan bayar dan keuangan yang baik, maka hakim bisa menolak gugatan pailit dan PKPU tersebut.
"Bila perusahaan going concern, laporan keuangan baik-baik saja, dan lagi-lagi solven jadi utang tinggal bayar saja. Tak perlu gugatan PKPU atau Pailit," ujarnya.
Selain itu mereka dia Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang harus segera direvisi. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian bagi dunia usaha termasuk industri properti.
Mereka menilai masih banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh mafia hukum untuk mempailitkan perusahaan properti yang sebenarnya memiliki kinerja baik. Hal ini dapat berdampak negatif bagi masyarakat dan konsumen, yang ujungnya membuat industri properti terhambat.
Cornel menjelaskan ada 16 rekomendasi untuk revisi undang-undang Kepailitan dan PKPU. Rekomendasi tersebut sudah masuk dalam naskah akademik dalam RUU Kepailitan dan PKPU yang baru.
"Saya mencatat revisi ini belum masuk ke dalam Prolegnas. Sebenarnya saat ini menjadi momentum yang baik agar RUU ini bisa masuk Prolegnas," ujarnya.
Lebih perinci, dia menjelaskan poin pertama dalam rekomendasi tersebut adalah persyaratan kepailitan yang terdapat penambahan menjadi dua kreditor dengan dua utang jatuh tempo dan perlu adanya nilai minimum yang dapat diajukan permohonan kepailitan.
Poin selanjutnya, adalah pembuktian sederhana dalam gugatan pailit dalm PKPU bisa dilanjutkan dan disidang. Dalam poin ini akan menghapus ketentuan "harus" dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) UU PKPU untuk memberikan ruang bagi Hakim untuk menilai tidak hanya secara formal melainkan juga secara material.
"Selain itu diperlukan adanya pemeriksaan tes likuiditas terhadap debitur Pailit," ujarnya.
Poin berikutnya adalah keadaan Diam Otomatis (automatic stay). Dalam poin, debitur dapat mengurus harta namun tidak diperbolehkan mengalihkan kepada pihak lain, dan kreditur tidak diperbolehkan mengambil tindakan hukum terhadap harta kekayaan kecuali kreditur pemegang jaminan.
Sementara itu, Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia Erwin Kallo mengatakan konsumen menjadi pihak yang dirugikan dalam kasus PKPU dan pailit. Pasalnya, konsumen bukan kreditur preferen sehingga haknya diberikan paling akhir.
"Ketentuan hal ini harus diubah karena seharusnya konsumen itu bukan kreditur konkuren tetapi masuk sebagai kreditur preferen," ujarnya,
Selain itu, dia meminta agar konsumen yang membeli lunas properti bisa dipisahkan dalam boedel pailit. Apalagi apabila konsumen tersebut telah memang surat-surat resmi seperti Sertifikat Hak Milik.
